Kritikus sastra
Indonesia berkebangsaan Belanda A. Teeuw menggolongkannya ke dalam
, yaitu generasi
sastrawan Indonesia di era 1950-an yang sangat peduli dengan aspek regional
dalam karya sastra mereka. Generasi sastrawan ini adalah generasi pertama
sastrawan Indonesia yang terdidik dalam sejarah sebagai warga negara Indonesia
dalam bahasa dan budaya Indonesia. Mereka tetap menjaga daerah mereka sebagai “rumah”
mereka sambil pada saat yang sama menjadi orang Indonesia. Aspek-aspek regional
dapat ditelusuri di dalam karya-karya mereka dalam pengertian “daerah”, sastra
untuk wilayah daerah. [need citation] Walaupun Paus Sastra Indonesia H.B.Jassin
menggolongkan Gerson Poyk ke dalam Angkatan 66, tapi Ernst Kratz, menggolongkan
Gerson Poyk ke Angkatan 1950-an karena karya-karyanya telah muncul pada tahun
1950-an.
Masa Kecil di Bajawa
Gerson memulai
pendidikan formalnya di HIS kemudian dilanjutkan SD di Bajawa. Tentang Bajawa ia menulis:
"Bajawa,
sebuahkota kecil di Kabupaten Ngada (Pulau Flores) adalah kota
kesadaran pertama seorang anak kecil yang lahir di pulau Rote."
"Kota Bajawa di masa kecilku terdiri dari sebuah tangsi
polisi, sebuah rumahsakit, sebuah Sekolah Rakyat, sebuah Gereja Katolik yang
indah dan besar sekaligus rumah-rumah untuk pastor dan suster dan beberapa
rumah pembesar pemerintah serta beberapa toko milik orang Tionghoa dan sebuah pasar terbuka (lapangan).
Lapangan rumputnya hijau subur terpotong rapi, mungkin oleh orang-orang strapan (narapidana). Aku tak ingat di mana letak penjara, kecuali jalan menuju kuburan
karena rumah dinas kami nomor dua dari pojok jalanan menuju tempat itu."
"Ayahku seorang mantri yang mengepalai rumah sakit di
kabupaten itu. Masa itu dokter tinggal di ibukota keresidenan (di Endeh) dan
sekali-sekali ia datang mengunjungi rumahsakit yang dipimpin oleh ayahku."
Keluarganya kemudian pindah ke Ruteng, Kabupaten Manggarai, dimana ia menamatkan
SD di sana tahun 1945. Keluarga kemudian pindah lagi ke Maumere, Kabupaten
Sikka. Sejumlah karya sastranya mengandung unsur masa kecilnya ini antara lain
Pati Wolo (1988) yang secara ironi menceritakan
sebuah mahluk berkaki satu dan berkuku seperti kuda yang merupakan legenda yang
akrab di telinganya ketika ia tinggal di Manggarai.
Gerson memang piawai menceritakan masa kecilnya. Ia menyebut "naluri melarikan diri" atau "naluri menyelamatkan diri" adalah bawaan masa kecilnya yang tak pernah hilang. Di masa kecil, naluri ini tidak membawa akibat, tetapi ketika dewas naluri melarikan diri ini membuatnya membuatnya menemui serba kesulitan dan kelucuan hidup. "Penuh tragedy dan komik", katanya.
Tentang pertama kali masuk sekolah, misalnya, ia menulis:
"Suatu pagi aku berontak mati-matian karena ibu ingin
membawaku ke sekolah. Ibu menggendong aku di pinggangnya dan aku menangis
terus, menangis terus meronta-ronta sampai ke sekolah... Sampai disana aku berhenti menangis
karena aku melihat banyak anak-anak sebayaku.
Aku turun dari pinggang ibu dan guru menyambutku, mengangkat
tanganku lewat kepala, menyuruh aku meraba telingaku. Sudah itu aku didaftarkan
sebagai murid kelas satu tetapi boleh pulang. Sekolah baru mulai besoknya. Aku
berkeliling sekolah itu. Aku melihat ada beberapa kantong terbuat dari anyaman
daun pandan, berisi sesuatu, tergantung
di tembok sekolah, di pohon dan di tiang lonceng.
...aku memanjat tiang lonceng tetapi tiba-tiba aku memanjat tiang
lonceng untuk melihat apa yang berada dalam kresek anyaman daun pandan itu. Aku
merogoh salah satu kantong dan ternyata isinya jagung kering goreng yang
kerasnya seperti batu. Tetapi rahang anak Bajawa dapat menghancurkannya.
Anak-anak yang membawa jagung goreng kering (tanpa minyak) itu datang dari
kampung yang jauh. Makan pagi mereka dari jagung, ubi dan sebagainya, begitu
juga makan siang mereka. Tak ada satu pun yang membawa uang jajan.
Pulang ke rumah, entah bagaimana, aku malas ke sekolah.
Ibuku membongkar aku dari keasyikan nyenyak pagi, menyuruh aku mandi tetapi aku
menolak semuanya. Aku menangis sejadi-jadinya menolak ke sekolah. Setelah
menakut-nakuti aku dengan oto-pos (mobil pos) dan tuan inspektur Belanda,
barulah aku mau berjalan bersama ibu ke sekolah. Anak-anak kelas satu telah duduk
tenang-tenang di kelas. Ibu langsung mengantarkan aku ke dalam kelas lalu guru
mendudukkan aku di bangku paling depan.
Begitu ibuku keluar, sang guru (Tuan Riberu) yang kulitnya
hitam membelalakkan matanya kepadaku lalu menggerutu. Jantungku berdebur
ketakutan tetapi mataku melihat ke jendela dan ada sedikit rencana kilat muncul
di benakku. Kalau dia menyeringai dan bangun mendekatiku, bangun dari kursinya
dan menerkam aku maka aku akan lari ke jendela dan melompat lalu lari ke rumah
dan takkan kembali lagi selama-lamanya, selama-lamanya! Hanya itu yang kuingat
benar ketika masuk sekolah di Bajawa."
Konteks sosial dari karya-karyanya juga diuraikan dengan gamblang. Ia misalnya menggambarkan stratifikasi sosial masyarakat Hindia Belanda di Flores secara deskriptif jernih menurut kacamata seorang bocah:
"Di Bajawa, seperti juga di semua kabupaten di Flores,
kontrolir dan aspiran kontrolir, kemudian inspektur, semuanya Belanda. Di bawah
mereka seperti klerk dan Bestuur Assisten adalah orang Rote. Kepala tangsi
polisi juga seorang yang berasal dari Rote. Dia pamanku, To’o Hormu. Celakanya, opas-opasnya pun
berasala dari Rote. Pakaian opas seperti polisi, memakai kelewang panjang dan
topi bambu. Kumisnya terputar bagaikan tanduk kecil di bibirnya."
Di Flores karir ayahnya melejit dan diangkat menjadi
hoofdt mantri, namun sebuah tragedy menimpa. Ayahnya berselingkuh dengan seorang perempuan Jawa, istri seorang polisi. Saudara perempuan ayahnya sendiri, yang adalah istri seorang kepala tangsi polisi di Bajawa, melaporkan hal itu dan ayahnya dipecat. Ibu Gerson sangat marah kepada ipar perempuannya yang melaporkan suaminya sehingga ia menggigit telinga iparnya itu. Gerson tak tahu apa-apa soal kejadian itu, ia hanya tahu ketika mereka telah keluar dari rumah dinas mereka dan menumpang pada kerabat di kota Ende.
"Pada suatu malam aku dan adikku dibangunkan lalu dibawa ke
mobil dan begitu bangun tidur aku, adikku dan ibuku telah berada di sebuah
rumah berlantai tanah dikota pelabuhan Endeh. Ayahku tidak kelihatan ketika aku
bangun pagi. Rumah itu terletak di seberang jalan dari rumah Bung Karno, di
kampung Tiang Radio... Tidak lama kemudian ayahku kembali, membawa uang logam cukup banyak dan
ibu belanja makanan yang cukup enak seperti halnya di Bajawa.
Rumah itu milik seorang bernama Manafe, asal Rote. Begitu
ayahku muncul ia membawa kami ke sebuah rumah di samping katedral, di kaki
bukit kecil, di sebelah kuburan Tionghoa. Malam pertama telingaku disengat
kalajengking sehingga aku terkaing-kaing menangis memecah kesunyian.
Kemudian ayah menggali sebidang tanah lereng, meratakannya
dan membangun sebuah gubuk. Maka kami lega memiliki rumah sendiri, tanpa
menumpang di rumah orang. Semuanya dibuat oleh tangan ayah. Aku ingat, ia juga
membuat sebuah kursi malas lalu duduklah dia sambil makan sirih.
Kemudian ayah menghilang lagi. Aku dengar cerita ibu tentang
pekerjaan ayah. Pekerjaan baru. Ayah tidak lagi menjadi Hoofd Mantri. Ayah
mengikuti Tuan Lauwoie, seorang pembela perkara."
Hidup berubah begitu cepat. Dari anak pegawai menjadi anak pembela
perkara amatiran. Namun Gerson ingat bahwa setiap hari ia bisa makan. Hanya satu kali,
ingatnya bahwa ia dan saudara-suadaranya tidur malam setelah mengunyah cuma kue bendera.
"Aku masih ingat, uang yang ditinggalkan ayah terbatas
sehingga pada suatu malam ibu memanggil adikku dan aku untuk makan malam. Di
sebuah dulang tersedia beberapa potong kue bendera dan teh manis. Kami mengunyah
kue itu lalu minum teh manis dan tidur lelap karena lelah bermain sehari
suntuk. Sungguh, sebuah kenangan yang halus mengiris jiwaku."
Di Endeh, Gerson masuk sekolah Protestan, dan seingatnya ia tidak pernah belajar berhitung dan membaca, hanya solmisasi. Ia ingat gurunya adalah Pendeta Samuel Muda, ayah dari Laksamana Samuel Muda, pahlawan Laut Aru. Ia juga ingat bagaimana ibunya mengajarkan membuat rampai untuk ditaburkan ke laut :
"Ibu berkata, bunga rampai itu dikirim kepada nenek, kepada
paman dan sebagainya. Lalu kami bertiga ke jembatan laut menghamburkannya ke
laut. Peristiwa itu sangat mengesankan aku. Terasa sangat indah. Terasa bunga
itu akan sampai ke suatu tempat rahasia tempat Mama Be’a (Nenek) dan Papa Be’a
(kakek) dan sanak saudara bermukim. Ibu telah mengajarkan aku tentang bahasa
kerja menanami kebun dan simbol-simbol cinta kasih kepada yang berada di
seberangsana , di dalam dan dibalik kehidupan nyata dan fana ini."
Pulang ke Rote
Karena beban hidup semakin berat, Gerson dan adiknya Matilda dibawa oleh ibunya pulang ke Rote, sementara ayahnya tetap berusaha sebagai pengacara amatiran di Flores. Gerson mengingat bagaimana mereka pulang:
"Tiba-tiba saja, kami bertiga...telah berada di atas sebuah kapal yang berlayar dari Endeh menuju Rote dan
Kupang. Aku ingat betul, di kapal kami makan nasi dan ikan asin goreng
sepuas-puasnya. Sehabis makan, masih ada tersisa banyak ikan dan nasi. Ibu
tidak membuangnya. Aku mengikuti ibu ke atas dek dan membawa nasi itu lalu
dijemurnya. Itulah yang kuingat, bagaimana seorang ibu diterpa tekanan hidup,
menjaga baik-baik nasi pemberian Tuhan. Seterusnya entah jadi apa nasi itu, aku
tak ingat lagi. Aku hanya ingat bahwa kami turun di pelabuhan Ba’a dan menginap
di rumah seorang sanak yang aku tak ingat siapa namanya."
Setibanya di Rote, mereka dijemput oleh abang tertua dari lain ayah, Benyamin J. Messakh. Mereka dibawa ke Oetefu dengan kuda. Ingatan Gerson sangat vivid dan detail, ia ingat hal-hal kecil yang menjadi bumbu cerita-ceritanya. Saat tiba di Oetefu ia menulis:
"Beberapa tanteku menyambut aku dengan ciuman sedang yang
satu lagi yang dipanggil Te’o Pokek (Tante Buta) meraba-raba aku mulai dari
kaki sampai ke kepala. Kemudian aku dibawa ke rumah utama sebuah rumah panggung
dan diberi uang logam beberapa keping lalu membiarkan aku tidur siang di sebuah
ranjang berseprei putih dan berkelambu. Aku sendiri yang tidur di rumah itu.
Kamar-kamarnya kosong. [...]
Begitu bangun sore, aku sendirian di rumah panggung itu.
Kakak Usi, Susi Mariana entah di mana. Aku berdiri di beranda depan memandang
pohon kelapa dan lontar. Bunyi burung tekukur dan udara panas sore hari membuat
aku rindu pada ibu. Maka kerinduan itu membuat aku menangis sendiri, sambil
memanggil-manggil, "mama... mama...” Mama tak menjawab, mama tidak
muncul-muncul walaupun abang sulungku telah berkuda ke Ba’a yang jaraknya dua
puluhlima kilometer.
Tiba-tiba terpikir atau teringat, kata guru Sekolah Minggu,
bahwa apa yang kita minta dari Tuhan maka Tuhan akan memenuhi permintaan kita.
Aku pun menutup mata dan berdoa kepad Tuhan. "Tuhan, saya minta mama saya
cepat datang. Saya kesepian. Tuhan, saya minta kalau saya membuka mata maka
mama saya sudah ada di depan saya,” begitulah doaku. Sungguh lucu. Sia-sia.
Naif. Begitu aku membuka mata ibu tiada.
Akan tetapi aku sama sekali tidak mengomeli Tuhan. Aku
bergerak entah ke mana, lupa, tidak teringat oleh khazanah kenangan masa
kecilku. Terlalu banyak detik dan jam yang kulupakan. Aku hanya ingat,
tiba-tiba saja ibuku dan adikku datang dibawa oleh abangku dan oleh Tuhan. Aku
ingat, kami bertiga ditempatkan di rumah besar di samping kiri rumah utama di
kamar depan yang berdinding setengah sehingga pandangan ke halaman tidak
terhalang."
Tidak lama kemudian ibu Gerson membawa mereka pindah ke Oekahendak, sebuah dusun
kecil yang terdiri dari tiga buah rumah dan sebuah mata air kecil. Disana mereka bergabung dengan kedua kakaknya, Dina dan Min kecil yang tinggal
bersama
papa to’o (saudara ibu)nya dan
te’o Fia kakak perempuan ibunya yang
tidak menikah.
Deskripsi Gerson tentang orang-orangpun sangat jelas, kadang membuat kita tersenyum karena ia memakai kacamata anak-anak saat menuliskannya. Tentang saudara laki-laki ibunya yang ia panggil papa to'o dan beberapa kerabat lain ia menulis:
"Aku masih ingat wajah Papa To’o, pamanku. Kulitnya kuning
seperti ibuku. Badannya kekar. Wajahnya ganteng seperti wajah Hemingway. Ia
sangat eksentrik. Sangat eksentrik bagi penduduk sekitarnya karena ia suka
memaki dengan bahasa jorok.
Aku sayang betul pada Papa To’o pamanku. Ia suka tertawa
keras memperlihatkan giginya yang bagus. Paling kurang senyumnya yang ramah.
Pakaiannya celana pendek dan baju tangan pendek. Ia tidak memakai sepatu atau sandal.
Aku ingat sekali pada Te’o Fia, tanteku yang tidak banyak bicara tetapi selalu
sibuk, menumbuk padi, memberi makan ternak dan sibuk di sawah dan ladang.
Abangku Benyamin (Min Kecil) tak pernah diam. Hampir tiap hari
ia pulang membawa tekukur, burung pipit dan udang kecil. Aku sibuk membakar
burung-burung itu untuk dimakan. Abangku Benyamin adalah tarsan kecil, spartan.
Dia pelempar tepat.
Jika mau makan daging tekukur yang merupakan wabah bagi
tanaman padi dan kacang ijo. Min Kecil tinggal memungut batu dan melemparkan ke
kerumunan tekukur itu. Lemparannya sangat kuat. Batu yang meluncur sampai
berbunyi, mendesing membelah udara. Tekukur yang mati lebih dari satu ekor. Aku
sangat gembira bila abangku membawa setumpuk tekukur. Dia lalu mencabut
bulunya, membuang usus dan kotorannya dan mencucinya kemudian membubuhkan garam
dan memanggang burung itu di halaman.
Kalau tidak tekukur, dia membawa sekeranjang burung pipit
yang paruhnya merah dan kuat. Aku mengunyah pipit panggang itu. Dagingnya,
tulangnya, sampai ke kepalanya yang berisi otak. Enak sekali dimakan dengan
nasi. Ketika musim hujan tiba, parit kecil yang berasal dari mata air itu
meluap. Air dipakai untuk mengaliri sawah di sekitarnya."
Dia tidak takut pada ular berbisa. Pada suatu hari, kami,
anak-anak yang lebih kecil darinya sedang mengerubungi dan menonton seekor ular
ijo yang berbisa, melingkar di ketiak akar pohon kesambi sambil memagut-magut.
Tiba-tiba abangku muncul. “Mundur, mundur, mundur,” katanya lalu meraup leher
ular itu dan melenggang pergi."
Gerson juga ingat sekolah tempat abangnya Min Kecil bersekolah yaitu Tudameda.
"Sekolah itu terbuat dari bebak (pelepah gebang) yang
bercelah-celah mudah diintip dari luar dan dari dalam. Atapnya terdiri dari
daun lontar. Tampaknya seperti kandang kambing, tetapi dari sekolah itu
beberapa sarjana dan orang terkenal Indonesia lahir dan bekerja di luar pulau,
terutama di Jawa, tak pulang-pulang membangun kampungnya."
Ketika Gerson mengunjungi Rote di tahun 1997, lokasi sekolah itu sudah jadi kebun. Menurutnya dulu
di seberang Jalan Raya Sirtu, ada rumah Guru Pah, famili ibunya, seorang maestro senandu
biola. Adik guru Pah, Eduard Pah juga adalah seorang guru, dan maestro sesandu biola. Eduard Pah ini mendapat
Anugerah Seni dari pemerintah RepublikIndonesia dan profil tentang seniman ini
dimuat di The New York Times. Satu-satunya seniman musik Rote yang mendapat publisitas
internasional lewat New York Times. Jarang juga seniman Indonesia dipublikasi
lewat sebuah artikel yang dimuat di koran internasional itu.
Dari Oekahendak, Gerson dititipkan kepada famili di Lalukoen. Sebagai anak-anak, Gerson tak mengerti mengapa ibunya meninggalkannya di keluarga itu, ia menangis dan meronta sejadi-jadinya saat itu, namun kemudian ia punya rasionalisasi sendiri:
"Sampai
sekarang, aku berpikir, mungin usiaku sudah mencapai usia sekolah sehingga ibu
mau menitipkan aku di rumah famili yang dekat dengan sekolah, sekaligus
meringankan beban saudara-saudaranya yang telah menampung kakak perempuanku,
kakak lelakiku dan adik perempuanku serta ibuku sendiri. Soalnya paman dan
saudara ibu hanya hidup dari kebun dan sawah serta sejumlah pohon lontar dan
binatang ternak. Biasanya mereka minum gula dan sayuran serta ikan serta daging
sekadarnya, tidak biasa masak nasi setiap hari seperti orangkota . Setiap hari
aku harus makan nasi, sayur, daging burung dan sebagainya. Aku tidak seperti
kakak-kakakku dan ibuku. Barangkali karena itu."
Kemudian ibunya menitipkannya lagi ke rumah pendeta Hidalilo, seorang pendeta yang berasal dari Sabu. Pendeta ini tinggal di Tudameda, "di rumah yang di depannya ada kolam berair kuning". Gerson mengenang bagaimana ia dititipkan di situ:
"Aku
senang sekali bermain dengan anak-anak itu di bawah benderang lampu tekan
sehingga ketika ditanya apakah aku mau tinggal di rumah itu, aku mengangguk
setuju.... Malam itu seingatku; ibu tidak membawa tas pakaian. Ibu
melepaskan aku dengan pakaian di badan. Seingatku tidak ada acara makan pagi
sebelum berangkat ke sekolah. Aku masih ingat pada suatu malam Ibu Pendeta
membagi-bagikan biskuit. Juga masih segar dalam ingatan Ibu Pendeta membawa
kami untuk mandi di sungai. Aku masih ingat pula pada suatu malam, ketika Mama
Nyora Hidalilo (istri pendeta dan guru dipanggil nyora) membagi-bagi nasi dan
lauk, kepada tiap anak ia bertanya mau tambah atau tidak. Anak-anak pendeta
mengatakan tidak sedangkan aku mau tambah. Aku lihat nasiku hanya setengah dari
nasi anak-anak yang tak mau tambah. Kami hanya makan sekali, makan malam.
Tampaknya gaji pendeta itu kecil sedangkan kami hampir sepuluh orang di rumah
itu."
Selama tinggal dengan keluarga pendeta ini, Gerson ingat seorang tokoh unik masa kecilnya bernama Karaba, seorang pemarah nanum tak pernah marah kepada Gerson. Gerson suka duduk di depan Karaba yang sedang mengupas kelapa tua dan memungut serpihan kelapa untuk dimasukkan ke dalam mulutnya. Karaba tidak marah. Saat bermain-main sendirian di sekitar gedung sekolah, Gerson pernah usil mengambil sebuah lidi dan menusukannya ke celah dinding sekolah yang terbuat dari pelepah gewang itu. Ternyata mengenai pantat Karaba. Karaba mengejar dan melemparnya saat itu, namun kemudian baik lagi. Ia malah menyalahkan temannya yang lain, seorang anak angkat pendeta juga yang dibawa dari Sabu, Nara
. Gerson mengenang kata-kata Karaba kepadanya:
""Bapa
Pendeta sudah mengutuk si Nara karena ia menulis-nulisi Kitab Suci," kata
Karaba. Sejak itu aku takut sekali dikutuk oleh Bapa Pendeta, terutama takut
dimarahi Tuhan kalau salah memegang atau menyia-nyiakan Kitab Suci. Sampai aku
bersekolah di Sekolah Standar, kalau aku melihat lembaran Kitab Suci yang
tersobek dan terbuang, aku memungutnya dan menyimpannya baik-baik. Aku selalu
mengingat anak itu. Si Karaba itu."
Karaba ini kemudian masuk Heiho dan setelah usai Perang Dunia kedua sempat berpapasan dengan Gerson di Kupang, dalam barisan Heiho.
"Badannya tambah hitam dan kurus, tinggi. Aku menegurnya dan
dia membalas teguranku sambil berjalan terapung-apung, lurus, dagu terangkat.
Aku memandang punggungnya ketika ia menjauh, sambil menarik napas dan desah
nostalgia."
Dijemput Sang Ayah
Di rumah pendeta Hidalilo itulah kerinduan seorang anak akan ayahnya terbayar. Sang ayah datang menjemput anak-anaknya yang sudah lama berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain karena kesalahan yang ia buat sendiri.
"Tiba-tiba, pada suatu hari ketika aku berjalan menunduk
menuju kolam kemarau kuning kesayanganku, ada sesosok tubuh di depanku. ”Papa!”
seruku bahagia. Aku disuruh berdiri menunggu di jalan dan ayahku masuk ke dalam
untuk memberitahukan bahwa aku diambil kembali. Tidak lama kemudian ayah keluar
dan kami berjalan meninggalkan rumah pendeta itu tanpa tas pakaian, kecuali
baju monyet di badan. Walaupun aku sendiri tidak bertemu dengan pendeta dan
istrinya untuk mengucapkan terima kasih, walaupun tidak ada acara perpisahan,
aku masih ingat jasa keluarga pendeta itu memberi tumpangan, tempat tidur dan
makanan untuk beberapa lamanya. Kepada
orang-orang yang ditemuinya di Oekahendak, ayah menceritakan kesedihannya
melihat anaknya yang sudah hitam tak terurus dan pakaiannya yang cuma satu
melekat di badan, tidak pernah dicuci."
Usaha ayah Gerson untuk menjadi peng
acara amatiran macet. Lalu ia menjual rumahnya di Ende dan barang-barangnya agar bisa mendapatkan ongkos kapal untuk menemui anak-anaknya. "Untung, naluri kebapakannya menggerakkan dia mencari anak-anaknya yang terombang-ambing di bawah kepak ibu yang kurang berdaya," kenang Gerson. Bagi Gerson, pengalaman masa kecil ini adalah sumber kepekaannya yang dituangkan dalam karya-karyanya.
"Pengalaman seorang anak sepertiku sangat menyedihkan,
mengharukan dan semuanya menjadi sumber kepekaan, sumber inspirasi ketika aku
menjadi dewasa. Tidak dapat disangkal pengalaman menjadi bahanbaku untuk
kesusasteraanku, untuk karya-karyaku, baik berupa prosa maupun puisi dan
lain-lain. Aku memasuki kesusasteraanIndonesia melalui puisi. Sajak-sajak
pertamaku dimuat di koran dan majalah Surabaya kemudian Mimbar Indonesia,
Jakarta yang ditulis tahun 1955 ketika aku duduk di bangku Sekolah Guru Atas
Kristen di Jalan Pringadi, Bubutan, Surabaya, dan ketika mengikuti
International Writing Program, sebuah program creative writing di bawah
bimbingan Prof. Paul Engle, Ph.D (penyair) di Iowa University, Iowa City,
Amerika Serikat."
Bagi Gerson, masa kecilnya telah berubah menjad
i puisi. Ia menulis sebuah sajak ketika pengalaman masa kecilnya telah mengendap jauh dalam jiwanya. Masa kecil baginya "adalah kuda tunggang, tambur gembala, jalan setapak yang berliku, rumah lalang bepagar batu." Tentang masa kecilnya ia menulis sebuah puisi:
Gambar Keluarga
Begini kuda tunggang dan dadaku diterik tangis padang
lewat
jalan liku menuju rumah lalang berpagar batu
bila dulu aku datang aku tak tahu
ciumanmu tengik tersaar
bibirmu yang hambar memperdengarkan tambur
gembala
pandanganmu mengharu usia dewasa sejak itu m
engobar
dalam mataku bundar
segar seorang anak yang belum sadar
kau tinggalkan aku bermain di tepi kolam
kemarau kuning
tak sampai sesiang yang indah berenang rian
dengan hidup
telanjang memandang kuda tunggang yang tegap
airnya makin kering mengabur ke
bibir nasib kemarau
aku pulang ke rumah lalang berpagar bagu, lingkar kasih
yang buntu
nyenyak malam membenam dalam lapar dalam lupa masa kanak kelakar,
dan sindiran yang menyembur senja kemarau kuning
sebagai tuntutan atas budi
yang tumbuh menjadi hutan
belum terbayar oleh anak yang lapar mengejar
belalang
hingga sekali kelak aku berdiri di atas nyanyian hidup yang manis
kau
datang kembali dengan bawaan beserba
untung aku belum lesu terpenggal oleh dosa
dan hilang sesal
|
Gerson Poyk [SP/Ignatius Liliek |
Gerson mengakui bahwa kepekaannya memang adalah bagian dari masa kecilnya. Ia menulis: "Terasa oleh si kecil itu (si aku puitis itu) bahwa pandangan yang mengharukan dia di masa dewasa nanti telah bertumbuh, telah mengobar dalam mata seorang anak kecil yang belum sadar akan segi-segi hambar dalam kehidupannya." Tafsiran terhadap sajak di atas yang ia tulis sekitar tahun 1965 ini patut dikutip secara langsung:
"Ayahku
(kau) telah meninggalkan aku bermain di tepi kolam kemarau kuning, hanya
sebentar berenang riang dengan hidup telanjang memandang kuda tunggang yang
tegap. Air di kolam tempat aku bermain makin kering, mengabur ke bibir nasib
kemarau lalu aku pun pulang ke rumah lalang berpagar batu, lingkar kasih yang
buntu, lalu tidur dalam lapar dalam lupa masa kanak. Bagaimana pun, kehidupan
ini penuh dengan kelakar dan sindiran dan ini merupakan hutang budi yang belum
bisa dibayar oleh seorang anak kecil yang lapar mengejar belalang. Kelak
semuanya akan terbayar bila telah sampai pada nyanyian hidup yang manis.Ayahku
datang dengan bawaan beserba. Beruntunglah, aku belum terkapar…"
Gerson mengakui bahwa gambaran tentang kehidupannya di Rote, tentang pohon-pohon kom dan kosambi, tentang jalan sirtu, tentang orang-orang menjadi inspirasi dalam cerpen-cerpen dan novelnya, terutama novel
Meredam Dendam.
Setelah ayahnya menjemput mereka di Tudameda, mereka pindah ke Ba'a, di mana mereka "menumpang di sebuah rumah dekat jembatan Lete Langgak, di pinggir jalan, di kaki bukit yang gundul." Pada suatu hari mereka pindah ke sebuah rumah di punggung bukit dan ayah Gerson meninggalkan mereka ke Ringgou. Setelah beberapa lama sang ayah pulang membawa seekor kerbau. Kerbau itu dibawa ke rumah jagal dan mereka punya banyak uang dan daging. Gerson mengatakan ibunya pintar memasak sebab di masa gadisnya ia tinggal dengan keluarga domine (pendeta) Belanda bernama Domine de Vries.
Setelah menjual daging kerbau itu, ayah Gerson membangun sebuah gubuk darurat di pinggir jalan dekat Gerej Menggelama. Tak lama setelah itu ayahnya berangkat ke Kupang lagi untuk mencari pekerjaan. Gerson ingat benar waktu itu bulan Desember. "Aku ingat betul karena pernah
merayakan Natal ketika ayah tiada.
Hadiah Natalku hanya sebuah buku tulis tipis karena setoranku juga kecil," katanya.
Ketika sang ayah berada di Kupang, datang seorang nenek dari Sabu yang tinggal di Ba’a ke gubuk mereka dan meramal dengan daun sirih.
"Ia menggenggam-genggam daun
sirih di tangannya kemudian melemparkannya ke atas tikar. Daun sirih yang
terlepas dari gengamannya terbuka, bergerak pelan-pelan dan diam. Lalu ia
berkata, ”Bapak kalian sudah mendapat pekerjaan di Kupang,” katanya. Aku dan
adikku bahagia sekali. Sudah tentu ibuku juga. Aku sudah lupa nama nenek asal
Pulau Sabu itu. Menurut cerita nenek itu, ia pernah meninggal (berapa lama, aku
tak ingat lagi) dan di surga ia melihat banyak sekali makanan yang dibuang
sia-sia oleh manusia."
Benar, ayahnya mendapat pekerjaan di perusahaan Singer Sewing
Machine, buatan Amerika. Pada saat yang bersamaan kakak sulung Gerson, Benyamin J. Messakh lulus dalam tes
masuk tentara.
"Kami bahagia karena itu. Ibu pun mengikhlaskan anak tertuanya
masuk tentara. Kami mengantarkannya ke pelabuhan. Ia naik kapal, berlayar
menuju Jawa dan akan masuk sekolah militer (KNIL) di Purworejo."
Ke Kupang dan ke Flores lagi, kali ini Ruteng
Sehabis merayakan natal, ibu Gerson membawa keempat anaknya menyusul sang ayah di Kupang. Hanya kakaknya Mariana yang tinggal di Rote. Di Kupang ayahnya telah menyewa sebuah kamar di rumah keluarga Pandy di Fatufeto. Gerson masukkelas satu Volksschool (Sekolah Rakyat tiga
tahun) di Bonipoi dan abangnya Min Kecil duduk di kelas empat Vervolkschool
(Sekolah Standar) di Desa Airmata.
Tak lama kemudian ayahnya dipindahkan ke Ruteng, ibukota Manggarai. Di sana, Min Kecil dimasukkan ke Sekolah Standar. Di seluruh Onderafdeling (kabupaten) Manggarai, ada puluhan Sekolah
Rakyat tiga tahun namun hanya ada satu Sekolah Standar yang cuma terdiri dari
kelas empat dan kelas lima . Dari sana
anak-anak yang lulus dapat masuk seminari dan sekolah guru yang disebut Normal School. Gerson dimasukkan ke sebuah sekolah Belanda swasta yang
dipimpin oleh Meneer Suprapto yang beristrikan seorang wanita Bangsawan Rote bernama Maria Giri. Tentang Maria Giri ini, Gerson menuliskannya dalam karyanya
Maria Giri, Bunga Kecil dari Padang Sabana, dalam antologi
Baktiku Pada Pertiwi. Namun tak lama kemudian sekolah liar itu bubar karena Suprapto ditahan Belanda. Gerson dimasukkan Ke Sekolah Rendah tiga tahun, duduk di kelas dua.
Namun nestapa lain menghampiri. Ayah Gerson divonis 3 tahun penjara karena uang perusahaan tekor seratus gulden. Gerson mendengar kabar ini dari ibunya ketika ia baru saja pulang sekolah:
"Aku diam. Murung. Gelombang duka dalam batinku membikin aku
diam. Aku sedih tetapi apa mau dikata. Ibu memasak nasi dan ikan untukku lalu
aku makan. Entah di mana saudara-saudaraku. Aku ingat aku makan sendiri di meja
kecil di kamar depan yang telah kosong.
Sejumlah mesin jahit yang tersisa sudah diangkut entah ke
mana. ...membuat aku
tambah sedih dan berusaha seumur hidup untuk merejam dendamku. Jika dendam itu
timbul, aku berusaha sekuat tenaga batinku untuk menghancurkannya. Pengalaman
(sensasi) absurd di rumah itu melahirkan novelku Merejam Dendam."
Setelah ayahnya dipenjara, mereka berpindah dari satu rumah ke rumah yang lain. Awalnya di rumah seseorang, di mana Gerson dan saudara-saudaranya masih bisa bersekolah. Kemudian mereka ditampung di rumah seorang janda. Dari situ mereka pindah lagi ke sebuah pondok ilalang berlantai tanah yang terdiri atas dua kamar. Sejak di rumah kedua Min, Gerson dan adiknya sudah putus sekolah.
Aku ingat di pondok itu kami masih
bisa makan teratur karena sumbangan beras dari orang-orang yang prihatin pada
kami. Di antaranya seorang polisi profesional yang kami sapa dengan Bung Meler
(Meuller).
Abangnya Min termasuk anak yang pintar dan Kepala Standar School datang mencarinya namun ia telah menghilang ke kampung Karot untuk menjaga kuda-kuda pacuan di sebuah panggung pacuan kuda. Tidak lama kemudian, ia terkenal sebagai joki ulung.
"Kudanya
yang ditunggangnya selalu menang dan begitu menang, ia berdiri di atas punggung
kuda. Ketika penonton bertepuk tangan, ia terjatuh dari punggung
kuda tetapi tidak sampai terlempar ke tanah. Ia hanya tergantung di leher kuda
ketika kuda sedang berlari kencang. Jadi tiga kejutan sekaligus dilakukannya.
Pertama, kudanya nomor satu. Kedua, berdiri di punggung kuda tanpa pelana. Ketiga, anak yang putus sekolah di kelas
empat Sekolah Rakyat (Standardschool) itu, tergantung seperti monyet di leher
kuda."
Dalam keadaan mesra dalam penderitaan hidup bersama ibu dan
ketiga saudaranya tanpa ayah, datang seorang pegawai kantor pos,
seorang klerk yang bernama David Kaha, melamar kakaknya Dina. Gerson marah betul dan ia mengungkapkan kemarahannya dalam cara anak-anak. Ia pergi ke sekolah tanpa makan pagi. Pulang sekolah, ia melempar
mangga muda dan mengunyahnya, menelan sekenyang-kenyangnya. Kemudian ia memanjat murbai dan terong belanda yang pohonnya tinggi. Di rumah,
ketika kakaknya Dina berada di dapur, ia lalu masuk ke kolong tempat tidur dan
tidur di lantai tanah.
"Perbuatan demikian konyol itu kulakukan sebagai protes. Aku
tak setuju kalau kakakku kawin dengan klerk itu. Tidak. Ketika kakakku
memanggil aku dengan suara lembut, membujukku, barulah aku keluar dari kolong
tempat tidur kemudian mengunyah makanan yang diberikannya. Akan tetapi
tiba-tiba ia si klerk itu datang lagi. Aku keluar, bermain di halaman tetapi
tiba-tiba aku memungut sebuah batu besar dan kulempar ke pintu. Gedebuk! Seisi
rumah berteriak memanggil namaku. Mereka menegurku.
Kalau sekarang kulihat para
cucu kakakku Dina yang kini telah menjadi sarjana dan dosen, aku tersenyum
sendiri. Akan tetapi memang aku sedih dan marah betul ketika kakakku kawin
dengan klerk itu. Sedih bercampur marah. Aku tetap konsisten dengan
ketidaksetujuanku ketika diajak ke rumahnya. Hanya abangku Min dan adikku Nona
yang ikut dengan kakak Dina ke rumahnya."
Setelah Dina menikah, seorang guru Injil asal Rote, om Malole, memberikan sebidang tanah
di Hambal kepada mereka. Lalu Gerson dan ibunya pindah ke sebuah pondok di tanah kebun itu. Raja Manggarai yang beragama Katolik memberikan kawasan Hombal untuk
para pendatang yang pada umumnya Protestan. Guru Injil Malole menjadi
koordinator. Hanya ia dan ibunya yang tinggal di kebun itu, di sebuah gubuk
milik om Tampati, seorang polisi yang berasal dari Manado .
"Kami pindah ke pondok itu hanya
dengan beberapa ikat jagung kering yang ibu peroleh entah dari mana. Tanpa
minyak aku goreng jagung itu. Kerasnya seperti batu tetapi gigi-ku kuat bak
tang layaknya sehingga butir-butir jagung itu hancur dan memasuki perutku,
kemudian aku menuju tabung bambu betung yang besar yang tergantung di tiang
berisi air yang diambil dari mata air bening di tepi kebun. Aku mengangkat
dasar bambu itu ke atas dan airnya muncul di mulut bambu lalu aku meminum air
yang tak dimasak itu sepuas-puasnya.
Ibuku mengontrol anak-anaknya yang tinggal di rumah gedongan
sedangkan aku tinggal sendiri di gubukku sambil bernyanyi-nyanyi dan membaca
buku riwayat hidup Napoleon. Malam-malam ibu pulang ke pondok ilalang kami."
Untuk membersihkan ilalang dan semak di kebun itu, seorang kakek dari desa Tenda serta anaknya Karaeng Ramut membantu mereka. Bapak tua itu, yang biasa dipanggil Ema Tu'a, anaknya Karaeng Ramut dan seorang anak perempuannya yang lain kemudian menjadi teman baik bagi Gerson dan ibunya. Mereka bahkan membantu menanam padi tanpa bayaran. Ayah Gerson pun kadang pulang membantu mengerjakan kebun dan kembali ke penjara pada sore harinya. Jika padi, jagung dan singkong mulai menghijau, Gerson menjadi 'baby sitter' dua orang gadis kecil. Seorang sudah bisa berjalan dan seorang masih merangkak. Tahun 1979 Gerson ke Ruteng dan bertemu Karaeng Ramut.
"Dia langsung bertanya mengenai ibu dan ketika
aku mengatakan ibu sudah meninggal, matanya berkaca-kaca, diam se-saat lalu
berkata, "Ibu mengajar saya memasak sayur". Karaeng Ramut, masih sehat, awet muda, karena
banyak makan sayur."
Gerson juga bertemu dengan kedua balita kecil yang ia jagai di tahun 1997. Keduanya sudah menjadi ibu guru. Malah
keduanya sudah menjadi kepala sekolah.
"Kedua gadis Rote itu kawin dengan orang
baik-baik sehingga dapat mempunyai rumah besar, semuanya, semua lantainya
terdiri atas keramik putih, jendela dan pin-tu kayu jati dan sudah punya anak
dan cucu tetapi aku tak akan menceritakan pengalamanku kepada keduanya. Biarlah
mereka bahagia. Aku tidak akan menyanyikan lagu duka mereka. Mereka tak tahu bahwa aku seorang
yang tidak punya rumah, pekerjaan tetap, mobil dan harta lainnya. Mereka berdua
hanya tahu bahwa aku seorang pengarang dan wartawan freelance."
Di tengah serba kesederhanaan di Ruteng ini pulalah, Gerson menyaksikan kedatangan bala tentara Jepang. Saat konvoi tentara Jepang tiba, semua berlutut dan menyembah. Gerson merasakan ada yang dilemparkan kepadanya dan ia mengira itu bom. Ia gemetaran dan berdoa agar bom itu tidak meledak. Ternyata setelah konvoi lewat, yang dikira bom itu adalah biskuit dan permen dan anak-anak berebutan.
"Tentara Jepang yang gundul-gundul itu masih muda-muda. Topi
mereka seperti topi yang banyak dijual di toko-toko sekarang tetapi di kiri
kanan dan belakang topi ada pita-pita lebar bergantungan. Mereka berhenti di
samping pasar. Di tepi kebun kopi yang rimbun. Ada yang turun lalu langsung
menimba air parit dan memasak nasi dan sebagainya. Aku diberikan uang Jepang
logam dari aluminium. Puas menonton
tentara gundul yang pendek-pendek itu, kami anak-anak berjalan ke rumah
kontrolir (bupati Belanda) yang kulihat kedua tangannya sudah diikatkan ke
tiang bendera mulai dari pagi sampai malam. Aku terharu, aku tidak bisa
mengerti, bagaimana sehingga keadaan begitu berbalik seratus delapan puluh
derajat."
Ayahnya hanya beberapa
bulan di penjara. Menurut Gerson, mungkin karena
perusahaan Singer Sewing Machine adalah perusahaan Amerika, musuh Jepang. Gerson kemudian disekolahkan lagi. Di sekolah ini banyak cerita dikenang Gerson termasuk kenakalan masa kecilnya menjatuhkan kacamata guru sehingga dipukul sampai kepalanya pecah, membasahi baju anak perempuan, berkelahi, membuat pesawat terbang dari kayu waru, menonton stomwalls, menonton pertunjukkan jalanan dst. Namun satu ingatan yang tak pernah ia lupakan adalah guru kelas lima, Tuan Sintus de Rodriques,
seorang Larantuqueros (orang Larantuka). Tentang guru Sintus ia mengenang:
"Selain senang
pada pelajaran berhitung terutama hitungan-hitungan yang hanya memakai angka,
tanpa kata-kata, untuk pertama kali aku mendapat ‘hadiah sastra’. Aku membuat
sebuah esei di batu tulis. Ia membacanya. Tiba-tiba ia menyuruh kami diam dan
ia membacakan eseiku di depan kelas. Rasanya dialah, Guru Sintus itulah yang
mengantarkankan aku menjadi seorang sastrawan Indonesia. Aku selalu
mengingatnya sehingga berita kematiannya di Jakarta karena sakit, sangat
menyedihkan aku karena aku ingin sekali bertemu dengannya untuk memberitahukan
bahwa aku telah menjadi seorang sastrawan di negeri ini."
Seorang guru yang lain yang juga diingatnya adalah guru kelas enam bernama Tuan Tjangkung, asli Manggarai. Di kelas enam, pertama kali Gerson mendapat pelajaran sejarah. Sejarah tempo dulu Manggarai diceritakan dengan
bahasa yang sangat menarik, kata Gerson. Gerson masih ingat cerita guru itu tentang sopi:
"Dahulu, orang
Manggarai tidak mengenal sopi atau arak.” Lalu datang seorang raja dari Pulau
Rote, yaitu raja kerajaan Ti. Raja Ti ini, dibantu oleh opas Feosau, juga orang
dari Rote, membuat periuk tanah yang besar, lalu menyuling tuak dari sirup
aren."
Gerson juga ingat seorang adik kelas "yang badannya bundar
boncel" dan pintar bermain bola. Anak itu adalah Ben Mboi yang kemudian menjadi
gubernur NTT.
Di tahun 1945, ketika Jepang kalah, kelas enam dibubarkan
dan tinggal dua kelas saja seperti Sekolah Standar sebelum Jepang. Gerson tak pernah menerima ijasah SD, hanya sepotong surat tulisan tangan
yang ditandatangani Tuan Tjangkung bahwa dirinya sudah menamatkan Sekolah Rendah
enam tahun. Menurut Gerson, sejak ayahnya keluar penjara, mereka berpindah-pindah temapt tinggal sebanyak enam kali. Kali keenam mereka menempati rumah sendiri di dekat Mataair Mabumuku.
Ayah Gerson kemudian bekerja pada Tsubono. Sebagai anak-anak Gerson ingat mereka berkelimpahan makanan. Ia ingat seorang pencuri baik hati yang ia sebut 'Robin Hood' bernama Daniel Jacob, atau anak kecil yang meraup susu bubuk dan memasukkan ke dalam mulutnya. Anak itu adalah Adi Bu Amalo yang kemudian menjadi Walikota Kupang. Ia juga mengingat para Heiho ke rumahnya membawa sekitar 20 kg bongkah perak dari Reo yang dibom Sekutu, namun ibunya kemudian mengembalikan perak-perak itu karea begitu logam mulia itu di simpan di rumah, petir dan halilintar menyambar pohon bambu di samping rumah mereka. Ia juga ingat adiknya membuang intan yang belum diasah dalam sebuah amplop ke sungai karena dikira sampah. Ia juga bercerita tentang para
jugun ianfu yang banyak dibawa dari Jawa. Atau hadiah sepeda dari seorang tentara Jepang kepada abangnya Min Kecil. Gerson rupanya sangat mengagumi abangnya yang selama pendudukan Jepang tinggal dengan para tentara Jepang:
"Selama tinggal dengan opsir Jepang itu pada suatu hari orang
melihat abangku membawa truk Jepang. Karena kecil ia menaruh bantal besar
pantatnya. Akan tetapi yang paling nakal adalah pada suatu sore ketika ia
sedang berkeliling kota di atas kudanya yang menderap lembut (tel). Tiba-tiba,
ketika ia melewati depan kompleks yogun ianfu, ada seorang perempuan cantik
menahannya dan meminta dibonceng. Ketika itu akusedang berdiri di deplan toko
Tionghoa.
Aku lihat kudanya memacu kencang (halop) dan perempuan yang
berbadan tinggi itu memeluk erat anak kecil Benyamin yang memboncengnya.
Bajunya melayang sehingga pahanya yang pucat menjadi tontonan banyak manusia di
tokok itu. Perempuan itu menangis, meringis-ringis, berteriak, "Sudah,
Min, sudah, Min, cukup, pantat saya luka sakit," tetapi si Benja
(panggilan ibuku ketika marah padanya) terus memacu kuda itu sambil
tertawa-tawa."
Pada kesempatan lain ia bercerita tentang kebengalan kakaknya, mencuri anjing untuk dibuat RW atau membual bahwa ia adalah turunan bangsawan Manggarai. Gerson memang mengagumi kakaknya itu yang disebutnya Spartan atau Tarzan kecil:
"Abangku, mungkin karena dia joki ulung di seluruh Manggarai
maka banyak orang yang mengaguminya, menyebut-nyebut namanya. Di antara yang
mengaguminya itu adalah seorang gadis kuning bening. Nama gadis itu aku lupa.
Keduanya bersahabat akrab, sebutlah berpacaran. Akan tetapi pada suatu malam,
ketika purnama raya, aku lihat ada makhluk berselubung kain kalas (tenunan
Manggarai) yang berjalan. Tubuhnya satu tetapi kakinya empat. Dua hitam, satu
putih. Pastilah itu abangku Benyamin dan pacar putihnya."
Tentang cita-cita masa kecilnya Gerson mengaku tak pernah bermimpi menjadi penulis atau wartawan. Ia memang suka membaca tapi tak pernah terpikir menjadi penulis, ia malah ingin menjadi sopir atau menjadi aktor. Semua berangkat dari pengalaman masa kecilnya menonton stomwalls dan sandiwara keliling:
"Aku selalu asyik menonton stomwals. Besi yang besar itu menggiling
jalan raya dan aku berkata kepada diriku, bahwa kalau aku besar aku ingin jadi
sopir kendaraan besi. Memang banyak hal yang menarik di kota Ruteng. Begitu
banyak permainan dan perbutan yang menyengkan. Permainan-permainan seperti
membuat kuda dari pelepah pisang lalu berlari, tidak melontarkan aku ke masa
depan. Aku tidak ingin menjadi joki. Membuat perahu, mobil-mobil dari kulit
jeruk Bali, tidak melontarkan aku ke cita-cita untuk menjadi montir. Begitu
pula ketika aku membuat kapal terbang. Tidak ada impian untuk menjadi montir
pesawat terbang, kecuali bermimpi indah untuk menjadi pilot. ...Biasanya kalau aku sedang bermain bola di lapangan, ada saja
kertas koran atau sobekan beberapa halaman buku yang terbang ke tengah
lapangan. Aku segera berhenti, membongkok lalu membaca. Tetapi aku tidak pernah
ingin menjadi pengarang buku atau wartawan. Impianku hanyalah yang dua itu.
Menjadi sopir stomwals yang beratnya entah berapa ton itu dan kemudian menjadi
bintang panggung. Menjadi aktor. Keinginanku hampir tercapai ketika duduk di
kelas tiga sekolah Guru Atas di Surabaya. Aku menjadi terbaik pada festival
Seni Drama di tahun 1956. Aku ingat Jetty Sumali, kakak Tatiek Maliyati
Sihombing menjadi sutradara terbaik. Grup teater mereka menjadai pemenang
pertama. Tapi akhirnya aku tidak menjadi aktor. Aku menghadapi pekerjaan yang
lebih berat daripada sopir stomwals. Aku menjadi pengarang cerpen, dan novel-novel.
Aku membaca setiap hari, menulis setiap hari. Ini lebih berat daripada menjadi
sopir stomwals."
Semua kenangan Gerson seperti tersimpan rapi dalam ingatannya, termasuk perkelahiannya dengan anak polisi yang membuat ayahnya anak itu marah, bersama ayahnya berjualan parang untuk mendapatkan padi di tempat bernama Cancar, menjadi pedagang keliling (
papalele) selepas SR, atau cinta monyetnya dengan putri raja Manggarai. Ia juga ingat cerita sebuah desa yang disebut paling bersih karena semua rumah punya kakus. Seorang bangsawan bernama Kraeng Mboi yang disebut Mantri Kakus Mboi sangat rajin meneliti kakus, jika kurang bersih pemiliknya akan kena bogem.
"Dia memakai gala yang panjang dan menusuk-nusuk tinja di
dasar kakus. Kalau tinjanya kurang tebal, dia panggil pemiliknya lalu tos,
bogem mentah dikirim ke tubuh pemilik itu. Rakyat tidak dendam karena sadar
bangsawan Manggarai itu bekerja keras untuk menghindarkan rakyat dari El Maut,
dari penyakit."
Ayah Gerson kemudian diangkat lagi menjadi pegawai negeri Negara Indonesia Timur (NIT) dan di pindahkan ke Maumere. Sebelum berangkat ayahnya membuat bunga rampai lalu disebarkan
di sebuah perempatan sambil berkata, ”Selamat Tinggal Kota Penderitaan!”.
Gerson mengingat dengan detail 'perjalanan' hidupnya. Menurutnya mereka meninggalkan Ruteng dengan sebuah truk, menginap semalam di rumah iparnya David Kaha yang sudah pindah lebih dahulu ke Bajawa. Besoknya
truk meneruskan perjalanan ke Endeh dan tiba di kota itu malam hari. Mereka menumpang di rumah om Eka dan besoknya meneruskan perjalanan ke Maumere.
"Malam hari tiba di Nita, kami dibawa ke ‘hutan’ kelapa dan dalam hutan kelapa
itu ada desa buatan Jepang yang disebut Weru Oret. Ada kantor pos, ada
rumah-rumah darurat dan kami dibawa ke rumah yang pernah didiami perwira tinggi
Jepang. Rumah itu didiami oleh Commies Loudoe yang akan menjadi bos ayahku. Di
situ telah ada klerk Blantaran de Rosarie menempati satu kamar, tidur di atas
tikar. Dua keluarga satu kamar, termasuk Paul Leiloh. Setiap hari para pegawai
dibawa dengan truk dari Weru Oret ke kota pelabuhan dan perkantoran Kabupaten
Sikka, Maumere."
Tak berapa lama rumah para pegawai pemerintah selesai dibangun dan mereka pindah ke Maumere di mana mereka tinggal persis di belakang rumah Raja Sikka. Di Maumere inilah ia mengikuti kursus tertulis jarak jauh bahasa Inggris dan stenografi dari Surabaya setelah membaca sebuah prospektus yang dibawah ayahnya dari kantor. Ayahnya memang menginginkannya menjadi wartawan, menyetujui idenya dan membiayainya.
Abangnya Benyamin juga menemukan keasikan baru sehingga
ia tak pulang-pulang. Di sebelah utara Seminari Ledalero ada tumpukan
mobil-mobil dan tank-tank dan peswat bekas peninggalan Jepang.
"Di samping tumpukan bekas mesin perang Jepang itu, ada pohon-pohon mangga,
pisang dan singkong. Ada juga barak yang atapnya masih bagus. Di sanalah
abangku tinggal bersama ular, tikus dan serangga lainnya. Ia membuat api
unggun, membakar ubi, merebus air dengan topi-topi baja. Bukan saja air tetapi
singkong, nasi dan jagung direbus dengan topi-topi yang pemakainya sudah
menjadi debu dan tulang. Berkali-kali aku mengomeli dia, pulang, pulang, tetapi
ia tak mau pulang. Ia tak mau memberatkan ekonomi ibu. Pertanyaan makan apa
yang kulontarkan ia menunjuk pohon-pohon mangga yang besar, buahnya bermatangan
dan berjatuhan. Ia menunjuk pisang, singkong dan kelapa!"
Tidak lama kemudian Benjamin, yang kemudian menjadi polisi ini, muncul dengan pakaian baru dan
bungkusan onderdil truk-truk untuk dibawa ke toko Tionghoa yang memesannya.
Pedagang Tionghoa mulai sibuk menghidupkan ekonomi dengan truk pengangkut
kopra, truk tua yang membutuhkan onderdil. Benjamin telah menemukan barang
bekas yang bisa diumpamakan sebagai tambang emas. "Tinggal di timbunan mobil bekas, membuat dia menjadi montir," kenang Gerson.
Di Maumere ini pulalah untuk pertama kalinya Gerson tahu kalau ayahnya bisa menulis, setelah memergok ayanya menulis puisi dalam bahasa Latin.
"Tiba-tiba ayahku sibuk. Di malam hari, ia duduk di meja
kamar depan, membakar lampu taplak, mengambil botol tinta dan pena serta kertas
dan kamus lalu menulis berjam-jam sampai larut malam. Di hari minggu pun,
karena Mumere tak ada gereja Protestan, maka ayah tak keluar. Ia menulis terus,
menulis terus. Ketika aku mencuri-curi membacanya ketika ayah pergi, aku lihat
ada sebuah sajak panjang berjudul Te Deum Laudamus. Entah apa artinya dalam
bahasa Latin."
Sajak itu kemudian dikirimkan ke tabloid Bentara di Endeh, namun tidak dimuat. Saat pemimpin redaksi tabloid itu mampir ke
Maumere ia menyempatkan diri mencari ayah Gerson di kantor kontrolir dan mengatakan
bahwa sajak atau lebih tepat disebut syair karya ayahnya itu terlalu berat dan
tidak cocok untuk pembaca Flores yang belum bisa mencerna dengan baik karya
yang demikian. Atasan ayahnya, Commies Loudu sendiri pernah berkata tentang tulisan ayahnya pada seorang tamu di rumahnya dan aku mendengarkannya. "Dulu, sebelum
perang, Nani menulis sebuah artikel berjudul Allah, Manusia, dan Wet. Wah,
Belanda-Belanda baca artikel itu dan mereka marah," kata Gerson menirukan Commies Loudu.
Kalabahi, SoE dan Surabaya
Dari Maumere, ayah Gerson kemudian dipindahkan ke Alor pada tahun 1948. Untuk ke Alor, mereka harus ke Kupang dulu. Ketika mendengar mereka sedang berada di Kupang, kakak tirinya Mariana datang menengok mereka ke Kupang. Ayahnya memutuskan untuk membawa Mariana ke Alor. Ia mencoba meminjam uang sana-sini untuk biaya Mariana ke Alor namun gagal. Ia mencoba menjual sebuah weker ke toko-toko China namun gagal juga. Akhirnya ia mendapat pinjaman dari keluarga Joosten. "Maka berlayarlah kami bersama kakak perempuanku yang telah lama berpisah dengan ibunya, dengan ibu kami."
Di Alor, Gerson yang sudah tidak bersekolah empat tahun, iseng bertanya kepada satu-satunya guru di sebuah sekolah yang disebut
Opleiding Voor Volksonderwijzer (OVVO). Ia diterima hanya dengan persetujuan lisan dari sang guru, Tuan Sirituka. OVVO adalah Sekolah Guru Desa dua tahun di Kalabahi. Di kelas ia paling tua, untunglah badannya kecil jadi tak terlalu kelihatan. Ia tidak malu, sambil mengingat sebuah pepatah dalam kursus bahasa Inggris yang ia ikuti sebelumnya "Better late than never".
Pada tahun 1953 ia melanjutkan ke Sekolah
Guru Bawah (SGB) yang semula disebut
Normaal
School di So’E, Timor Tengah Selatan. [more details to come]