Dua puluh dua tahun lalu aku sedang rajin-rajinnya mengikuti paduan suara gereja. Bukan sepenuhnya karena aku senang menyanyi, tetapi sebagian karena aku sedang naksir seorang gadis yang sekarang menjadi istriku. Namun bukan kisah cintaku yang akan kuceritakan dari kisah paduan suara ini, melainkan kisah seorang seorang ibu yang setia dan rajin.
Ibu itu, aku biasa memanggilnya tante Lin, adalah anggota paduan suara Ebenhaezar di mana aku bergabung. Dia sangat setia dan hampir tak pernah alpa mengikuti latihan paduan suara setiap malam Kamis, Jumad dan Sabtu. Selalu datang lebih awal bersama temannya, tante Eti, walaupun semua anggota paduan suara datang terlambat dan banyak yang lebih sering tidak datang.
Ibu itu adalah seorang binatu yang juga biasa menjadi bidan melahirkan dan tukang pijat di kampungku. Suaminya, om Nadus begitulah kami memanggilnya, adalah pekerja serabutan mulai dari menggali sumur, menggali kuburan dan kadangkala menjadi tukang kayu dan batu. Manakala ada yang membutuhkan, mereka mendapat pekerjaan. Begitulah kehidupan mereka dan setahu aku tidak ada anak-anaknya yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Dua puluh dua tahun lalu, ya aku ingat benar karena waktu itu aku kelas tiga SMA menjelang lulus dan aku dikeluarkan dari sekolahku karena sering bolos. Dan aku ingat benar, tante Lin sedang hamil waktu itu. Namun dia tetap setia dan rajin seperti biasa. Tidak banyak bicara dalam paduan suara namun selalu datang tepat pada waktunya. Selalu hadir walau anggota paduan suara lain mulai kehilangan semangat untuk berlatih. Dalam bayanganku, orang pertama yang selalu aku temui di bangku-bangku kosong gereja atau bangku kosong tempat latihan paduan suara adalah Tante Lin.
Waktu berlalu begitu saja dan aku menamatkan SMA lalu melanjutkan kuliah dan harus tinggal di asrama sebuah perguruan tinggi. Aku tak bisa mengikuti latihan paduan suara lagi. Aku pun sudah melupakan anak dalam kandungan itu entah kapan lahirnya. Walaupun rumah kami berdekatan, dan aku masih sering pulang, aku tak lagi bisa merasionalisasi yang manakah anak yang dulu dikandung itu, karena keluarga itu punya beberapa anak. Lagipula aku jarang berkunjung ke rumah mereka dan kalau pulang ke rumah hanya sebentar.
Di tahun 2008 saat aku telah bekerja di Jakarta, facebook mempertemukan aku dan seorang anak yang aku tahu adalah anak dari ibu itu. Dia telah bersekolah di perguruan tinggi swasta terkemuka di Karawaci, Univeritas Pelita Harapan. Aku mengundang ke rumah dan kami tahu beberapa hal darinya. Iya bercerita dengan bangga dan polos bahwa ia bisa melanjutkan pendidikan ke UPH. Awalnya ia bahkan tak tahu kalau UPH itu salah satu univeritas pretigious, universitas tempat Agnes Monica mengenyam pendidikan.
Undangan wisuda, kepada siapa harus dikirimkan? |
Menurut anak ini, beasiswa UPH bukanlah yang pertama kali ia dapatkan. Ia pernah mendapatkan sebuah beasiswa sebelumnya karena nilainya yang tinggi namun beasiswa yang suduh dijanjikan itu kemudian dikasih seorang temannya, anak pejabat di kelasnya. Ia tidak kecewa.
“beta percaya kalau Tuhan su kasih Dia sonde akan lari ke mana-mana dan beta percaya beta pung bagian ada,” katanya saat itu.
Beasiswa UPH pun tidak didapatkan dengan gampang. Dia mendaftar pada hari terakhir menjelang penutupan pendaftaran karena tidak punya uang. Biaya formulir Rp. 50 ribu terpaksa ia pinjam dari teman sekelasnya yang kemudian ia ganti secara bertahap. Malam menjelas tes, di rumahnya ada kematian, sehingga ia tak mungkin belajar. Apalagi ia harus menjaga adiknya yang masih bayi. Ia tidur malam itu tanpa menyentuh buku.
“Beta su biasa belajar sambil koko adi dan bamasa, jadi beta sonde kuatir apa yang terjadi besok pagi. Beta tidur malam itu dengan doa bahwa kalau memang ini beta punya, Tuhan sonde akan kasi ke mana-mana,” katanya.
Dince termasuk diantara 17 anak yang lulus dari seluruh propinsi NTT dan empat orang yang lulus dari SMA 1 Kupang. Dia hampir tak percaya kalau dia dinyatakan lulus. Tak pernah ia membayangkan dalam hidupnya akan keluar NTT, apalagi ke Jakarta.
Barulah saya sadar bahwa anak ini adalah anak yang dalam kandungan tanta Lin 22 tahun lalu, setelah saya tanyakan usianya dan saya kalkulasi dengan tahun saya ‘aktif’ di paduan suara.
Pagi tadi, 1 Juni 2012, anak yang dalam kandungan 22 tahun lalu itu, diwisuda di UPH. Wisuda yang adalah wisuda dual degree UPH Teacher College dan Corban University mengambil thema dari Injil Matius 25:21 “May we be faithful”. Saya merasa harus menyempatkan diri untuk datang dan saya merasa sungguh terhormat bisa mendampinginya. Ayah dan ibu tak bisa datang karena tak punya ongkos. Aku tak mungkin bisa menggantikan mereka di sisi anak ini, namun aku hadir setidaknya untuk menyatakan perhormatan dan kekaguman akan pencapaian anak ini. Orang pertama dalam keluarganya yang mengenyam pendidikan universitas dan menamatkan diri dari sebuah perguruan tinggi prestigious di Indonesia.
Tulisan di dinding itu bukan kebetulan belaka. |
Dalam acara wisuda dan pelepasan wisudawan, James T. Riyadi pendiri UPH bicara soal ‘cantik’ (beautiful). Dia bilang dalam beberapa hari ini yang dia perhatikan satu hal yang sama dari para wisudawan UPH. Kebetulan dalam seminggu terkahir UPH telah melakukan dua kali wisuda. Satu hal yang sama itu adalah: para wisudawan nampak beautiful. Namun dalam pidatonya itu James Riyadi bilang kencantikan itu bukan sekedar tampilan fisik tapi apa yang muncul dari dalam dan apa yang kita lakukan. Ia mengutip Roma 10: 15: “Alangkah indahnja kaki-kaki mereka jang membawa kabar-jang-baik". Dan profesi guru menurutnya adalah profesi yang membawa orang kepada kabar baik dan karena apa yang mereka lakukan sungguh indah/cantik. Para wisudawan memang cantik-cantik pagi tadi, namun ada kecantikan yang lebih luar biasa, kecantikkan sebagai Gamaliel-Gamaliel baru yang akan mendidik anak-anak di dalam ketaatan kepada Tuhan dan Yesus Kristus.
Di akhir pidatonya Riyadi membesarkan hati para guru baru ini dengan mengutip sebuah ayat dari kitab Wahyu 3:8 yang berbunyi: " .. Aku telah membuka pintu bagimu yang tidak dapat ditutup oleh seorang pun .."
Dan memang banyak pintu yang dibukakan dalam perjalanan hidup anak ini. Selama empat tahun di UPH, kadang dia tidak punya uang untuk sekedar membeli jajan, sabun atau perlengkapan anak gadis umumnya. Dia bahkan tak punya biaya untuk liburan ke Kupang.
“Selalu saja ada yang membantu tanpa saya minta.”Ia menceritakan kepada saya sebelumnya banyak orang-orang yang menolongnya tanpa ia perlu mengiba-iba atau meminta-minta atau menceritakan latar belakang keluarganya. Ia memang pandai membawa diri dan disayangi banyak orang. Ada orang China Ambon yang telah menganggapnya sebagai cucu sendiri, yang selalu mengundang ke rumah. Ada keluarga guru dan orang tua murid di Jawa tengah yang selalu mengantarkan makanan kepadanya dan teman-temanya saat dia melakukan praktek kerja lapangan di sana dan masih banyak lagi tangan-tangan yang menopang.
Percayalah pada Tuhan dengan segenap hatimu. |
Sekali waktu, ia sedang tak punya uang dan sedang mengharapkan kiriman uang dari orang tuanya atau kakak laki-lakinya, El, yang juga seorang tukang dan penggali sumur seperti ayah mereka. Dia pergi ke toko Gramedia untuk membaca buku. Setelah beberapa lama ia membaca buku dan ia ingin bergeser, ada uang seratus ribu rupiah di bawah sepatunya.
"Beta bingung, mau kasi pi satpam ma nanti pasti dia simpan. Jadi beta tunggu satu jam di situ, jangan-jangan dia pung orang datang cari. Tapi ternyata sonde ju. Beta akhirnya pulang dan pi foodmart, beta ame sprite ko bayar pake, dan ternyata dapat kembalian," ceritanya kepada saya.
"Beta ju takut kalau itu uang palsu, mati su beta mau bayar pake apa?" katanya sambil tertawa mengenang kala itu.
Anak ini memang pandai bergaul dan saya perhatikan sejak pagi tadi, begitu banyak teman yang menyapa ataupun sekedar bercanda dengannya. Dari berbagai kalangan. Dia memang tak pernah diam, mirip ibunya yang rajin dan polos. Ada temannya yang bilang dia membawa pengaruh yang besar bagi teman-temanya. Ia misalnya membuat banyak temannya di kampus bicara bahasa Kupang mengikutinya. Anak-anak dari Medan, Nias, Papua, Kalimantan, Jawa, atau Jakarta memanggilnya "te'o" yang dalam bahasa Kupang yang diambilalih dari bahasa Rote berarti "bibi". Bahkan ketika namanya dibacakan, gemuruh besar menggema di ruangan wisuda pertanda dia lumayan punya teman. Para mahasiswa bersorak ketika namanya disebutkan.
Pagi tadi dekan Teacher College Connie Rasilim dalam acara pengutusan juga menyinggung bahwa Tuhan tidak pernah terlalu terlambat mengirimkan orang yang tepat dalam hidup kita. Saya cuma mendengar apa yang dia katakan dan seakan semua terjadi sebagai kebetulan. Namun apakah yang kebetulan di kolong langit?
Saya juga sempat berpikir bahwa pergumulan selama studi di UPH mungkin tidaklah terlalu sulit. Alasannya, karena selama acara wisuda, setiap nama wisudawan dibacakan selalu tertera tahun masuk 2008 dan tahun wisuda 2012. Saya bertanya-tanya apakah karena semua mahasiswa di Teacher College adalah penerima beasiswa, tidak ada yang DO atau dikeluarkan? Ternyata saya salah, sebab angkatan 2008 adalah angkatan dengan tingkat DO paling tinggi dibanding angakatan lain. Dari 300 orang yang direkrut dari seluruh Indonesia, hanya 218 yang menyelesaikan kuliah. Dan anak ini terhitung di antara mereka yang setia dalam perkara studi menjadi guru. Ada yang dikeluarkan karena satu dan lain hal, ada yang memilih pindah kuliah karena merasa bukan panggilan menjadi guru. Mungkin itulah yang membuat dekan Teacher College dan mampu menahan rasa harunya saat ia menyebut angkatan ini dalam pidatonya.
Alone, literally, but she know who is beside her. |
Di café sore tadi, pembicaraan kami mulai lebih serius dan terarah setelah seharian penuh hura-hura dan kebahagiaan. Topik pembicaran kami sampai kepada ibunya dan saya terhenyak oleh sebuah penyataan sederhana dari mulutnya.
“Mama adalah imam bagi beta. Dengan semua ajaran mama beta seperti bisa melihat benang merah dari beta pung hidup sampai dengan saat ini. Kalau mama tak pernah mengajarkan iman kristen sejak kecil , beta sonde pernah bisa membayangkan bagaimana beta pung hidup jadinya,” katanya perlahan.Saya melihat air mata tertahan di sudut matanya.
“Dengan iman yang teladan yang diberikan mama, hidup beta jalani dengan sukacita dan ringan. Sonde pernah kuatir karena beta merasa selalu ada yang tepat datang dalam hidup. Di setiap persimpan hidup, Tuhan sonde pernah terlambat mengirimkan orang yang tepat . Dari dulu kotong su hidup susah dan kadang ketika pulang sakolah sonde ada makanan, mama minta kotongi minum air putih dan biasa sa seperti apa adanya,” katanya dengan senyum lebar dan mata berkaca-kaca.Wisuda UPH bukanlah akhir dari segalanya. Langkah pertama menjadi laskar Kristus di dunia pendidikan baru saja dimulai. Beberapa hari menjelang wisuda, 218 orang calon guru dari UPH dibagi-bagi untuk masa kontrak pasca beasiswa mereka di sekolah-sekolah Pelita Harapan di seluruh pelosok negeri mulai dari Papua sampai Nias, dari Manado sampai Kupang.
Dia berharap bisa kembali ke Kupang demikian juga orangtuanya. Namun hasil pembagian menyatakan lain: dia ditugaskan di Sekolah Lentera Harapan (SLH) Curug dekat kampusnya. Awalnya dia agak kecewa namun beberapa hari kemudian dia telah bisa menerimanya. Tanggal 9 Juni, dia akan kembali ke Kupang dengan biaya kampus selama dua minggu untuk menjenguk keluarganya, kemudian kembali lagi ke Jakarta lagi untuk memulai tugasnya sebagai guru baru dengan masa kontrak dengan pihak Yayasan UPH selama tiga tahun dan gaji tak lebih dari dua juta rupiah. Suatu jumlah yang terhitung rendah untuk ukuran Jakarta dan sekitarnya.
Sesuai kontrak, para guru baru inipun tak diizinkan memberitkan les privat untuk mendapatkan uang tambahan kepada para murid. Padahal biaya sewa kos yang telah ia dapatkan adalah Rp.600 ribu. Dia memilih share dengan teman baiknya yang 'kebetulan' ditempatkan di tempat yang sama. Ah, kebetulan yang indahkah ini? Saya ingin mengutip kembali katanya-katanya sendiri bahwa dalam setiap persimpangan kehidupan, tidak pernah ada orang yang terlambat dikirimkan kepadanya.
“Beta tahu berat tapi beta sonde takut kak. Beta pung jalan hidup su membuktikan semuanya. Dan mama selalu ajar bahkan bagaimanapun terbatasnya kotong, yang pertama yang harus diingat adalah perpuluhan setiap bulan. Amplopnya su musti tersedia sebelum pembagian untuk yang lain-lain,” katanya.
Di jalan pulang ke rumah saya bertanya-tanya dalam hati: Mungkinkah kebetulan saya berada satu paduan suara dengan tante Lin? Mungkinkah kebetulan beasiswa pertama yang ia terima dialihkan ke anak pejabat di kelasnya? Mungkinkah kebetulan saya bertemu anak ini di Jakarta? Mungkin kebetulan semua kata-kata dalam pidato-pidato pengutusan para guru tadi pagi? Mungkinkah kebetulan anak ini bertemu dengan orang-orang yang telah membantu dia selama dia bersekolah di UPH? Kebetulankah Saykoji manggung di UPH dan kebetulankah ia menghafal lyric lagu Saykoji? Mungkinkah kebetulan anak ini ditempatkan di SLH Curug? Dan sebuah mungkin yang lebih besar lagi adalah: mungkinkah kebetulan anak seorang binatu dan penggali sumur menamatkan pendidikan di UPH? Mungkin pertanyaan-pertanyaan itu harus kita jawab sendiri-sendiri. Saya tak bisa menjawabnya untuk anda.
Satu hal yang saya yakini: bukan kita yang memilih Allah. Allahlah yang memilih kita sejak dari kandungan ibu kita seperti kata nabi Yesaya.
Kini aku menyebut ingin nama anak itu. DINCE! Ibumu telah setia dalam banyak perkara, dan ia mengajarkanmu untuk setia. Sekarang hidup telah membawamu untuk perkara yang lebih besar: menjadi guru dan pembangun aklak anak-anak didikmu. Seperti thema wisuda hari ini yang diambil dari perumpamaan tentang talenta dalam Matius 25.21: “Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggungjawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.”
Selamat melayani, Ibu guru Dince! “May we be faithful”
Tangerang, 1 Juni 2012