Wednesday, July 20, 2005

Dili is not so far away...

Niat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberantas Korupsi ternyata belum menyentuh petugas-petugas Imigrasi korup di perbatasan Indonesia-Timor Leste. 

Mota Ain mungkin terlalu udik dalam ukuran Jakarta, namun bagaimanapun kampung bersejarah itu adalah salah satu halaman depan negara yang seharusnya disapu bersih dari kotoran korupsi. 

Berikut catatan penulis dari perjalanan tanggal 7 juli 2005 ke perbatasan Indonesia-Timor Leste.

“Di mana form yang hijau seperti ini?” tanya petugas Imigrasi Indonesia di perbatasan Mota Ain kepada saya.

“Saya tidak punya pak” jawab saya ragu-ragu kepada laki-laki muda yang di dadanya tertera papan nama Farid Apriandi. Dari nama dan logatnya jelas ia bukan orang lokal. Bukan juga orang Belu yang sering saya temui beberapa kali melewati tapal batas Mota Ain.


“Lho, bagaimana bisa tidak punya, pak yang ini saja punya?” katanya sambil menunjuk Arif Djati yang berdiri di depan saya.

“Mungkin saya tinggalkan di Dili pak, tapi seingat saya, saya tidak pernah menerima form sejenis itu”, jawab saya ragu-ragu sambil menambahkan “Memangnya ini biasanya didapatkan di m ana pak?”

Petugas itu dengan kalem dan sombongnya menyodorkan sebuah form, membalikannya dan menunjuk bagian belakang form itu sambil berkata:
“baca ini biar ngerti!”

Kalimat ini begitu menghina saya. Logika pelayanan publik macam apa yang memperbolehkan orang dibentak? Walau tak mengerti maksud petugas itu, saya membaca juga form itu.

Mata saya menelusuri kalimat-kalimat dalam form itu. Otak saya seakan sulit mencerna empat point yang tertera di bawah judul “PERHATIAN” karena pikiran saya lebih menerawang jauh ke balik pre-text dibalik tindakan administratif ini. Yang membuat saya mulai kuatir adalah kalimat yang berbunyi “Harap jangan dihilangkan bagian dari kartu ini dari paspor/surat perjalanan anda”.

Saya mulai bingung dan berdiri seperti tersangka di depan tiga orang petugas yang berpakian rapi itu. Sang petugas membiarkan saya berdiri di depannya sambil membuka-buka paspor saya. Teman-temannya yang lain diam seperti menunggu dan disamping mereka duduk dua orang yang tidak berseragam imigrasi. Salah seorang malahan duduk di atas jendela.

“Pernah tinggal di luar negeri ya?” tanya lagi.

“Iya pak”

“Berapa lama?”

“Dua tahunan pak”

“Anda kerja di mana di Dili?”

“CAVR pak”

Ia tak terus menanyakan apa itu CAVR, entah karena tahu, entah karena pertanyaan itu Cuma basa-basi semata. Saya terus berdiri menanti. Rasanya saya telah salah menjawab, seharusnya saja tidak perlu jujur mengaku bahwa saya bekerja di Dili. Pertanyaan seperti itu tentu bukan tanpa maksud. Tak lama kemudian dia berkata:
“Sepuluh dollar”

“Maksud bapak?”

“Bayar sepuluh dollar sebagai denda?” katanya dingin.

Saya menarik napas panjang. Pre-text dibalik tindakan sok tertib itu jelas sekarang. Ternyata ada udang di balik batu. Begitulah birokrasi: hal besar dikecil-kecilkan, hal kecil dibesar-besarkan. Kalaupun saya memang bersalah, logika mana yang membenarkan pembayaran sebesar itu? Berapa banyak orang yang sudah ia palak? Saya memperhatikan jam tangan keemasan yang melingkar di lengannya. Semoga itu bukan hasil sogok, guman saya dalam hati.

Niat SBY memberantas korupsi justru dipatahkan oleh kecoak-kecoak birokrasi macam ini. Jumlah mereka tentu jutaan bertaburan di seluruh bumi pertiwi. Bahkan mungkin banyak yang diekspor ke luar negeri, termasuk satu yang terdampar di perbatasan Indonesia dan Timor Leste ini. Ego saya terusik. Niat semula untuk memberi oleh-oleh $10 kepada dua orang keponakan kecil di Atambua bakalan berakhir di kantong petugas korup nan busuk ini. Mesti ada keberanian dan taktik!

Setelah mengatur napas sebentar, dengan tenang saya berkata kepadanya:
“Kalau begitu bapak tolong siapkan kwitansi”.

Mungkin merasa posisi tawarnya lebih kuat, dia pung menjawab tak kalah tenangnya: “tidak ada kwitansi..”.
Suasana saat itu saya rasakan bagai dua orang pemain catur sama-sama merasa posisinya kuat. Dia mungkin merasa kuat karena mengira saya tak punya pilihan. Senyumnya bagaikan pemain catur yang merasa telah mendesak bidak raja.

Tapi rupanya dia salah sasaran. Saya bukan orang yang rela dipermainkan cecunguk macam ini. Saya sadar benar peringatan katuas Max Weber[1] bahwa melawan birokrasi itu bak menabrak tembok, tapi saya juga ingat trik-trik anarco-sindikalis[2] melawan institusi yang namanya negara atau birokrasi itu.

“Kan tinggal ditulis tangan, ditanda tangani dan diberi cap imigrasi kan?” kata saya kepadanya.[3]
Dia nampaknya kewalahan, tak tahu harus menjawab apa, namun tetap memasang tampang arogan.
Teman-temannya mulai bereaksi. Mungkin karena merasa teman mereka terpojok, mereka mulai turun tangan. Salah seorang yang sedang berurusan dengan orang Philipina di sebelahnya ikut bertanya kepada saya:

“Tadi kamu bilang formnya dimana?”

“Mungkin ketinggalan di Dili pak”

“Kalau begitu kamu ambil sana ke Dili”, katanya sambil menunjuk ke luar.

Saya cuma bisa memandang mereka. Ini sungguh satu serangan telak buat saya. Saya tidak ingin menuruti keinginan mereka akan sogok, tetapi juga tidak ingin kalah dengan menunjukkan kemarahan saya. Saya diam saja. Sometimes the silence can be like thunder! kata Bob Dylan.[4]

Tapi rupanya katuas Weber ada benarnya juga. Siang di dalam ruang imigrasi di sebelah barat sungai Mota Ain itu terasa begitu panas. Saya dalam dilema besar sekarang. Haruskah saya menuruti kemauan petugas itu membayar $10 atau kembali ke Dili yang berjarak kurang lebih 100 km dari Mota Ain? Tidak! Walau uang di dompet saya cukup untuk membayar sepuluh koruptor macam itu, saya tidak akan membayar. Tapi kalau saya kembali ke Timor Leste apakah pihak imigrasi Timor Leste akan menerima saya? Apalagi dengan waktu visa yang tersisa empat hari. Jika saya ditolak kembali ke Timor Leste, kemana lagi saya harus pergi? Tidak mungkin saya tinggal di no man land. Jika saya bertahan di daerah tak bertuan, mungkin kasus saya akan heboh dan terbuka kemungkinan menjadi celebriti sesaat, tetapi mampukah saya bertahan di situ? Sangat mungkin saya hanya akan jadi tertawaan mereka, baik pihak Indonesia maupun Timor Leste. Mungkin mereka akan mengejek “Ke laut aje?[5]” Suatu hal yang tak mungkin saya lakukan mengingat jarak pantai Mota Ain dan pantai Kupang bukan jarak untuk sebuah jalan santai di tepi pantai.

Dengan lesu saya mengambil kembali paspor saya, membereskan tas saya dan melangkah keluar ruangan imigrasi itu. Pupus sudah harapan bertemu keponakan-keponakan kecil di Atambua, terbuang percuma waktu sehari, apalagi pekerjaan kantor menumpuk di Comarca Balide[6], Dili.

Saya menjelaskan duduk perkara kepada Arif yang menunggu di luar ruangan. Ia mengajurkan saya mengalah saja, namun saya menolak. Toleransi nol terhadap korupsi sekecil apapun yang coba saya pegang tidak akan saya korbankan. Arif terpaksa harus saya biarkan pergi sendiri ke Atambua, padahal kepergian saya sebenarnya untuk mengantar Arif.

Sambil memanggul ransel saya, saya kembali ke arah timur. Baliho besar bertuliskan “Selamat Datang di Indonesia/Welcome to Indonesia” yang berdiri kokoh di luar gedung imigrasi seakan mengejek. Gombal segombal pelayanan publik di Republik yang bernama Indonesia.

Hampir saja saya memutar langkah mendengar ajakan seorang pelintas batas yang lain untuk berkompromi dengan petugas imigrasi. Perempuan asal Makasar yang sekarang menetap di Aileu itu mengaku pernah membayar $5 untuk masalah serupa. Namun pengakuan itu justru membuktikan pungutan itu sebenarnya tak konsisten, tak beralasan, dan liar. Pengakuan itu justru memperkuat keputusan saya untuk tidak berkompromi.

Langkah saya lanjutkan. Masih dua pintu yang harus saya lalui sebelum masuk kembali ke Timor Leste: Bagian Karantina dan Pos TNI. Semoga tidak ada lagi tukang palak. Membiarkan saya kembali ke Dili saja sudah lumayan. Kemampuan acting saya keluarkan sepenuhnya. Efraim Janggu, petugas Karantina yang saya temui berkata: “Kami juga tidak bisa membantu pak, masing-masing instansi punya wewenang sendiri”. Satu lagi prinsip birokrasi menurut katuas Weber terbukti: sesama birokrat dilarang saling mendahului! Prinsip yang sebenarnya sudah dipraktekkan sejak jaman Romawi.[7]

Syukurlah pos tentara Indonesia juga bisa dilalui tanpa masalah. Setelah melapor ke pos tentara yang juga mengaku tak bisa berbuat apa-apa, saya melangkah ragu melewati tapal batas menuju daerah tak bertuan di bawah terik matahari Mota Ain. Tak sedikit pun saya menyesal akan keputusan yang saya ambil. Malah saya bangga bisa memegang teguh nilai yang saya punya. Siang ini bertambah lagi satu nama dalam deretan panjang daftar nama orang Indonesia yang ditolak kembali ke tanah airnya sendiri, hanya karena mencoba memegang prinsip yang mereka yakini. Persoalan saya mungkin tak seberapa berat: saya hanya tidak ingin berkompromi dengan korupsi sekecil apapun. Bagaimana lagi dengan mereka yang terusir karena ideologi politik yang mereka anut? Pantas saja, rezim silih berganti namun para exile tetap tak merasa nyaman pulang ke rumah sendiri.

Reaksi saya ini terkesan sombong mungkin, atau mungkin lebih tepat disebut keras kepala. Sambil berjalan saya teringat pak Hersri Setiawan[8], orang tua, mantan tahanan pulau Buru yang menceritakan kepada saya bagaimana ia berusaha memegang prinsipnya dalam tahanan dan siksa di pulau Buru.

Dalam sebuah makan malam pak Hersri menceritakan bagaimana ia tidak meminta ampun sedikitpun saat direndam dalam got di tengah malam buta oleh tentara penjaga tawanan. Kedua temannya yang lain berteriak-teriak minta ampun sepanjang siksaan itu. Di akhir siksaan, kedua temannya bisa langsung bangun dan bahkan berlari-lari. Rupanya teriak-teriak kedua teman itu membantu memperlancar sirkulasi darah sehingga menjaga kehangatan tubuh mereka. Tak demikian halnya dengan pak Hersri. Badannya kaku dan harus digotong keluar got. “Kalau teman-teman kemudian tidak menghangatkan tubuh saya mungkin saya mati saat itu. Seharusnya saya ikut berteriak, tetapi kesombongan saya membuat saya bungkam. Untuk apa minta ampun kepada orang bodoh?” kata pak Hersri. Kesombongan yang jujur diakui tapi justru membuat saya kagum.

Belum selesai lamunan saya, saya sudah berhadapan dengan para petugas imigrasi dan polisi-polisi dari Border Patrol Unit (BPU) Timor Leste yang sedang berdiri di pos mereka. Saya menceritakan masalah saya meminta kebijakan mereka. Semua apa yang terjadi di ruang imigrasi Indonesia saya ceritakan. Di luar dugaan, mereka jauh lebih membantu dan mengerti kondisi saya. Tanpa basi-basi kepala imigrasi meminta paspor saya. Dia mengatakan bisa saja pihaknya memberi perpanjangan visa tapi itu akan menimbulkan masalah di kemudian hari karena saya belum menyebrang ke Indonesia. Kemungkinan terbaik adalah membatalkan cap kepergian saya ke Timor Barat dan saya bisa mengurus perpanjangan visa saya di Dili.

Beberapa menit kemudian buku kecil berwarna hijau itu sudah dikotori cap CANCELED. Dan dengan sendirinya saya masih berhak tinggal empat hari di Timor Leste. Ancaman terdampar di no man land berlalu sudah. Rasa terima kasih yang tidak terkira saya sampaikan kepada para polisi dan petugas imigrasi itu.
Malahan gara-gara masalah ini saya jadi punya bahan bicara dengan polisi-polisi Timor Leste dan saling berkenalan. Pembicaraan pun mengalir dalam suasana informal, bahkan gelak tawa sekali-sekali memecah. Tentu saja tentang hal ikhwal mental petugas-petugas Indonesia. Kepentingan yang sama memang mudah menyatukan orang. Foto-foto bersama pung berlangsung. Sejumlah pelintas yang sedang menunggu pembukaan perbatasan nampak menyaksikan keasyikan kami.

Beberapa menit kemudian, petugas imigrasi Indonesia yang menyuruh saya pulang ke Dili, datang ke pos imigrasi Timor Leste. Saya menghampirinya. Perang melawan korupsi mungkin tak boleh setengah-setengah seperti perang melawan terorisme. Saya tambah berani, apalagi sudah tidak ada masalah dengan pihak imigrasi Timor Leste. Saat ia keluar dari ruangan imigrasi Timor Leste, saya menghampirinya. “Terima kasih pak sudah mengusir saya kembali ke Timor Leste”.

Ia nampak salah tingkah. Hampir tak berani memandang wajah saya. “Ya aturan memang sudah begitu, jadi begitulah” kilahnya. Dalam hitungan detik ia sudah kembali menaiki motornya bersama seorang petugas lain dari Timor Leste. Begitu motor yang ia tumpangi pergi, semua petugas imigrasi dan polisi Timor Leste yang mendengar percakapan kami, pecah dalam tawa.

Rasanya saya belum cukup memberi “pelajaran” kepadanya. Seharusnya saya menanggapi pernyataannya soal pemberlakuan aturan yang sama kepada semua orang. Benar bahwa aturan harus ditegakkan, tanpa pandang bulu, tapi ada prinsip lain juga yang tak boleh diabaikan: transparasi dan pembuktian. Ironisnya, ketika saya meminta kwitansi mereka mengusir saya kembali ke Timor Leste. Tapi khotbah moral macam itu mungkin tak akan mempan bagi koruptor yang tebal muka dan sudah kecanduan menghisap orang. Entah berapa Dollar atau Rupiah yang mereka bawa pulang untuk anak istri mereka setiap hari. Kasihan sekali orang-orang yang makan dari hasil curian seperti ini. Tapi lebih kasihan lagi orang-orang yang dipalak setiap hari oleh para petugas korup itu.

Sambil menunggu kendaraan yang mungkin melintas ke Dili, saya mampir sebentar ke kios kecil di sebrang sebuah jembatan kecil. Sebuah ide muncul di kepala saya: daripada $ 10 itu saya berikan kepada koruptor kotor kecil itu, sebaiknya saya berikan kepada orang-orang yang tidak memintanya namun mungkin membutuhkan. Saya membeli sepuluh bungkus rokok dan beberapa air mineral untuk para polisi dan petugas imigrasi itu.

“Ini bukan sogok, katakanlah ini ucapan terima kasih dari saya” kata saya kepada Emmanuel Misa, polisi yang menemani saya ke kios itu. Saat keluar dari kios itu, sebuah truk besar datang dari arah Indonesia. Emmanuel yang ayahnya berasal dari kota SoE, Indonesia itu menawarkan jasa meminta tumpangan supir truk itu. Sambil menitipkan rokok-rokok itu ke polisi itu saya terburu-buru menumpang truk barang itu beranjak ke Dili.

“Sampaikan salam saya kepada bapak-bapak itu, saya harus pergi sekarang” Saya melompat ke atas truk Nissan Diesel besar ber plat nomor DH 9933 CA milik CV Gunung Mas itu yang segera melaju meninggalkan Mota Ain. Pak Stanis sang sopir asal Kefamenanu bersedia memberi tumpangan.

Sepuluh tahun pengalaman pak Stanis mengemudikan mobil besar di medan terjal Timor membuat saya merasa aman duduk di depan truk yang sedang bermuatan 5 ton itu. Apalagi di bagian dalam pintu mobilnya terpampang stiker dengan tulisan: Tuhan, Lindungilah perjalananku ini. Di kaca depan menggantung mengayun sebuah rosario. Dia pasti seorang baik yang membanting tulang sedekar untuk bisa makan atau menghidupi keluarganya. Kasihan, kalau orang seperti ini juga dipalak oleh petugas imigrasi busuk itu.

Sepanjang jalan ke Dili, saya hanyut dalam lamunan. Pupus sudah harapan berbangga-bangga menjadi seorang kakak, gara-gara sepotong kertas. Mota Ain-Dili yang berjarak kurang lebih 100 km harus ditempuh lagi. Terbayang wajah petugas korup itu.

Walaupun tidak saya sesali, terasa sebagai sebuah keputusan yang bodoh juga untuk tidak menuruti keinginan petugas itu. Namun, di hati saya ada pembenaran: lebih baik uang itu saya berikan secara sukarela kepada orang lain daripada diberikan secara terpaksa kepada seorang koruptor kroco, yang mungkin akan jadi koruptor besar suatu saat. Sebuah pemberian sukarela terasa jauh lebih ringan daripada “upeti” yang dipaksakan walaupun nilainya nominalnya mungkin sama. Mungkin itulah sebab orang macam Liurai Dom Boventura[9] menolak tunduk kepada Portugis. Pajak jalan yang ada sejak jaman Romawi, tidak saja berlanjut di jalan Tol di ibukota Indonesia, tapi juga di udik Indonesia.

Sepanjang jalan, sekali-kali kami berpapasan orang-orang bersahaja. Saya sempat berpikir, jika saya yang sedikit tinggi bersekolah saja masih diperas oleh petugas begundal macam begitu, bagaimana lagi yang terjadi dengan orang-orang ini jika mereka berurusan dengan imigrasi. Saya melawan karena masih punya pilihan, bagaimana dengan mereka yang tak punya pilihan?

Birunya laut, putihnya ombak yang memecah pantai, putihnya pasir sepanjang perjalanan melintasi pantai-pantai tasi feto[10] tak juga membuat saya lupa akan tingkah menjijikan dari orang sebangsa dan setanah air saya itu. Tak heran Taufik Ismail pernah menulis puisi berjudul “Aku malu menjadi bangsa Indonesia”.[11]
Truk Nissan Diesel yang melayani kemewahan perjalanan saya ini masuk Dili menjelang sore. Pukul 4.25 waktu Dili saya mohon turun beberapa meter sebelum jembatan Comoro. Sebungkus Gudang Garam filter dan terimakasih kepada pak Stanis. Taxi menyambung perjalanan ke rumah makan Manado kegemaran saya, mengisi perut yang sejak siang tadi sudah melantunkan mars perjuangan.

Dili memang tidak terlalu jauh, untuk sebuah kemarahan yang beralasan. Semoga SBY tahu bahwa salah seorang rakyatnya rela bersusah-susah naik truk 100 km kembali ke Dili, hanya karena tidak rela dipalak oleh seorang petugas imigrasi korup.

Dili bukanlah Jerusalem dan Mota Ain bukanlah Emaus, namun semangat yang ada di dadaku mungkin mirip semangat yang ada di dada dua orang murid Yesus yang berjalan ke Emaus.[12] Ada kabar yang harus diberitakan. Kabar kebobrokan para petugas Indonesia. Dili is not too far away to tell a story of a corrupt officer.[13]

Bidau Massau, Dili, 7 July 2005

[1] Max Weber sering dipandang sebagai perintis studi tentang birokrasi, dengan sejumlah karya-karya klasiknya antara lain: The Protestantism and Spirit of Capitalism.
[2] Anarco-Sindicalism adalah prinsip yang percaya bahwa tanpa negara, orang-orang kebanyakan bisa menjalankan mekanisme-mekanisme untuk mengatur dirinya sendiri. Sayangnya, Anarkisme telah mendapat nama yang jelek oleh kebanyakan penguasa dan bahkan ahli ilmu sosial. Apalagi di Indonesia di mana anarkisme tidak hanya dilabel secara buruk tetapi juga diberi label secara salah: aksi-aksi kekerasan oleh publik dicap sebagai anarkis, sementara inisiatif-inisiatif positif dari masyarakat tidak dihitung sama sekali sebagai anarki. Kenyataannya, inisiatif-inisiatif mandiri tanpa bergantung kepada negara (state) sama sekali adalah pengertian sebenarnya dari anarkisme.
[3] Tindakan saya ini sama prinsipnya dengan salah satu trik jika anda ditahan secara sewenang-wenang (arbitrary detention) oleh polisi atau tentara, yaitu menanyakan nama, pangkat dan kesatuan si penangkap.
[4] Bob Dylan, penyanyi lagu-lagu folk keturunan Yahudi-Amerika yang banyak menyanyikan kritik-kritik sosial. Lahir dengan nama Bob Zimmerman, kemudian memakai nama Bob Dylan, karena begitu mengagumi penyair Dylan Thomas walau ia tak pernah mengakuinya. Sekarang menetap di Australia. Di Indonesia orang pernah menyamakan Iwan Fals dengannya, karena kemiripan thema lagu-lagu mereka dan gaya mereka yang lebih suka memakai gitar akustik daripada gitar listrik.
[5] Teringat sepenggal syair lagu rap yang berbunyi “cewek matre, cewek matre, ke laut aje...”
[6] Comarca Balide adalah penjara yang dibangun oleh pemerintah Portugis tahun 1963 di Dili, Timor Leste yang juga di gunakan selama jaman Indonesia sebagai pejara politik dan tempat penyiksaan. Sekarang digunakan Komisi Penerimaan, Rekonsiliasi dan Kebenaran (ComissaƵ Acolhimento, Verdade e ReconciliacaƵ, CAVR) sebagai kantor.
[7] Prinsip ‘dilarang saling mendahului’ ini terlihat misalnya dalam pengadilan Yesus. Raja Herodes dan Pontif Pilatus sebagai potret dualisme birokrasi di daerah Galilea dan Yudea saling tarik ulur dalam mengadili Yesus. Herodes adalah keturunan Raja-raja Yahudi yang memerintah dan berkuasa dalam relasi rindu-dendam dengan Pontif Pilatus, representatif tentara pendudukan Romawi di daerah kekuasaannya. Dari peristiwa penyaliban Yesus ini jugalah terkenal tindakan simbolik Pilatus mencuci tangan sebagai tanda tidak turut bersalah atas tertumpahnya darah Yesus. Dengan tindakan demikian, Pilatus ingin menunjukkan bahwa bukan dirinya yang membunuh Yesus melainkan orang-orang Yahudi sendiri. Dalam kenyataannya ia tahu Yesus benar dan lebih lagi, ia punya otoritas untuk membebaskan Yesus, namun ia menolak melakukan keputusan yang tak populer itu karena orang banyak menginginkan kematian Yesus. () Tindakan mencuci tangan ini sebenarnya suatu tindakan yang bersumber dari tradisi Perjanjian Lama dimana... Dari sinilah asal ungkapan ‘mencuci tangan’ untuk tindakan menolak bertanggungjawab.
[8] Hersri Setyawan, mantan Tahanan pulau Buru yang menulis beberapa buku antara lain : Saya Seorang Napol, Catatan Pulau Buru I & II.
[9] Liurai (raja) Dom Boaventura adalah liurai dari Manufani yang memimpin pemberontakan yang terbesar dalam sejarah Timor Leste, menentang ‘pajak kepala’ yang diterapkan oleh Portugis pada tahun 1908. Pemberontakan yang berawal pada tahun 1911 ini adalah kelanjutan dari pemberontakan yang dipimpin oleh ayahnya liurai Dom Duarte pada akhir abad-19 hingga gubernur Celestino da Silva menyerang kerajaan Same di tahun 1895 dan Dom Duarte dipaksa menyerah tahun 1900. Pemberontakan Dom Boaventura dipadamkan Portugis tahun 1912 dengan mengorganisir sekitar 12.000 tentara dari liurai-liurai lain dan mendatangkan pasukan Portugis dari Mozambique. Tidak kurang 25.000 orang mati dan Dom Boaventura ditangkap dan diasingkan di pulau Atauro hingga meninggal di sana.
[10] Tasi Feto secara literer berarti Laut Betina atau Laut Perempuan, adalah sebuatan orang Timor untuk laut di bagian utara pulau Timor. Sedangkan laut di bagian selatan di sebut Tasi Mane yang secara literer berarti Laut Jantan atau Laut Laki-laki. Kemungkinan besar inilah yang disebut dualisme dalam kosmology orang Timor dimana mikrokosmos maupun makrokosmos dipahami dalam dualisme, jantan dan betina.
[11] Puisi ini pernah dibacakan oleh Taufik Ismail dalam sebuah acara RCTI pada tahun 2000 ketika saya baru saja pulang dari Dili dalam rangka peliputan majalah Udik. Editorial untuk liputan ini kami beri judul yang sama dengan puisi Taufik Ismail. Pada tahun yang sama, liputan dari Dili itu masuk nominasi ISAI Award, sebuah award untuk media alternatif di Indonesia.
[12] Cerita tentang perjalanan dua orang murid Yesus dari Jerusalem ke Emmaus yang bertemu Yesus namun mereka tidak mengenalNya ( ). Cerita ini secara singkat mempunyai pesan bahwa pengungkapan kebenaran (terbukanya mata), menciptakan semangat yang luar biasa untuk memberitakan kabar kebenaran bahkan kadang mengabaikan jarak dan kemampuan fisik. Kedua murid itu murid itu sudah jauh-jauh berjalan dari Jerusalem ke Emmaus (km) namun ketika mereka kemudian mengetahui bahhwa orang yang mereka temui di tengah jalan adalah Yesus, mereka kembali lagi ke Jerusalem untuk memberitahukan kabar itu, walau hari sudah malam.
[13] Salah satu prinsip pemantauan HAM adalah prinsip yang disebut “organising the shame” (mengorganisir rasa malu) yang secara sederhana berarti mengungkapkan cerita pelanggaran HAM yang membuat para pelaku merasa malu dengan harapan tidak akan mengulanginya lagi. Tak heran salah satu musuh besar para pelaku pelanggaran HAM biasanya adalah wartawan. Persoalannya menjadi lebih rumit kalau pelaku tidak lagi mempunyai rasa malu.

In the Shadow of Mount Ramelau Part II [1]

Dari puncak Ramelau. [Matheos Messakh]

Jalan berbatu menyisir lereng bukit itu sekali diselingi lambaian dan teriakan anak-anak kampung: Malae, Malae! Bondia! Pemandangan yang akrab buat anda jika masuk pedalaman Timor Leste.

Seorang teman Indonesia yang sudah beberapa kali mengunjungi tempat ini mengeluh soal kebiasaan para malae kulit putih[2] yang biasa memberikan kue-kue atau minuman kepada anak itu yang akhirnya menciptakan kebiasaan minta-minta di kalangan anak-anak kampung.

Tak heran jika, anda tidak hanya mendengar bondia (selamat pagi), boatardi (selamat siang/sore) atau boanoiti (selamat malam) tapi juga teriakan seperti: Aqua!, dosi!, dosi! pertanda mereka meminta kue-kue dan air mineral yang mungkin tersisa dari picnic atau tour of duty para malae.

Di sebuah persimpangan kami tak mampu menolak permintaan sejumlah perempuan dan anak-anak yang meminta tumpangan ke kampung mereka yang akan kami lewati. Mobil yang kami pakai adalah mobil “dinas” sebuah NGO internasional di Dili. Walaupun dipakai berdasarkan persetujuan resmi, aturan kantor tersebut tidak membolehkan kami memuat tumpangan di tengah jalan.

Apa boleh buat, aturan punya latar belakang sendiri yang sering tidak sesuai dengan kenyataan dan rasa hati. Wajah mereka menyiratkan kesenangan yang tak terkira ketika kami sepakat memuat mereka.

Di tengah jalan tak hentinya kami menerima bondia sebagai ucapan selamat datang dari orang tua maupun anak-anak yang berpapasan dengan kami. Lambaian tangan dari kebun atau quintal[3] juga kerap kami balas malas-malas.

Sempat terlintas dalam pikiran saya pertanyaan: “mengapa orang-orang bersahaja dan lugu ini tak pernah pupus semangat perlawanan mereka baik lewat gerilya maupun klandestina?” Mereka tak jauh berbeda dari saudara-saudara mereka di Timor barat misalnya. Bahkan sampai detik ini klaim-klaim untuk membenarkan invasi dan aneksasi Indonesia terhadap Timor Leste mencari pembenarannya dalam koneksitas etnik, kedekatan geografis dan aliasi-aliansi politik tradisional. Jawaban terhadap pertanyaan saya tak mungkin tunggal.

Banyak variabel pengaruh yang mungkin bercampur aduk, yang membangkitkan semangat perlawanan pada suatu bangsa. Namun muncul di kepala saya Amsal yang berbunyi: “susu ditekan maka keluarlah lemak, hidung ditekan maka keluarlah darah”.

Mungkin itulah suatu alasan sederhana yang melahirkan semboyan independente ou morte (merdeka atau mati). Bahkan di antara orang-orang yang kita pandang sangat bersajaha sekalipun. Karena mereka juga bisa merasa sakit jika ditindas.

Lamunan saya buyar ketika kami mulai memasuki sebuah kampung yang sedikit lebih ramai dari satu dua rumah yang kami lewati. Itulah Hatubulico, ibukota sub-distrik Hatubulico di kaki gunung Ramelau.

Senja turun ketika kami tiba di Hatubuilico. Reruntuhan sisa-sisa gedung peninggalan Indonesia masih menampakan wajahnya di sana sini, termasuk tembok sebuah gedung plus papan nama yang bertuliskan ‘Kantor Kecamatan Hatubulico’ yang masih berdiri kokoh.

Kami langsung ke pousada[4] Namerau, sebuah penginapan di tengah kampung. Pemiliknya adalah seorang pengusaha di Dili, yang mengunjungi pousada itu sekali seminggu.

Konon menurut pemiliknya Namerau adalah nama gunung Ramelau dalam bahasa Mambai, bahasa daerah setempat. Untung masih tersedia dua kamar untuk enam orang tim kami. “Biasanya week-end seperti ini selalu penuh” ungkap sang pemilik yang membungkus badannya dengan kain panas wool. 18,5 US Dollar adalah tarif untuk kamar inklusif makan malam, jasa penunjuk jalan ke puncak Ramelau dan sarapan pagi.

Makan malam kami habiskan bersama sejumlah malae muti di sebuah meja panjang mirip the last supper. Beef, ayam goreng plus nasi putih dan salad khas Timor kami santap dengan cepat. Dinginnya malam tak mengurangi hasrat satu dua orang untuk berkenalan di meja makan mengurangi kakunya suasana. Bayangkanlah sendiri bagaimana jadinya jika Chinese, Irish, Dutch, Javanese bertemu di meja makan.

Setelah mengaso sebentar, kasur-kasur pun siap kami tiduri, dan kain-kain panas wool berlapis siap memeluk kami. Jam tiga dini hari kami sudah harus bangun, begitulah kesepakatan dengan sang penunjuk jalan kami. Jam tiga kami pilih sebagai waktu keberangkatan karena perjalanan biasanya memakan waktu selama-lamanya 3 jam. Perkiraan kami, sebelum matahari terbit kami sudah tiba di puncak.

Lima belas menit menjelang pukul 3 dini hari, kamar kami digedor penunjuk jalan. Waktunya berangkat. Selain makanan ringan dan air mineral, tak ada yang boleh dibawa. Satu liter air adalah bawaan yang mungkin terlalu berat untuk pendakian selama dua atau tiga jam.

Perjalanan dari pousada ke kaki gunung masih bisa dilakukan dengan mobil. Mobil putih bertuliskan UN merangkak di pagi buta seakan malas beranjak. Di beberapa pendakian terjal keenam penumpang yang lain harus turun membiarkan Kylie sang sopir menapaki jalan terjal dan berliku sendirian.

Victoria, seorang teman Irlandia, entah bercanda entah serius, sempat menorehkan tanda salib dipundak dan dahi ketika mobil tak mau mendaki di sebuah tikungan terjal. “Just in case” katanya kepada Utari di sebelahnya yang kebetulan menoleh. Keduanya pecah dalam gelak tawa.

Setelah beberapa kali berhenti, sampailah kami di sebuah lapangan luas yang cukup layak disebut base camp. Ternyata sudah ada beberapa mobil di sana. Hatipun sedikit terhibur, setidaknya kami tidak sendiri yang berniat ke puncak di malam buta.

Setelah mobil diparkir, semua penumpang berlompatan bagaikan pasukan gerak cepat. Tak sabar menunggu komando.

Pendakian pun dimulai. Namun, belumlah 500-an meter beranjak, nafas sebagian teman terdengar memburu. “Wah kurang pemanasan nih” canda seorang teman. Canda itu ternyata benar. Utari pusing dan berhenti. Yang lain ikut berhenti. “Hold on for a while, the first step is always worse” kata seorang teman mencoba menyemangati.

Setelah berhenti beberapa menit, Utari mencoba lagi namun sangat berat baginya untuk meneruskan. Ia bertambah pusing dan berkeringat dingin. Napasnya memburu. Keputusan harus segera diambil. Sebagai satu-satunya laki-laki dalam tim, saya memutuskan memapah Utari pulang ke mobil. Anggota tim yang lain meneruskan perjalanan. Pesan saya kepada mereka: Tinggalkan jejak di tengah jalan bila perlu. Setelah memastikan Utari aman dalam mobil, saya kembali mengejar anggota tim yang lain.

Sebenarnya menolong Utari membawa keuntungan tersendiri bagi saya. Saya punya sedikit kesempatan untuk “mencuri” napas. Napas saya sendiri juga tidak jauh lebih baik dari dia.

Di tempat dia berhenti sebelumnya, saya mulai terengah-engah. Mungkin karena sedikit mempercepat langkah, saya lalai mengatur pernapasan. Beberapa kali saya harus berhenti, mengatur pernapasan bahkan tidur terlentang di mana saja saya rasakan aman untuk melemparkan tubuh.

Saya mulai ragu saya bisa menyelesaikan pendakian ini. Pengalaman pendakian-pendakian sebelumnya membuktikan bahwa semakin ke puncak semakin terjal. Kekuatiran akan kemungkinan tersesat juga muncul.

Belum lagi ingatan akan cerita-cerita tentang para ‘penunggu’ tempat-tempat sakral seperti gunung Ramelau ini. Pikiran saya sempat melayang ke draft-draft laporan CAVR. Saya yakin banyak nyawa melayang di sekitar gunung ini. Lampu senter pinjaman di tanganku hanya kunyalakan bila perlu. Bukan karena bulan sedang terang benderang, tetapi karena kuatir melihat sesuatu yang tidak ingin saya lihat atau sebaliknya terlihat oleh sesuatu yang tidak saya inginkan.

Di saat seperti ini barulah saya mengerti betapa penting ucapan Yesus “Akulah terang, Akulah jalan”. Berkali-kali aku menyapa pohon atau batu yang terasa mengerikan, sekedar mohon numpang lewat kepada yang empunya teritori. Dalam perhentian mengatur napas pun sebisa mungkin tidak dekat pohon atau batu yang terasa angker, setidaknya menurut padanganku.

Jika terpaksa, kata permisi tentu mendahului. Dalam pandanganku, mahluk halus juga punya pendekatan teritorial.

Di suatu titik, sambil terbaring mengatur napas menatap bulan purnama, saya mulai merasionalisasi situasi: Saya pasti bisa, asalkan hati-hati mengatur pernapasan. Teringat kata-kata Sir Edmond Hilary dalam poster di dapur CAVR yang berbunyi: Conques:, it is not the mountain we conquer but ourselves. Keraguan lainnya biarlah terbukti dengan sendirinya.

Di titik inilah saya mencoba mengerti mengapa para anggota Falintil[5] tidak takut hantu, mahluk halus dan sejenisnya, walaupun belum tentu mereka tidak percaya akan eksistensi mahluk-mahluk itu. Keinginan untuk mencapai puncak mengatasi sejumlah takut dan kuatir. Lagipula, apa yang akan saya katakan kalau saya pulang tanpa mencapai puncak? Nestor Paz[6] seakan berbisik di telinga: “mati bisa kapan saja, tidak harus di gunung ini”.

Entah sudah berapa lama mendaki, sayup terdengar suara-suara beberapa meter di atas saya. Saya mencoba memberi isyarat kedap-kedip nyala lampu senter. Ada yang membalas. Mungkin itu teman-teman seanggota tim. Cahaya itu terlihat tidak terlalu jauh, namun dalam kondisi tanjakan seperti itu, jarak itulah tidaklah terhitung dekat.

Mengetahui mereka tak lagi jauh di depan, saya sedikit berleha. Sebab setelah masalah napas sedikit teratasi, masalah pinggang kini menyapa.

Seharusnya saya sudah ke tukang pijit profesional di Dili yang katanya diorganisir Pat Walsh, pejuang HAM itu. Tapi saya selalu berpikir sakit pinggang ini akan sembuh dengan sendirinya. Perhentian jadi lebih sering dilakukan karena masalah pinggang ini.

Tas berisi dua kaleng beer, satu can coke, satu liter air mineral, beberapa paun[7] ini terasa begitu berat. Salah satu jalan keluar adalah meminum air itu untuk mengurangi rasa berat. Terlalu sayang meminum atau membuang beer di tengah jalan. Puncak Ramelau layak menantikan yang lebih berarti.

Setelah merangkak maju beberapa saat, di sebuah dataran yang agak landai, satu orang teman tersusuli. Ternyata bukan saya sendiri yang mengalami masalah pernapasan. Kylie, malae yang mengaku empat tahun tinggal di Kupang, juga sedang duduk bersandar. Di sebelah kiri kami nampak pemandangan yang luar biasa indah. Sebuah kota di malam hari. Entah kota apa itu, kami berdua sama tak tahu.

Setelah beberapa kali menunggui Kylie berhenti, satu lagi teman tersusuli. Kasusnya tak jauh berbeda: masalah napas. Kylie dan Ruth akhirnya memutuskan untuk berhenti.

Walau Ruth yang berasal dari Belanda ini sangat berkeinginan untuk sampai ke puncak, napas tidak kompromi rupanya. “saya dari Belanda, kamu tahu Belanda sangat datar, karena itu sangat ingin sekali melakukan hal seperti ini” katanya siang tadi. Kata-kata ini mengingatkan saya kepada Laurens teman Belanda saya di hutan-hutan daerah Chatchwork House, Inggris tengah pada summer dua tahun lalu.

Saya terpaksa meninggalkan mereka. Ransel saya berikan kepada penunjuk jalan yang berbalik menemui kami. Karena lebih sering berhenti, napas saya semakin membaik. Namun pinggang semakin sakit.

Di sebuah aliran sungai mati, pergelangan kaki saya mulai kejang. Victoria yang sejak tadi jauh di depan, kembali mencoba menolong saya. Sedikit pijatan di pergelangan kaki membuat saya lebih baik. Ingin rasanya duduk lebih lama, tapi Selma yang berdiri beberapa meter di depan mendengar suara-suara di depan.

Setelah keluar dari kali kering itu, tampaklah sejumlah tenda dan sebuah api unggun dan beberapa ekor kuda. Beberapa anak-anak remaja sedang berkumpul di sekitar api unggun.

Rupanya mereka penunjuk jalan untuk para malae Portugis yang sedang nyenyak di beberapa tenda di sekitar situ. Hari masih gelap memang ketika Base camp kedua terpijak kaki kami. Satu dua ucapan basa basi, beberapa shot kamera dan satu pertanyaan standar kepada para penunjuk jalan: “berapa jauh lagi perjalanan?” Kira-kira lima belas menit kata mereka.

Pengalaman bertanya kepada orang di pedalaman Timor mengatakan kepada saya bahwa lima belas menit bisa berarti kelipatan dua atau tiga dari lima belas. Satu puntung rokok masing-masing terbakar habis dari jemari Victoria dan Selma, satu can coke untuk Victoria dan satu dua percakapan di sekitar api unggun mengakhiri masa bahagia kami di kamp ini.

Dua batang rokok terpaksa diberikan kepada dua orang remaja yang agak besar yang meminta dengan harap. “La bele fuma” dan “saude” [8] begitulah beberapa potong kata bahasa Tetun yang bisa saya mengerti dari ocehan Selma terhadap anak-anak itu. Perjalanan harus dilanjutkan.

Lagi-lagi saya harus ketinggalan di belakang mereka. Kadang mereka menunggu, kadang tidak. Saya meminta mereka maju terus. Terasa mereka melesat begitu cepat ke depan. Beberapa menit mendaki saya hampir menyerah. Entah berapa jauh lagi.

Saat bersadar ke sebuah karang, saya memperhatikan pohon-pohon makin meranggas tanpa daun, lumut makin panjang menggantung. Saya tahu puncak semakin dekat.

Saya paksakan diri berjalan beberapa meter lagi. Langit nampak semakin terang, namun matahari belum juga muncul. Sekali mengangkat kepala terlihat sebuah salib. Saya tahu itu puncak.

Semangat bangkit seketika, namun pinggang tetap tak bisa diajak berkompromi. Semakin ke puncak, semakin nampak belasan sampai puluhan orang bergerombol. Suara percakapan mereka semakin jelas.

Untuk mengelabui rasa malu, tangan yang sejak tadi memegang pinggang saya pindahkan ke kamera. Saya pura-pura mengambil sejumlah shot sambil berjalan perlahan maju. 'Bon dia' saya sampaikan kepada mereka yang duduk di tangga pantung Bunda Maria di puncak. “I make it somehow” kata saya kepada Victoria yang menyambut dengan pelukan dan gelak tawa beberapa orang.

Thanks God I am here now. Aksi foto-foto kemenangan pun dimulai. Berselang beberapa detik, Loro pun sa’e[9] malu-malu di atas permadani putih awan.

Mungkin karena terlalu bergembira, bekal makanan tidak disentuh. Hanya beer dibagikan. Satu kaleng untuk seorang teman Victoria, sesama Irlandia yang baru dikenal dan entah satu lagi untuk saya, Victoria dan Selma. “In Tiger we united!” kata Selma.

Sekitar 30 menit bertengger di puncak, kami harus turun. Sebenarnya saya ingin berlama-lama, mengingat pencapaian ini tak gampang bagi saya. Tapi Victoria kuatir akan keadaan mereka yang tinggal di base camp pertama. Kedengaran mirip slogan politik: kalau sudah naik jangan lupa turun. Walau saya tidak sedang berpolitik, saya memang enggan turun.

Perjalanan turun dilalui dengan lebih banyak foto-foto, maklum hari sudah terang. Jika tidak mengingat keterbatasan daya tampung chip kamera, inginnya rasanya semua hal difoto.

Melewati tenda-tenda di base camp kedua, lutut kanan saya mulai bermasalah. Masalah lutut ini memang masalah lama saya yang saya dapati ketika melintasi bukit-bukit dan lembah di daerah Molo, Timor Barat beberapa tahun silam. “I thought it was much more easier to go down than to climb but it isn’t.”

Beberapa kali saya terjatuh. Belum lagi ditambah kengerian melihat ke bawah, suatu hal yang tak begitu terasa saat mendaki di malam.

Akhirnya saya menemukan kayu yang bisa dijadikan tongkat sekedar membantu tatih-tatih langkah saya menuruni lereng-lereng Ramelau. Matahari semakin menyegat saat separuh jalan ditempuh. Satu dua kali berpapasan orang-orang yang baru melakukan pendakian di pagi hari. “Have a nice climb” sapa saya dalam langkah serupa pendekar bertongkat.

Sekitar pukul sembilan saat saya merapat ke mobil-mobil di base camp pertama. “I climb up with two legs and came down with three” kataku kepada yang lain yang sudah menunggu.

Oleh-oleh foto dari puncak ku pamerkan kepada mereka yang tertinggal di landasan (bukan tinggal landas). Masing-masing meminta bagian.

Beberapa menit kemudian, mobil kami kembali ke pousada. Sarapan pagi tentunya sudah menunggu. Namun ternyata tidak. Kami harus menunggu beberapa saat sebelum kue....dan kopi diantar ke pousada.

Sekitar pukul sebelas mobil pick up putih kami meninggalkan pusat kampung Hatubuilico. Meninggalkan orang-orang kampung yang sedang mengalir ke pusat kampung menyambut kedatangan Presiden Kairala Xanana Gusmao.

Di tengah jalan kami berpapasan iring-iringan mobil sang presiden. Sontak saya melompat dari mobil untuk mengambil foto presiden kebanggaan saya itu, sayang kaca mobilnya agak tertutup. Hanya anaknya melambai dari balik jendela. Langit begitu cerah ketika mobil kami merayap jalan-jalan berbatu sepanjang pegunungan yang kami lalui. Baru saya sadari sebelah kiri kami selalu gunung dan sebelah kanan kami jurang.

Di jalan-jalan ini kemarin saya hanyut dalam lamunan saya. Kini saya terhanyut dalam pandangan saya ke puncak Ramelau yang makin tertinggal jauh di belakang.

Seandainya saya kenal George Aditjondro secara pribadi, mungkin saya akan bercanda: anda menulis tentang Ramelau tapi saya sudah menginjak puncak Ramelau. Ternyata, menaklukkan Ramelau tak dengan sendirinya membuat saya menaklukkan diri sendiri untuk tidak bersombong.

Sebuah kemenangan tak berarti itu sudah selesai. Mungkin itu juga perbandingan yang tepat untuk Timor Leste. Kemerdekaan yang diperoleh diabad–21 ini tak boleh dipakai berpuas-puas layaknya orang menaklukkan gunung. Setelah mendaki, pasti ada jalan menurun yang belum tentu lebih mudah.

Membangun diri sebagai sebuah bangsa tak kalah beratnya dari perjuangan bersenjata. Musuh yang dulu kelihatan, kini semakin kabur, namun bahaya dan resiko tetap sama, seperti halnya jatuh dari lereng sebuah gunung entah siang entah malam.

Mobil pinjaman kami seakan malas beranjak dari lereng-lereng terjal Hatubuilico. Teriakan anak-anak kampung masih juga terdengar, malas terbalas lambaian tangan kami.

Selamat tinggal Ramelau. Selamat tinggal Hatubuilico. Selamat tinggal sejarah dan keagungan. Kalau tak ada yang dikenang kita ketiadaan modal untuk hidup; kalau tak ada yang dilupakan, kita terlalu berbeban untuk maju.

Bidau Masau, Dinihari, 27 Juni 2005.

[1] Judul ini hanya pelesetan dan bukan sequel dari buku George Junus Aditjondro yang berjudul: In the Shadow of Mount Ramelau: The Impact of Indonesian Occupation of East Timor, Leiden. Diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Yayasan HAK dan Fortilos pada tahun 2000 dengan judul : Menyongsong Matahari Terbit di Puncak Ramelau: Dampak Pendudukan Timor Lorosae dan Munculnya Gerakan Pro Timor Lorosae di Indonesia.
[2] Malae adalah sebutan orang Timor untuk orang asing atau segala sesuatu yang berasal dari luar. Kemungkinan berasal dari kata “melayu” yang mengindikasikan kontak-kontak awal orang Timor dengan kebudayaan asing yang dipahami sebagai yang berasal dari Melayu. Malae dapat juga merupakan kata keterangan misalnya kambing di sebut bibi, sedangkan domba yang kemungkinan dikenal lebih kemudian disebut bibi malae. Orang Indonesia pun disebut malae dan lebih luas digunakan terutama setelah pembebasan Timor Leste. Untuk membedakan dengan ras kulit putih, ras Asia seperti Indonesia atau ras Afrika disebut malae metan (malae hitam), sedangkan ras kulit putih di sebut malae muti (malae putih).
[3] Quintal adalah kata Portugis untuk halaman sekitar rumah yang juga digunakan untuk menanam palawija dan tanaman produktif seperti jagung, kentang dan ketela rambat. Kata quintal kemungkinan merujuk kepada seberapa besar ukuran hasil bumi yang dihasilkan saat panen.
[4] Pousada adalah kata Portugis untuk penginapan atau Inn. Di Timor Leste terdapat sejumlah pousada peninggalan jaman Portugis yang di jaman Indonesia dimanfaatkan secara beragam, mulai dari kantor pemerintah, penginapan milik gereja ataupun tempat penyiksaan.
[5] ForƧas Armadas de LibertaƧao Nacional de Timor Leste, Tentara Pembebasan Nasional Timor Leste.
[6] Nestor Paz adalah seorang pastor yang mengangkat senjata melawan penguasa dukungan US di Columbia.
[7] Roti khas Timor.
[8] La bele fuma = Dilarang Merokok, saude=kesehatan. Selma yang kini lancar berbahasa Tetun, mengaku La bele fuma adalah kalimat bahasa Tetun yang pertama ia kenal saat tiba di Timor beberapa tahun lalu. Saya menduga Selma mengkhotbahi anak-anak ini soal bahaya rokok. Tentu saja tak akan mempan karena ia sendiri perokok lumayan berat.
[9] Loro = matahari, Sa’e = naik. Loro sae berarti matahari terbit. Timor Lorosae secara harfiah berarti Timor Matahari terbit atau Timor bagian Timur.