Hersri Setiawan
DUA lagu itu, "Hidup di Bui" dan "Genjer-Genjer" mengalami nasib yang sama. Diperkosa dan dikorup. Itu sebabnya, maka saya merasa terpanggil untuk ikut "memberikan kesaksian" tentangnya. Kepada Samin di Jakarta dan Anwar Pr di Aachen saya mengucapkan terimakasih, untuk masukan data dan pengiriman kaset lagu "Hidup di Bui". Maka Surat Negri Kincir bagian pertama ini saya tulis khususnya buat mereka berdua.
Adapun tentang "Genjer-Genjer" lebih khusus saya tujukan pada beberapa sobat, yang belum lama ini mengangkat soal sekitar lagu ini. Mereka itu ialah Samiadji dan Umar Said, dua-duanya dari Paris, dan Aini Patria, yang mungkin dari Semarang atau entah dari mana. Dengan sendiri juga pada para pembaca tulisan sobat-sobat tersebut, baik yang liwat internet maupun yang liwat media cetak "Suara Merdeka" Semarang, "korannya Pak Hetami", di mana "dahulu kala" saya pernah magang. Tapi selain itu secara khusus juga buat sobat baik saya dari pinggir Bengawan Rhein di Belanda, yang pertama kali melempar umpan pada saya tentang "Genjer-Genjer" ini. Sobat baik itu Robert Nio alias Mang Ucup Maranatha yang, sayang sekali, konon berkeputusan mau lengser sebagai kolumnis spiritual urakan pers-internet yang luas cakupan temanya dan yang sangat produktif karyanya.
Mari kita mulai, dengan lebih dulu membicarakan lagu "Hidup di Bui".
Hidup Di Bui
untuk Samin dan Anwar Pr
Bulan Maret 2000 yang lalu, melalui jaringan internet SiaR, saya menerima sambutan dari Samin atas tulisan saya tentang lagu ini, yang telah diorbitkan oleh jarnet yang sama beberapa waktu sebelumnya.
Sambutan itu berisi masukan yang informatif dan penting, yaitu: pertama, bahwa lagu yang saya sebut menjadi "tophit" para tahanan itu ternyata juga terkenal luas di luar tahanan, dan dikenal sebagai "lagunya" band D'Lloyd; kedua, bahwa karenanya dalam tahun awal 70-an lagu ini sempat dilarang oleh Kopkamtib; ketiga, bahwa penyanyi lagu itu adalah vokalis band "D'Lloyd" bernama Sjamsudin; dan keempat, bahwa lagu itu kini (akhir 90-an alias akhir abad) direkam ulang di Indonesia dan konon kaset rekamannya terjual laris.
Sebelum saya meneruskan surat ini, barangkali ada baiknya saya tulis sekali lagi syair lagu itu.
Hidup di bui bagaikan burung
Bangun pagi makan nasi jagung
Tidur di ubin pikiran bingung
Apadaya badanku terkurung
Terompet pagi harus bangun
Makan diantri nasinya jagung
Mau merokok rokoknya puntung
Mau mandi tidak ada sabun
Oh kawan dengar lagu ini
Hidup di bui menyiksa diri
Jangan sampai kawan mengalami
Badan hidup terasa mati
Apalagi penjara Tangerang
Masuk gemuk pulang
tinggal pulang
Karena kerja secara paksa
Tua muda turun ke sawah.
Cobalah, silakan baca dengan cermat syair lagu di atas. Kata-kata apa yang membikin Kopkamtib menjadi ketakutan, sehingga merasa perlu melarangnya? Seandainya berita tentang peri kehidupan penjara -- apalagi penjara Tangerang -- yang serba kesrakat tidak beredar dalam tahun 70-an, barangkali tidak akan lagu itu ditindak dan ditindas. Tahun 70-an ada dalam rentang waktu 1965-1979, ketika penjara Salemba dan Tangerang bukan rumah penjara biasa, dalam arti tempat "pesakitan" kriminal dipenjarakan. Ketika itu penjara Salemba dan Tangerang merupakan "Rumah Tahanan Khusus" atau disingkat (dalam ejaan saat itu) "RTC". Mendapat nama resmi demikian, dengan sebutan "khusus", karena yang dipenjarakan di Rumah Tahanan itu ialah para "pesakitan" khusus, yaitu pesakitan politik bin G30S bin PKI!
Padahal bukan mereka yang di dalam Rumah Tahanan itu yang pesakitan. Tapi para petinggi Kopkamtib khususnya, dan penggede Orba umumnya itulah yang pesakitan berat. Yaitu oleh penyakit yang oleh Bung Karno (sejak tahun 20-an) disebut sebagai "komunisto fobi", dan yang saking parahnya membuat si penderita menjadi mengidap sejenis penyakit jiwa yang disebut angst psychose. Mereka itu menjadi kalang kabut. "Hidup di Bui" lalu hendak dimitoskan -- karena mereka memang lahir dan tumbuh dari mitos ke mitos, dari sejak "G30S-PKI", Pancasila Sakti, Supersemar, Bapak Pembangunan dan seribu satu mitos lainnya. "Hidup di Bui" hendak ditiup menjadi Hantu G30S-PKI yang bergentayangan di udara Orde Baru, dan para kaula negri diperintahkannya agar ikut gentar bersama mereka!
Jadi jelas sekali, "Hidup di Bui" dilarang karena Kopkamtib gentar terbayang pada curriculum vitae lagu D'Lloyd yang berhasil memasyarakat itu. Apa dan siapakah D'Lloyd yang punya band dan vokalis menggentarkan itu?
Lloyd dahulu nama organisasi besar, mengikuti nama pendirinya Edward Lloyd (1643-1713), para petugas asuransi di London, yang mempunyai agen-agennya di seluruh dunia. Kemudian Lloyd juga menjadi nama perusahaan perkapalan dan pelayaran. "D'Lloyd" dalam konteks tulisan ini, tidak ayal lagi, pastilah perusahaan pelayaran dan perkapalan "Djakarta Lloyd", yang salah satu kantornya terletak di Jalan Raden Saleh Jakarta Pusat di bilangan Cikini. Perusahaan asing ini telah menjadi milik RI sejak "jaman aksi ambil alih" perusahaan-perusahaan asing di awal tahun 50-an.
Melalui SBPP (Serikat Buruh Pelayaran dan Perkapalan), PKI menanamkan pengaruhnya yang kuat di perusahaan vital, yang bergerak di bidang kelautan ini. Tidak terlalu salah kiranya, jika saya katakan, bahwa pada saat itu Djakarya Lloyd merupakan salah satu basis penting PKI di kalangan buruh laut dan kapal. Maka tidak aneh jika sesudah Peristiwa G30S, banyak dari buruh Djakarta Lloyd, baik yang dari tingkat masa maupun tingkat pimpinan, saya jumpai sebagai sesama tapol di RTC Salemba,Tangerang, bahkan sampai di Buru.
Karena itu menjadi tidak aneh, apabila satu kali "Hidup di Bui" mendapat kesempatan menyelinap keluar dari Rumah Tahanan, maka di luar sana ia pun segera dibukakan pintu oleh keluarga Band "D'Lloyd".
Sementara itu, jika demam kegentaran Kopkamtib menjadi makin tinggi, juga bisa dimengerti dengan mudah. "Hidup di Bui" ialah nama salah satu jenis Hantu Komunis. Lahan di tempat ia kemudian inkubasi pun bekas Sarang Gestapu! Saya lalu teringat kata-kata almarhum Prof. Wertheim. Mengusut fakta dan kejadian sekitar Peristiwa G30S, katanya suatu ketika, mirip seperti mengusut cerita detektif. Rupanya memang harus begitu. Karena G30S/PKI adalah satu mitos, yang dibangun melalui manuver-manuver terorisme ala bandit.
Sesungguhnya ucapan terimakasih dan ungkapan rasa hormat perlu disampaikan pada Band "D'Lloyd" dan vokalis Syamsudin, yang telah berani menyanyikan lagu Hantu Komunis Kopkamtib: "Hidup di Bui". Baik Band "D'Lloyd" maupun Syamsudin tidak pernah mengumumkan siapa pengarang lagu itu, tapi sementara itu pun tidak pernah mereka mendaku (meng-klaim) lagu itu sebagai buah ciptaan mereka. Mereka berani mengambil resiko, sekaligus menunjukkan akhlak mereka yang tidak korup. Itu sama sekali berbeda dari apa yang akan saya ceritakan di bawah ini.
Pada awal tulisan sudah saya sebut, masukan Samin juga mengatakan: bahwa, "Hidup di Bui" akhir-akhir ini telah direkam ulang; dan bahwa, kaset rekaman ulang itu laris di pasaran kaset ibukota. Kemudian belum lama ini, dari sobat di Aachen Anwar Pr, saya menerima kiriman kopi kaset yang berisi lagu itu (tengkyu, Mas!). Pada label aseli kaset ini terbaca sebagai diproduksi oleh PT Surya Panorama Sakti, Risky Record tahun 1999; sedang pencipta lagu dicantumkannya seorang bernama Bartje van Houten (sic!). Seorang komponis Belanda, jika kita melihat namanya. Di samping itu juga terdapat sedikit perbedaan pada syair lagu.
Mungkin perbedaan itu timbul dari pengubahan yang disengaja, sebagai cara untuk menyelubungi tindakannya yang korup itu. Perubahan yang seakan kecil dan sedikit, tapi sangat besar dan banyak keganjilan-keganjilan yang ditimbulkannya -- nota bene timbul dari kebodohan si produser sendiri.
Perbedaan syair "Bartje van Houten" terdapat pada baris ke-3 dan ke-4 dari bait kedua, yaitu sekedar mengulang baris-baris yang sama dari bait pertama, sehingga bait itu menjadi berbunyi (perhatikan sanjak akhir tiap-tiap baris):
Terompet pagi kita harus bangun [un]
Makan diantri nasinya jagung [ung]
Tidur di ubin pikiran bingung [ung]
Apa daya badan terkurung [ung].
Bandingkanlah dengan syair aseli dari komponis anonim:
Terompet pagi kita harus bangun [un]
Makan diantri nasinya jagung [ung]
Mau merokok rokoknya puntung [ung]
Mau mandi tidak ada sabun [un].
Perubahan kecil tapi sangat besar, yang sekaligus mencerminkan watak pengubahnya yang pengecut selain korup, terdapat pada baris ke-1 bait terakhir. Jadi, bait terakhir syair Bartje van Houten, perhatikan, berbunyi:
Apalagi penjara jaman perang
Masuk gemuk ... dst.
Bandingkan dengan syair komponis anonim:
Apalagi penjara Tangerang
Masuk gemuk ... dst.
Hai Meneer Bartje! Mengapa jij takut sama kata "Tangerang", sehingga perlu diganti menjadi "jaman perang"? Jaman perang kapan itu? "Jaman Bersiap" atau "Jaman Soekarno", jij punya maksud? Pernahkah di jaman-jaman itu orang-orang Nica dan Belanda, yang ditahan Pemuda dan Republik, dikasih umpan ransum nasi jagung yang harus diantri? Pernahkah di jaman-jaman itu, jaman perang itu (sic!), tahanan tua-muda disuruh kerja paksa turun ke sawah?
Tuan Bartje! Ketahuilah. Tidak ada tahanan di penjara mana pun di Indonesia dan di jaman apa pun, entah bangsa apa saja mereka itu, yang disuruh kerja paksa menggarap sawah. Selain pada satu kurun jaman, yaitu Jaman Orde Baru. Itu pun hanya terhadap tahanan politik G30S/PKI.
Karena mereka menjadi tahanan, tetapi harus menghidupi diri sendiri dan bahkan menjadi sapi perahan para penahannya. Karena itulah, maka Kodam V Jaya Jakarta Raya membuka proyek pertanian di Cikokol, yang mempekerjakan tenaga tapol sebagai pekerja rodi.
Kembali pada lagu "Hidup di Bui". Saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk menyeru pada teman-teman pemusik, yang pernah bertahun-tahun menghuni RTC Salemba dan Tangerang. Mereka itu, antara lain Martin Lapanguli, M. Karatem, Suripto, (sayang Nurjaslan sudah beberapa waktu lalu meninggal), Pardede ... Bicaralah! Siapa sebenarnya penggubah lagu tophit penjara Orba ini?***