Namun dewa Hermes tetap berpihak padaku sejak aku belajar Hermeneutika di sekolah Theology sampai menjadi pemimpin koran kampus, koran LSM dan akhirnya wartawan THE JAKARTA POST. Dewa pembawa pesan itu berkata kepadaku bahwa yang penting bukanlah medium dari pesan namun bagaimana agar pesanmu sampai. Di situ kamu dihitung telah menjalankan tugasmu.
Terlalu berlebihan jika aku mengatakan aku terlahir sebagai wartawan, namun aku harus akui bahwa jalan hidup yang kupilih membentuk aku sebagai wartawan dan aku akan tetap sebagai pembawa berita di manapun aku berada. Terima kasih kawan-kawan Palmerah yang tak mungkin kusebutkan satu persatu. Terima kasih juga kepada semua teman wartawan yang telah menjalani hari bersama-sama sebagai wartawan.
Tidak akan ada lagi moment kita disibukkan dengan mencari kutipan segar, nyeletuk atau aneh yang membuat sebuah karakter hidup di halaman koran, mencari color dan detail yang membuat story menjadi lebih real. Tidak akan ada lagi keharusan mendiskripsikan events secara elegan untuk membuat pembaca ikut tertawa, menangis atau marah. Tidak akan ada lagi keharusan untuk menghibur dan memberi informasi, untuk menggambarkan bagaimana rasanya di lapangan, arena pertandingan, atau di locker room. Tidak akan ada lagi keharusan memberi makna sebuah story dan menempatkannya dalam perspektif. Dan oh, tidak akan ada lagi deadline dalam waktu 15 menit.
Tidak akan ada lagi hari-hari di jurang di pertandingan paragliding, di pantai di pertandingan jetsky atau selancar, di pinggir lapangan volley pantai, dekat dengan pemain sepakbola ternama, mengetik dengan kaki celana digulung di atas meja karena kebanjiran. Tidak akan ada lagi kesulitan menemukan LEAD, kesulitan mengambarkan magnitude dari sebuah event, menempatkan dalam konteks historis.
Tidak akan ada lagi keharusan menahan diri bertingkah seperti fans walaupun hati tak dapat ditahan untuk meminta tandatangan olahragawan favorit. Kita punya akses yang dimimpikan oleh semua fans, namun kita tak bisa bertingkah seperti fans memakai jersey dan nomor punggung pemain favorit kita.
Tidak akan ada lagi jalan kaki sepanjang lintasan atau mengintari stadion karena angkutan umum tak diperbolehkan di kompleks olahraga. Tidak akan ada lagi kutipan-kutipan yang klise dan menyebalkan tentang "penyelesain akhir" atau bagaimana menjadi focus agar bisa menang.Tidak akan ada lagi rapat-rapat yang kadang cerdas kadang dull, kadang membuat tertawa terpingkal, kadang menyebalkan. Tidak akan ada lagi MUNTABER (muntah-muntah tanpa berita). Tidak akan ada lagi martabak, pizza atau kue dan makanan gratis saat ada yang berulang tahun atau resign. Tidak akan ada lagi berantem karena tampilan dan isi halaman dianggap kurang bagus atau tak sesuai hasil rapat. Tidak akan ada lagi kunjungan pejabat dan celebrity.
Itulah hari-hari kita. Hari-hari di mana kita dibentuk, karena tak ada wartawan olahraga yang langsung dari bangku kuliah langsung menuju Wimbledon atau Piala Eropa. Tidak ada wartawan lepas dari bangku kuliah langsung mewawancarai Fabregas atau LeBron James. Tidak ada yang langsung mewancarai pemegang Nobel Perdamaian atau seorang Presiden. Semua dimulai dari reporter. Lebih tepat masa uji coba menjadi reporter. Kurang tidur namun tetap harus bangun pagi menjadi kebiasaan. Lupa makan sampe kena maag adalah langganan. Pulang malam bukan cuma urusan pekerja klub hiburan malam. Dan ohhh Roker malam adalah kami. Kami adalah wartawan merangkap ROKER MALAM (Rombongan Kereta Malam).
Malam-malam Palmerah akan berakhir bagiku...Aku datang ke Palmerah dengan sebuah koper dan 'one way ticket' hasil pinjaman family. The Jakarta Post menjanjikan akan membayar ticket pulangku jika aku tidak diterima. Ternyata tidak ada ticket pulang bagiku, sampai enam tahun kemudian, sampai kedua anakku lahir di Jakarta. Dua hari lagi aku akan pulang dengan tiket yang kubeli sendiri. Doakan aku di jalan yang baru..tetap sebagai pembawa pesan....
Palmerah, 28 Juni 2012
Dua hari menjelang