Naskah yang terselamatkan, dan beberapa catatan P Middelkoop. |
Misionaris Pieter Middelkoop yang
sangat di kenal masyarakat Timor Tengah Selatan melakukan melakukan wawancara
terhadap orang-orang yang masih hidup yang pernah melakukan praktek ini sebelum
Perang Dunia Kedua. Sayangnya, Jepang mendarat. Middelkoop ditangkap bersama
keluarganya dan dimasukkan ke Kamp Penahanan Jepang di Pare-Pare, Sulawesi pada
bulan September 1943. Pada bulan Oktober 1944 mereka dipindahkan ke Botjo dan
pada bulan Mei 1945 ke Bolong dekat Makale.
Untunglah sebelum ditangkap di
Timor, Middelkoop telah mengumpulkan semua naskah pentingnya bersama dengan
naskah-naskah tentang “berburu kepala” ini kemudian ia masukan ke dalam kaleng
minyak. Ia percayakan naskah-naskah kepada teman-temannya, orang Kristen di
desa Bi Naus pada 1 Maret 1942. Ia melakukan hal ini karena rumor beredar bahwa
para tentara Jepang akan datang mencari barang-barang berharga yang
ditinggalkan oleh para ‘Oranda’, sebutan terhadap orang Belanda oleh orang
Jepang.
Kabar tentang bahan-bahan penting
ini akhirnya sampai juga ke telinga para serdadu Jepang lewat para kolaborator.
Karena ketakutan, para penduduk Bi Naus membuang
sebagian isi dari bahan-bahan ini pada bulan Juni 1945. Ternyata benar, pada
bulan Juli para serdadu Jepang datang mencari. Untung mereka tak menemukan
apa-apa.
Pada bulan Agustus 1945 Middelkoop dilepaskan dan dibawa ke Makasar. Sebenarnya Middelkoop punya kesempatan untuk memulihkan kesehatan dan kekuataannya di Australia, tapi ia memilih pulang ke Timor. “We were too eager to go back to Timor to find out whether the contents of the oil cans had been kept safe,” kata Middelkoop.
Akhirnya Middelkoop dan istrinya mendapatkan penerbangan pertama dari Makasar ke Balikpapan
dan dari sana mereka ke Timor. Mereka tiba di So'e pada tanggal 4 November 1945 dan keesokkan harinya sahabat-sahabatnya dari Bi Naus itupun datang menemuinya.
Mereka mengatakan bahwa arena ketakutan kepada pihak Jepang, mereka telah
membuang isi kaleng itu di suatu tempat. Middelkoop memohon kepada mereka untuk
mencari kembali bahan-bahan sebisa yang mereka temukan. Mereka melakukannya dan
menemukan kembali beberapa bahan yang yang telah bercampur dengan tanah.
Beberapa minggu kemudian hujan turun untuk pertama kalinya di tahun itu, dan
menurut Middelkoop ia dan istrinya telah datang pada saat yang tepat untuk
menyelematkan bahan-bahan itu. Jika seandainya mereka ke Australia untuk
memulihkan kesehatan mereka terlebih dahulu, mungkin bahan-bahan yang telah
dibuang itu tidak terselamatkan.
Bahan-bahan ini kemudian
diterbitkan oleh Universitas Sydney pada tahun 1963 dalam tiga jilid monograf dengan
judul ‘Head Hunting in Timor and its Historical Implications’. Dalam monograf
yang telah menjadi klasik dalam penelitian tentang Timor ini hanya ada tambahan
satu bahan (Text E) yang dicatat oleh Middelkoop setelah Perang Dunia Kedua. Bahan-bahan
yang lengkap dan bahasa Timor dan terjemahan Inggrisnya ini kemudian secara luas
digunakan oleh para ahli yang pernah menulis tentang Timor seperti Henk Schulte
Nordholt atau Andrew McWilliam dll.
Dalam pengantar untuk terbitan itu
Middelkoop menulis demikian: “Tak akan pernah saya lupakan bagaimana, pada saat
terkahir saya menuliskan dan membaca kembali naskah pada Text B yang berasal
dari Bi Naus, pada sebuah Minggu sore kami semua terdiam dalam kesunyian.
Walaupun echo dari kepuasan kemenangan terdengar dalam penuturan kembali
pekik-perang dan kesuksesan perburuan kepala yang mengikutinya, seorang tetua,
Noch Na’u berbicara dalam emosi yang sangat jujur. Ia bilang: ‘Pak, di masa
lalu kami bangga akan kebenaran pekik perang kami dan kepala yang kami
dapatkan, tapi sekarang kami tahu bahwa itu dosa.’ Semua yang hadir terdiam.”
Lebih dari enam puluh tahun
kemudian, saya membaca terbitan yang bahan-bahan terbuang yang diselamatkan itu
untuk kepentingan study saya. Terima kasih bapa, mama di Bi Naus yang telah
jujur menceritakan masa lalunya. Terima kasih untuk opa Pieter Middelkoop, anthropolog
generasi pertama Timor yang meninggalkan bahan-bahan yang cukup bersejarah.
Tanpa kalian, kami mungkin tak akan tahu masa lalu para leluhur kami.
Antroplog terkenal Malinowski
berkata: “We cannot possibly reach the final Socratic wisdom of knowing
ourselves if we never leave the narrow confinement of the customs, beliefs and
prejudices into which every man is born.”
Smaragdlaan 136
Leiden, 1 Juni 2013.
No comments:
Post a Comment