HEGEMONI NEGARA dalam cara berpikir itu banyak sekali terjadi di Indonesia. Bahkan terjadi di antara mereka yang tertindas dan menjadi korban. Yang tertindaspun menggunakan bahasa yang digunakan oleh penindas dan penguasa. Bukti yang paling jelas terlihat dalam komentar-komentar terhadap peristiwa Cebongan dan kasus korupsi polisi Bali yang tertangkap kamera wartawan Belanda.
DALAM peristiwa Cebongan, banyak orang marah karena merasa senasib, merasa merupakan bagian dari korban, tetapi bahasa kemarahan mereka menunjukkan dengan jelas bahwa cara berpikir mereka sama persis dengan cara berpikir penguasa. Itu yang disebut Antonio Gramsci dengan "HEGEMONI". Kalau tunduk dibawah todongan senjata itu wajar, tapi kalau tanpa todongan senjata pun orang tunduk itu patut diprihatinkan. Tunduk dalam cara berpikir itu subtil dan susah sekali menyembuhkannya. Marah-marah polisi dan tentara tapi cara berpikir persis seperti polisi dan tentara.
Contohnya dalam kasus POLISI MINTA SOGOK DI BALI. Banyak orang memaki-maki polisi tapi memakai kata OKNUM. Itu bahasa aparat. Kata "OKNUM" itu bagian dari eufimisme untuk menghaluskan sebuah tindakan yang patut dikecam. Dengan mengatakan OKNUM orang ingin mengatakan bahwa tindakan korupsi itu dilakukan atas inisiatif perorangan dan tidak ada hubungannya dengan sistem yang bobrok. Bagaimana bisa mengatakan OKNUM kalau tindakan korupsi itu adalah bagian dari sistem yang buruk? Korupsi di Indonesia itu sistematik dan struktural. Itu terbukti dengan itu polisi itu saat membeli bir untuk turis itu mengatakan demikian: "this is for beer, this is for my goverment". "For my goverment" artinya setoran ke atas, ke atasannya. Bukankah telah menjadi rahasia umum bahwa korupsi kecil-kecilan (petty corruption) adalah ekor dari gurita korupsi yang lebih besar? Jadi kalau memakai kata OKNUM seakan-akan hanya polisi itu yang bersalah, padahal ia adalah bagian dari mata rantai korupsi yang panjang. Darimanakah isi REKENING GENDUT PARA JENDRAL -- yang diliput majalah TEMPO beberapa kali, kalau bukan dari setoran-setoran kelas jalan raya seperti itu?
Jadi lebih baik kita tidak usah ikutan-ikutan pakai kata OKNUM. Korupsi ya korupsi, tidak ada okunum-oknum. Kalau korupsi dilakukan beramai-ramai, tapi kalau ketangkap dibilang OKNUM. Itu bahasa state yang oppresive. Itu bagian dari usaha mengeleminir kesalahan supaya hanya satu dua orang saja yang disalahkan. Pendek kalau ada masalah cari KAMBING HITAM. Sebaliknya kalau satu polisi diapakan-apakan masyarakat, maka semua turun untuk melakukan kekerasan kepada masyarakat atas nama semangat korps. Itu persis peristiwa CEBONGAN. Betapa ironisnya. Kalau ketangkap, cuma satu yang salah. Kalau satu dikenai kekerasan (dipukuli misalnya) maka semua yang sakit, lalu angkat senjata (yang dibeli dengan uang rakyat) untuk membalas.
Jadi menurut saya tak usahlah kita termakan bahasa aparat (state apparatus) yang ada apa-apa langsung bilang itu OKNUM padahal hasil dari kejahatan yang dilakukan dimakan beramai-ramai. ANTONIO GRAMSCI bilang kalau kita memakai bahasa yang digunakan oppersor maka itu bukan kekerasan fisik yang telah menundukkan kita terhadap si penindas tapi HEGEMONI PIKIRAN yang telah menundukkan kita. Dan hegemoni yang demikian lebih jahat dan halus. Kekerasan dibawah todongan senjata yang kelihatan masih bisa cepat diidentfikasi dan dirubah, tapi kekerasan dalam bentuk dominasi pikiran itu susah sekali merubahnya. Tidak heran banyak pemikir besar saat tubuhnya teraniaya, mengatakan: "engkau bisa menghancurkan raga, tetapi engkau tidak bisa menundukkan pikiran". Kalau tubuh dan raga ditundukkan, jangan biarkan pikiran ditundukkan. Penindas biasanya lebih takut kepada pikiran yang bebas daripada kepada benda mati seperti senjata. Karena itu dalam banyak kasus aparat negera suka mencari "Oknum Provokator".
8 April 2013
SALAM
No comments:
Post a Comment