Aku dan papa di Bandara Sukarno-Hatta, saat papa mengunjungi kami untuk terkahir kalinya. |
Memang aku tahu bahwa ia ayahku, dari menguping percakapan orang-orang dewasa, namun secara mental aku lebih siap memanggil papa dan mama kepada kakek dan nenekku. Aku ingat ia pernah satu kali datang menjenguk ku di Rote, aku tak punya rasa apa-apa terhadapnya. Mungkin karena aku masih terlalu kecil, belum juga SD saat itu. Tapi aku ingat ia memberikanku sebuah sisir aluminum yang punya kaitan seperti bullpen. Aku menjadikan sisir itu mobil-mobilan.
Saat di Rote itulah hampir setiap liburan aku dibawa ke kota yang bernama Kupang untuk menengok “bu dan susi” di Kupang. Anak-anak lain mungkin berlibur ke rumah nenek dan kakek di desa, aku mengunjungi “kakak perempuan besar” ku yang menikah dengan “Om Min Messakh” di kota.
Aku pindah ke kota sekitar kelas 3 SD, tinggal bersamanya, ibuku dan saudara-saudaraku. Suatu lompatan yang sangat besar dalam hidupku. Dari kehidupan seorang anak yang dimanjakan kakek neneknya ke kehidupan sebuah keluarga dimana sang ayah menerapkan disiplin yang ketat kepada enam orang anak laki-lakinya. Aku ingat aku menangis tiap malam di tempat tidurku mengingat kakek dan nenek. apalagi kalau aku merasa disakiti, aku ingin pulang ke Rote.
Sikap papa yang keras dan tegas lebih sering kusalah mengerti. Ia selalu memperlakukan kami secara sama. Satu salah semua kena hukuman.
Jangan pernah membayangkan ia mengosongkan sakunya untuk kami tidur di pangkuannya seperi anak-anak lain, jangan pernah berharap ia mengantar atau menjemput kami dari sekolah setiap hari, membawa kami jalan-jalan atau bermain permainan bodoh anak-anak. Sangat mahal ia memberi pujian kepada kami. Jangan pernah berharap dia ada di tepi tempat tidurmu ketika kamu sakit, atau membacakan dongeng kesukaanmu sebelum tidur. Jangan juga mengharapkan kue atau hadiah ulang tahun darinya. Satu-satunya kemewahan bagi kami, itupun hanya ketika masih SD saja, adalah baju baru menjelang natal dan tahun baru: Seragam kebesaran enam orang anak laki-laki.
Ia hanya tak tanggung-tanggung kalau kami meminta buku dan peralatan sekolah. Aku ingat ia datang sendiri ke asrama tempat aku tinggal saat kuliah, lengkap dengan pakaian seragam pegawai negerinya, mengantarkan fotocopyan leksikon Yunani yang hampir setebal 3 Alkitab. Aku memintanya memfotocopy buku itu karena aku tak punya uang. Ia mengantarkannya sendiri walupun tak kuminta. Kalau aku meminta barang lain tak mungkin dia mengantarkannya. Buku memang makanan kami sejak kecil. Ia selalu membelikan kami buku walaupun buku itu belum tentu kami sukai, ia akan menyimpannya di rumah sampai satu saat kami membuka dan membacanya.
Aku pernah marah dan mengujinya, karena aku berpikir apakah ia akan pernah membelikan aku barang lain selain buku? Saat selesai membeli sebuah buku di sebuah toko buku di Kupang, aku memintanya membelikan aku baju. Ia membelikannya, satu saja sesuai permintaanku. Setidaknya itulah sekali aku ingat membelikanku baju secara khusus kepadaku. Ia tak pernah memberi lebih dari apa yang kami minta.
Ada penyesalan yang takkan pernah hilang di hatiku bahwa aku tak sempat memberinya kebahagiaan di hari tuanya, menyenangkannya selagi aku mampu. Tapi aku juga tahu bahwa sebesar apapun usaha kita untuk membalas kasih orang tua, takkan sekali-kali pernah terbalaskan, sekaya apapun engkau, sebesar apapun pemberianmu.
Di saat dia sakit keras di rumah sakit dan aku datang menjenguknya, anak istriku tidak kubawa karena terburu-buru. Aku membawakannya sebuah topi cowboy kesukaannya yang kubelikan dari Jeju Island, Korea Selatan. Ia malah mengomentari jam tanganku. “bagus” katanya. Tak pernah dia memuji seperti itu dan akau tahu bahwa ia ingin memintanya tapi malu mengatakannya. Akupun pura-pura tidak mengubris karena tak terpikir olehku kalau ia akan pergi selamanya beberapa minggu kemudian. Aku berpikir, aku masih bisa membelikannya yang lebih baik dari yang kupunya sekarang. Namun ternyata hidup berkata lain, bukan jam tanganku yang kuberikan kepadanya melainkan cicinnya yang aku pakai sekarang sebagai kenangan akannya.
Tapi aku bisa saja terus menceritakan sejuta kenangan manis, tapi cukuplah cerita-cerita di atas. Mungkin ia tak pernah mengatakan sekalipun ia mencintai kami, mungkin dia tak pernah mengantarkan kami ke sekolah minggu atau ke sekolah, mungkin ia tak pernah mengajak kami bermain, dan melakukan hal lain yang lazim dilakukan ayah dan anak; tapi hidupnya selama bersama kami telah membuktikan segalanya. Dalam waktu 37 tahun aku tak pernah ragu bahwa ia membanggakanku dan saudara-saudaraku. Bahwa ia tak pernah pilih kasih terhadap kami berenam bahwa ia sungguh mencintai ibuku.
Aku percaya sedalam-dalam sampai saat ini bahwa, dia mencintai kami sebagai batu karang yang teguh. Dia tak pernah berlaku sebagai layaknya ayah-ayah lain kepada anak-anaknya karena memang dia bukan begitu. Setiap orang mencintai dan mengekspresikan cinta dengan caranya sendiri. Tergantung latar belakang hidupnya. Dia datang dari jaman yang berbeda, dari dunia yang berbeda, bahkan kalau boleh dikata dari keluarga yang berbeda. Sulung dari 11 bersaudara dia telah mandiri sejak kecil. Sejak SMP dia sudah bersekolah jauh dari rumah, sejak SMA dia merantau ke Kupang, menumpang di rumah orang.
Sikapnya keras, bahkan cenderung kaku. Tapi aku tak pernah meragukan bahwa jauh di dalam lubuk hatinya, ia sangat menyayangi kami. Tentu saja kami pernah protes, verbal maupun unverbal, tapi itu tak akan merubahnya. “Saat kita kecil, orang tualah yang mengerti kita, saat kita dewasa kitalah yang harus memahami orang tua kita,” kataku kepada adik-adiku kalau mereka protes.
Aku percaya ia mencintai kami lebih dari apapun sampai akhir hayatnya. Sampai akhir hidupnya ia tetap Benyamin Messakh yang kami kenal. Tak berubah sedikitpun, terhadap kami maupun terhadap orang lain. Saat kami mengantarkannya ke liang lahat dengan pakaian adat Rote kebesaran kami, kakak sulungku berkata: “beta kira dia su pensiun jadi sonde laku-laku lai, orang su lupa sang dia. Tapi ini hari beta tahu orang masih sayang dia.”
Ia mungkin tak terkenal, engkau tak akan melihatnya di televisi. Tapi ia adalah pahlawan bagiku. Teman-temanya memanggilnya Min, orang-orang memanggilnya Om Min atau Bu Min, ibuku memanggil “bu” saja. Aku memanggilnya Papa. Selamat hari Ayah, papa!
Serpong, 20 Juni 2011
No comments:
Post a Comment