One afternoon, on a visit to his family, he had summoned up the courage to tell his father that he didn't want to become a priest. That he wanted to travel.
Wednesday, June 01, 2011
Mengapa Orang Menjadi Fundamentalis? [revised]
Kata 'fundamentalisme' aslinya digunakan untuk sebuah trend khusus dalam Protestantisme Amerika yang di dalam berhadapan dengan segala adaptasi-adaptasi modern dan liberal dari gereja, mencoba kembali ke dasar-dasar (fundamentals) alkitabiah dari iman Kristen:yaitu kepada dasar-dasar iman yang diinterpretasikan dalam cara yang sangat lepas atau sewenang-wenang.
Dalam perkembangan selanjutnya, sympton fundamentalis ini dan perkembangan -perkembangan yang mirip-mirip seperti gerakan di dalam Protestantisme ini kemudian dapat ditemukan juga di dalam gereja Katholik dan Ortodox Timur. Kemudian kata ini juga telah ditransfer ke dalam kecendrungan-kecendrungan reaksioner dalam Islam dan Yudaisme.
Menurut theolog Protestant dan Katholik asal Jerman, Jurgen Moltman dan Hans Kung, meluasnya fundamentalisme dalam berbagai agama ini menjadi alasan yang cukup untuk melihat dimensi ekumenikal dari masalah ini secara lebih serius dan mendalam. (Moltman dan Kung, Fundamentalism as an Ecumenical Challenge,SCM London, 1992, hl.vii, 106-115).
Fundamentalisme bisa dipandang dari berbagai segi: theologis, psikologi sosial, psikiatrik, sosial. Fundamentalisme dalam setiap agama juga punya karakterisitik tersendiri sesuai dengan perkembangan sejarah dan unsur-unsur yang mempertautkannya. Fundamentalisme Kristen protestan tidak bisa dibahas sama dengan fundamentalisme katholik,Islam atau Yahudi.
Yang menarik adalah bahwa dari segi psikologi sosial fundamentalisme dilihat sebagai konsekwensi dari alienasi atau keterasingan [C.Jaggi and D Krieger, Fundamentalism: A Phenomenon of the Present, Zurich, 1991]. Buku ini membicarakan antara yang dimaksudkan dengan alienasi adalah 'isolasi personal', 'marjinalisasi sosial', 'kehilangan akar etis dan kultural' atau bahkan secara lebih umum kehilangan keberlanjutan historis.
Pengalaman-pengalaman ini kemudian bertemu atau bertabrakan dengan hasrat akan kepastian, dengan hasrat akan kebenaran 'yang sejati', dengan hasrat akan gambaran yang lebih stabil tentang dunia. Dengan hasrat-hasrat ini orang merindukan figur-figur pemimpin yang mengetahui jalan yang benar dan dengan demikian mempunyai hak penuh untuk memerintahkan penolakan total.
Jadi fundamentalisme dimengerti sebagai usaha untuk mengatasi sebuah kegelisahan existensial yang mendalam dan sebuah "kekuatiran akan konflik". Di sini kategori psikologis sperti "regresi" atau konseptualitas 'Ego/Superego' nya kaum Freudian berlaku.
Jika kita ingin melihat fundamentalisme secara lebih kritis, kita tidak bisa menghindar untuk menekankan pentingnya dasar-dasar untuk kehidupan manusia. Kita membutuhkan dasar-dasar untuk bisa hidup secara lebih kreatif. Tanpa keamanan dan perlindungan dari orang tua dan rumah, perkembangan yang sehat dari emosi-emosi dan kapasitas kita menjadi terhambat. Kekuatan fisik, intelektual dan emosional kita didasarkan pada dasar-dasar cinta, perhatian dan kepercayaan (trust).
Hal ini juga berlaku dalam sebuah pengertian yang lebih trans-personal. Komunitas-komunitas, klan-klan dan masyarakat membutuhkan sejarah mereka - dalam hal ini tradisi-tradisi, ritus, pemujaan-pemujaan,- agar dapat exist secara lebih creative dan lebih kondisi yang lebih berimbang dan untuk melihat ke masa depan.
Ada satu dimensi yang lebih jauh yaitu kemampuan atau kepercayaan diri manusia untuk berhadapan dengan ketidakekalan dunia. Ada sebuah peribahasa China berbunyi: "negara dan pemerintahan datang dan pergi tetapi gunung-gunung tetap". Ini adalah sebuah expresi keyakinan akan stabilitas bumi dan waktu. Ekspresi ini juga terdapat dalam Kitab Kejadian 8: 22 : "Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan hujan, siang dan malam".
Keyakinan mendasar ini adalah cara paling alami darai manusia untuk berhadapan dengan masalah yang paling menggelisahkan dari keberadaan manusia, yaitu kematian.
Hidup yang kreatif dalam segala bentuknya dikembangkan di atas dasar keyakinan akan bumi dan waktu ini. Kreatifitas adalah identitas dalam transisi, sebuah pemberian masa lalu dan transfomasinya ke dalam sesuatu yang baru. Masyarakat-masyarakat, kebudayaan-kebudayaan dan agama-agama dan singkatnya semua sistem yang hidup, menunjukkan kehidupan mereka dengan cara memampukan diri untuk penerimaan dan transformasi ini.
Tapi apa jadinya jika kepercayaan fundamental terhadap bumi dan waktu menjadi hilang? Apa jadinya jika sebuah proses traumatik mengaburkan penerimaan kreatif akan masa lalu dan menghalangi transformasi atas apa yang telah diwarisi ke dalam sebuah masa depan yang terbuka?
Bilamana kehancuran dalam penerimaan dan transformasi terjadi, di mana seakan 'dunia telah berakhir' tanpa ada tatanan baru yang muncul -maka reaksi-reaksi fundamentalisme akan bermunculan. Dengan demikian kita memahami fundamentalisme sebagai sebuah reaksi pathologis terhadap pengalaman berakhirnya dunia.
Butuh contoh?
Fundamentalisme Islam di Indonesia adalah contoh yang bagus untuk dibahas dalam kerangka psikologi sosial di atas.
Kita ambil saja contoh FPI atau kelompok-kelompok fundamentalisme Islam yang seakan telah menjadi polisi moral dan mau memaksakan segala aturan menurut ukuran mereka di negara ini. Coba teliti ke dalam organisais mereka, anda akan mendapatkan hard core mereka sebagai orang-orang yang gelisah akan masa depan tetapi sekaligus tidak bisa melihat keberlajutan masa lalu mereka ke masa sekarang. Di alam bawah sadar mereka, mereka merasa Islam sudah gagal, nilai-nilai Islam sedang diserbu oleh nilai modern dan Barat yang mereka anggap kafir sementara mereka tidak bisa menawarkan nilai-nilai Islam untuk diterima secara sukarela oleh semua orang bahkan oleh orang Islam sendiri.Ini konflik yang luar biasa, dan reaksi mereka adalah adalah berusaha menghilangkan konflik itu.
Itulah jawabannya mengapa mereka begitu aggresive dalam tindakan mereka, dan memaksakan nilai-nilai mereka sendiri. Itu jugalah mengapa mereka membentengi diri mereka dengan cara-cara yang artifisial seperti pakaian dan aturan-aturan.
Kalau dilihat komposisi FPI di Jakarta misalnya, kebanyakan adalah kelas bawah dan sedikit kelas menengah. Ada juga sejumlah kalangan atas tapi biasanya special case. Apa artinya ini? artinya memang kelompok inilah yang paling dipinggirkan dalam semua proses modernisasi dan pembangunan yang timpang. Itu jugalah yang menjawab pertanyaan mengapa kelompok fundamentalis ini umumnya muncul dan berkembang pesat di daerah perkotaan. Karena memang isolasi personal, marjinalisasi sosial, kehilangan akar-akar etis dan kultural itu lebih dirasakan dan nampak diperkotaan atau bahkan lebih sering terjadi di perkotaan. Itu juga menjawab pertanyaan mengapa figur prominen dalam FPI adalah Arab [kehilangan ke-Arab-an nya setelah sekian lama di Indonesia], Betawi [mearasa pemilik Jakarta tetapi termajinalisasi dari pembangunan dan modernisasi Jakarta; jadi ingat "Si Doel Anak sekolahan"], preman, tukang parkir, pengangguran dsb.
Tentu ada variabel-variabel lain yang kait mengait dalam menciptakan atau membuat orang menjadi begitu fundamentalis seperti pendidikan, indoktrinasi agama, kekecewaan akan tatanan sosial yang tidak adil dsb. Itu sebabnya tidak semua preman, tukang parkir, penggangguran, Betawi, Arab di Jakarta adalah fundamentalis. Tetapi pada dasarnya fundamentalisme muncul dari perasaan keterasingan dan alienasi, terputusnya akar-akar historis dan ketidakpastian masa depan. Ini lahan yang paling subur untuk para opportunis untuk menyuburkan fundamentalisme.
Orang-orang ini -para fundamentalis - sebenarnya adalah orang-orang yang rindu akan kepastian karean hidup mereka sendiri dipenuhi dengan ketidakpastian. Ada satu dua (mungkin die hard-nya) adalah orang-orang yang punya hasrat untuk 'kebenaran sejati'. Dan biasanya orang-orang ini akan berbalik 360 derajat kalau mereka menemukan apa yang mereka yakini sebagai kebenaran yang bertentangan dengan apa yang mereka pegang sekarang. Orang-orang seperti ini biasanya akan membelakangi atau bahkan melawan orang-orang dan organisasi mereka sendiri. Dalam sejarah salah satu contoh orang seperti ini adalah Rasul Paulus. Dia bukan orang jahat pada dasarnya, dia hanya rang yang ingin menegakkan apa yang dia anggap benar tanpa pengetahuan akann sisi lain dari kebenaran. Dan karena iru begitu ia melihat sisi lain, ia berpaling. Contoh lain dalam sejarah gereja di Indonesia adalah KAM Jusuf Roni yang mirip Paulus juga sngat membencio Kristen tapi kemudian berbalik menjadi Kristen.
Karena perasaan ketidakpastian yang mendalam, orang-orang ini juga sangat mengaungkan figur pemimpin yang kuat dan mereka anggap punya klaim kebenaran. Itu sebabnya mereka tak akan melihat sisi buruk dari apa yang dilakukan pemimpin mereka. Mereka akan menjustifikasi apapun yang dilakukannya dalam kerangka pengetahuan kebenaran yang mereka miliki. Mereka akan sangat gampang memaki, menuduh dan menyalahkan orang lain yang menghalangi jalan mereka untuk memaksakan nilai-nilai mereka.
Sebagai bagian dari masayarakat yang teralienasi, prasangka sosial mereka juga sangat tinggi. Tetapi biasanya unsur agamanya lebih menonjol. Itulah sebabnya mengapa FPI dan kelompok-kelompok fundamentalis selalu menciptakan musuh bersama; kalau bukan Amerika, pasti Barat, atau Kristen atau China .
(to be continued)
Photo Caption:“Live respected or die as a martyr” reads the red-letter motto on the hoods of Front Pembela Islam members. Each year these self-appointed enforcers rally in Jakarta neighborhoods before and during the holy month of Ramadan, intimidating “purveyors of vice” such as bar owners and prostitutes. Last year their leader was jailed for inciting violence.
©2009 James Nachtwey/National Geographic
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment