Namun popularitas hanya cukup di situ: hanya namanya saja yang muncul, tak lebih dari itu. Yang selanjutnya muncul di halaman depan media-media cetak nasional dan media televise adalah foto ‘orang besar’ macam Ketua Badan SAR Nasional, Bambang Karnoyhudo atau Komandan Pangkalan Udara Hasanuddin. Mereka berpose memegang foto sayap Adam Air.
Bakri memang ngak butuh semua popularitas itu. Bahkan ketika ia menemukan sayap itupun tidak ada niat untuk melaporkan hal itu ke polisi. Ia takut diperiksa seperti warga Toraja yang diperiksa sebelumnya. Konon, orang besar seperti Komandan Pangkalan Udara ngak bisa salah, yang salah dan bisa diperiksa hanya rakyat.
Baginya sebuah sayap patah dari sebuah pesawat lebih berarti disimpan di rumahnya daripada sebuah laporan yang akan berbuah kesalahan. Walaupun sayap itu mungkin tak memberi tambahan nilai apa-apa pada dirinya, ia pun tak akan kurang suatu apapun bila tak melapor.
Konsep “tanggungjawab publik” mungkin memang tak ada dalam kepala seorang nelayan. Tapi bukan itu yang tak membuatnya melapor. Ia memang tak punya sangkut paut apapun dengan Negara ini dalam segala hal. Karena Negara memang tak pernah memberi apa-apa kepadanya. Ia mungkin punya KTP yang diperoleh dari kantor desa atau kelurahannya, tapi itu tak banyak memberi arti bagi seorang nelayan yang tiap hari berurusan dengan ombak dan garam, bukan dengan polisi air ataupun polisi daratan. KTp itupun belum tentu banyak membantu ketika ia meminta pinjaman ke bank terdekat. Apalagi ketika ia dan anggota keluarganya harus berobat ke puskesmas. Biaya sekolahn anaknya pun tidak bisa dibayar dengan sebuah KTP. Tidak juga ketika bersengketa dengan nelayan lain. Paling mungkin KTP itu berguna ketika pemilu local maupun nasional. Karena saat itulah baru rakyat punya nilai.
Maka tak heran Bakri emoh melapor ke pemerintah. Mungkin pikirnya, paling-paling ia akan diperiksa karena tak mampu menunjukkan dimana ia menemukan potongan sayap itu.
John Dewey benar ketika ia mengatakan: biarkanlah rakyat tidak melakukan apa-apa untuk negaranya maka lama-kelamaan ia tidak akan peduli kepada negaranya. Ketidakpedulian ini sudah mengetal dalam masyarakat, hanya banyak orang tak mau mengakuinya.
“Emang gue pikirin,”kata anak jaman sekarang.
No comments:
Post a Comment