Jawa Pos, Rabu, 5 April 2006
Bagi kaum laki-laki, sunat adalah hal yang wajar, bahkan malah jadi suatu keharusan. Lalu, ada tradisi yang mengharuskan laki-laki setelah sunat berhubungan intim dengan minimal tiga perempuan yang berbeda secara bertahap. Namanya sifon. Bagaimana prosesi sifon itu?
Tradisi merupakan suatu hal unik yang memperkaya keanekaragaman budaya. Bentuk dan jenis tradisi itu bisa berupa apa saja. Salah satunya adalah sifon. Sifon tak berbeda dengan mitos-mitos lain yang berhubungan dengan fungsi seksual pria. Tradisi tersebut masih banyak dilakukan di Nusa Tenggara Timur. Karena dipercayai berkaitan erat dengan keperkasaan, kejantanan, dan keharmonisan keluarga, tradisi sifon dipegang sangat kuat, baik oleh laki-laki maupun perempuan yang menjadi mitra seksualnya.
Karena itu, banyak perempuan lajang yang mengharuskan calon suaminya disifon sebelum menikah. Banyak pula istri yang mendorong suaminya yang belum disifon untuk menjalani sifon.
Sering laki-laki yang tidak atau belum disifon akan diolok-olok atau disindir, biasanya dilakukan dalam pertemuan-pertemuan komunal. Tetapi, bagaimana sebenarnya tradisi itu dilakukan?
Sifon biasanya dilakukan bertahap dan masing-masing tahap mempunyai makna berbeda-beda. Sebelum melakukan sunat dan sifon, ada tahapan yang disebut naketi, yaitu pengakuan kepada dukun sunat tentang berapa kali seorang laki-laki pernah berhubungan seks sebelum disunat.
Seberapa banyak seorang laki-laki pernah berhubungan seks akan disimbolkan dengan sejumah batu yang dikumpulkan untuk diberikan kepada dukun sunat. Bila terlalu sering berhubungan seks, biasanya cukup disimbolkan dengan batu besar.
Tahap pertama, bertujuan membuang panas, maksudnya adalah membuang bala atau penyakit. Bila tidak menempuh tahap ini, dipercaya akan terjadi musibah. Misalnya, terjangkit penyakit, rumah tangga tidak harmonis, dan anak-anak mudah terserang penyakit.
Caranya adalah dengan melakukan hubungan seks dengan perempuan tua yang sudah berumur atau dengan perempuan yang sudah memiliki banyak anak. Prosesi pembuangan panas itu dilakukan ketika kondisi luka sunat hampir sembuh, yaitu 4-8 hari setelah disunat. Dia harus berhubungan seks untuk memecahkan bengkak luka sunat.
Tahap kedua disebut saeb aof atau menaikkan badan. Pada tahap ini, hubungan seks dipercaya dapat mengembalikan kesegaran tubuh atau mengembalikan darah yang terbuang pada saat sunat. Pada tahap ini, pelaku sifon dianjurkan berhubungan seks dengan perempuan muda atau yang masih lajang.
Selanjutnya adalah tahap ha’ekit atau tahap melicinkan dan menghaluskan. Dalam tahap ini, pelaku tradisi itu percaya bahwa hubungan seks dapat menghaluskan luka-luka atau gelambir luka pada alat kelamin setelah disunat.
Rentan Penyakit Menular
Bila ditelaah lebih lanjut, sebenarnya praktik sunat yang diikuti sifon sangatlah membuka peluang bagi penularan penyakit menular seksual (PMS), terutama bagi perempuan.
Kerentanan perempuan terhadap PMS sebagai praktik sifon itu disebabkan pada umumnya laki-laki yang menjalani sunat telah lebih dari satu kali berhubungan seks dengan perempuan yang sudah terbiasa melakukan hubungan seks (PSK). Apalagi hubungan seksual itu dilakukan ketika alat kelamin dalam keadaan luka atau infeksi sehingga pelaku tradisi tersebut berpotensi terjangkit penyakit menular seksual.
Anggapan yang muncul di masyarakat wilayah itu -sunat dan sifon dapat meningkatkan daya seksual laki-laki- semakin menyuburkan praktik sifon sekaligus mempunyai daya paksa bagi laki-laki untuk melakukannya. Akibatnya, posisi daya tawar perempuan menjadi lemah.
Hal itu memunculkan dominasi kuasa laki-laki yang menempatkan perempuan pada posisi tidak berdaya dan tidak berani menolak tuntutan tradisi sifon. Padahal, selain penularan PMS, perempuan rentan terhadap tindakan diskriminatif dan kekerasan. Tetapi ironisnya, perempuan sendiri menerima hegemoni nilai di balik sifon sebagai sebuah tradisi yang wajib dan tidak bisa ditolak.
Itulah fenomena menarik tradisi sifon yang menggelitik hati seorang Ferderika Tadu Hungu untuk melakukan penelitian ini.
Metode pengumpulan data dilakukan Tadu melalui wawancara mendalam dan FGD (focus group discussion). Informan penelitian dipilih secara snowball terhadap 42 orang perempuan yang berstatus sebagai istri.
Sasaran penelitian Tadu itu dibagi atas empat kelompok, yaitu perempuan yang suaminya belum disifon, perempuan yang menikah dengan laki-laki yang telah sifon sebelum menikah, perempuan yang menikah dengan laki-laki yang melakukan sifon setelah menikah, dan perempuan yang melayani sifon.
Dalam proses pengumpulan data, Tadu dibantu beberapa perempuan lokal. Namun dalam perkembangannya, mereka keberatan karena masalah-masalah seksual masih dianggap tabu selain ada beban psikologis sebagai sesama warga. Juga, saat wawancara, para informan biasanya dikelilingi suami atau saudara laki-laki mereka. Jalan keluarnya, Tadu melakukan pendekatan kepada informan tatkala suami-suami mereka tidak berada di rumah.
Maskulinitas dalam Tradisi Sifon
Dalam praktik sifon itu, peranan dukun sunat cukuplah dominan. Dukun menjadi sarana penyebar informasi mengenai sunat dan sifon. Pada umumnya, dukun sunat adalah orang yang mempunyai pengaruh dan posisi yang dihormati dalam masyarakat atau gereja.
Selain itu, dukun sunat pandai sekali membaca wajah laki-laki yang sudah disunat dan laki-laki yang belum disunat. Mereka mengatakan bahwa laki-laki yang sudah disunat dan melakukan sifon akan terlihat bercahaya, segar, dan mempunyai fisik yang kuat.
Hampir semua informan dalam penelitian ini menyatakan, sifon membuat hubungan seks dengan suami lebih memuaskan karena lebih lama ejakulasinya. Begitu pula sebaliknya, laki-laki yang ejakulasi dini dianggap egois karena tidak dapat memuskan istri dan hanya untuk kepuasan sendiri.
Menurut mereka, hal itu terjadi bukan karena tidak ada kerja sama antara suami-istri untuk kenikmatan seksual, tetapi akibat gesekan dari kulit alat kelamin suami yang mengakibatkan ejakulasi dini.
"…jika berhubungan dengan istrinya, itu akan membuat istrinya puas dan kelihatan cantik," ujar Yu, salah seorang informan.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa sifon bisa membuat laki-laki kuat dan perkasa dalam hubungan seksual. Di samping itu, semakin sering seorang laki-laki melakukan hubungan seks, mereka dianggap semakin gagah.
Mereka mengangap laki-laki yang impoten bukanlah laki-laki sejati. Sebab, kejantanan dianggap melambangkan kehidupan laki-laki sehingga jika tak lagi berfungsi, orang itu tak berguna lagi dan disamakan dengan perempuan atau banci. Hal tersebut dipengaruhi kepercayaan bahwa laki-laki yang disunat tanpa sifon akan mengalami impotensi.
Meski demikian, lima orang informan menyatakan cukup menikmati hubungan seks tanpa mempermasalahkan suami sifon atau tidak. Temuan menarik lainnya dalam penelitian ini adalah kesediaan dan kesetujuan kaum ibu jika anak laki-lakinya menjalani sifon. Namun, mereka tidak mau j anak perempuannya menjadi sasaran sifon. Mereka jelas-jelas tidak mau nama keluarga tercemar serta agar anak perempuannya tidak mendapatkan penyakit kotor akibat menjadi tempat "buang panas". (yg/ryn)
No comments:
Post a Comment