One afternoon, on a visit to his family, he had summoned up the courage to tell his father that he didn't want to become a priest. That he wanted to travel.
Monday, August 29, 2005
Media Massa Indonesia Berbohong Lagi tentang Timor Leste*
PADA 8 Mei 2005, majalah Tempo memberitakan penembakan terhadap tentara Indonesia oleh anggota Border Patrol Unit (BPU) Kepolisian Nasional Timor Leste di Daerah aliran sungai Malibaca yang membatasi Timor Leste dan Indonesia.
Tak satupun sumber Timor Leste dikutip. Sumber Indonesia yang dikutip pun hanya sumber pemerintah seperti pejabat militer atau pejabat sipil. Pernyataan Kolonel Amir Hamka Manan, Komandan Korem 161 Wirasakti Kupang bahkan dijadikan eye-catcher.
Klarifikasi terhadap sikap pemerintah Timor Leste malah didapatkan dari Kolonel Manan. Singkat cerita, Tempo melaporkan beberapa hal: (1) bahwa pasukan Indonesia sedang melakukan patroli rutin dan memergoki pelintas batas, (2) bahwa para penyelundup yang bersenjatakan parang, mengancam dan melempari tentara Indonesia (3) bahwa penembakan dilakukan terlebih dahulu oleh pihak Timor Leste, (4) bahwa lima polisi pelaku penembakan telah dinonaktifkan dan empat dari sembilan warga sipil yang terlibat penyeludupan telah tertangkap.
Sebagaimana jadinya sebuah pemberitaan yang sepihak, apa yang hilang dari pemberitaan Tempo adalah kemungkinan lain dari apa yang keluar dari mulut sumber resmi seperti pejabat militer. Apa yang ditulis Tempo ternyata jauh berbeda bahkan bertolak belakang dengan versi polisi Timor Leste, setelah diklarifikasi oleh penulis langsung ke tempat penembakan di sub-distrik Tapo Memo Timor Leste.
Pihak kepolisian Timor Leste menyatakan bahwa pihak pasukan Indonesia justru membekingi penyeludupan. Komandan BPU di Tapo Memo, Abilio Carvalho mengatakan: “Bagaimana bisa dikatakan berpatroli dan memergoki pelintas, kalau barang-barang dari Timor Barat ditumpuk dulu di pos tentara?” Carvalho mengatakan bahwa penembakan itu terjadi saat anggota TNI melakukan transaksi curang dengan masyarakat dimana isi jerigen yang ditransaksikan bukanlah minyak tanah melainkan air.
Seorang pelaku akhirnya mengetahui kecurangan ini dan berlari ke arah Timor Leste tanpa membayar untuk memberitahu teman-temannya yang telah lebih dahulu melakukan transaksi. Tiga anggota TNI lantas mengejar ke arah Timor Leste namun dihadang oleh polisi Timor Leste. Peringatan pihak Timor Leste tidak diindahkan.
Bahkan Lettu Teddy Setyawan terlebih dahulu menembak tiga kali di dalam wilayah Timor Leste. Polisi Timor Leste akhirnya menembak paha kiri Lettu Tedy Setyawan. “Kalau kami memang ingin membunuh mereka, mereka tidak akan kembali hidup-hidup, karena ada yang sudah masuk sampai dalam air dan gampang menembaknya” kata seorang anggota BPU di pos Tapo Memo.
Hasil investigasi sementara yang dilakukan Kolonel Fernando Reis, Perwira Penghubung Militer PBB pun ditolak oleh Komandan Satgas Pamtas NTT-Timtim, Letkol Art Yul Aviandi.
Pemberitaan sepihak ini tak hanya dilakukan oleh Tempo. Republika-online 16 Mei 2005 mengutip Kol. Manan yang meragukan kenetralan penyelidik PBB dan karenanya menolak secara tegas hasil investigasi itu. Media Indonesia Online bahkan mengutip Kol.
Manan yang menyatakan bahwa penembakan itu telah direncanakan. Wartawan senior Antara, Peter Tukan panjang lebar menguraikan hubungan sejarah dan budaya Timor Leste dan Timor Barat di Antara News, sambil menuduh Pasukan Penjaga Perdamaian PBB, “bangsa Barat” dan “bangsa tertentu” telah mengadu domba kedua belah pihak. Detikcom menulis: Penembakan pada Tedy Setyawan terjadi akibat penyerangan sekelompok warga bersenjata dari Timor Leste.
Memang bukan baru sekarang pemberitaan media massa Indonesia tentang Timor Leste sarat propaganda. Invasi Indonesia yang didasari oleh pre-text Fretilin sebagai ancaman komunis lain di Asia Tenggara selain Vietnam, ditelan mentah-mentah oleh media massa Indonesia.
Menjelang pendaratan pasukan Indonesia di Timor Portugis pada tahun 1974, propaganda anti-komunis mulai memenuhi halaman-halaman media massa Indonesia. Awal Agustus 1974 sejumlah media massa Indonesia terutama Berita Yudha, mulai menuduh Asosiasi Sosial Demokrat Timor (Associacão Social Democrata Timorence, ASDT) mencari dukungan komunis.
Sejak pertengahan 1974 RRI Kupang telah mengudarakan sejumlah siaran yang mencoba mendiskreditkan dua partai utama, mencap Fretilin sebagai komunis dan UDT sebagai neo-fasis. Media-media di Indonesia mengangkat cerita tentang infiltrasi Komunis Cina ke koloni ini, laporan tak pernah terbukti kebenarannya.
Juga ada sejumlah berita tentang kekerasan politik, misalnya pada 12 September 1974 Sinar Harapan, menurunkan laporan tentang pembunuhan liurai Ainaro bersama lima orang keluarganya. Juga tak pernah terbukti kebenarannya. Di akhir tahun 1974 juga ada sejumlah laporan yang salah tentang orang Timor yang mengungsi ke wilayah Indonesia untuk menghindari kekerasan dan penyiksaan. November 1974, pers Jakarta memuat cerita tentang keterlibatan Cina (terutama Maois) dalam masalah Timor yang menyitir bahwa demonstrasi-demonstrasi dibiayai oleh ‘Cina kiri’. Sebuah artikel Berita Yudha memberitakan empat anggota klandestin Cina memasuki Timor lewat Australia.
Topik yang tidak pernah disentuh samasekali oleh media massa Indonesia adalah manuver diplomatik dan taktik disinformasi yang lancarkan operasi intelijen Indonesia terhadap Timor Portugis sejak Oktober 1974.
Operasi yang diberi nama Operasi Komodo itu melibatkan sejumlah intel sipil dan militer dibawah koordinasi Bakin/Opsus dipimpin oleh Jenderal Ali Murtopo, asisten pribadi presiden Soeharto. Sampai Februari 1975 propaganda Bakin/Opsus lewat media-media massa Indonesia mencapai puncaknya. Propanganda-propaganda ini bertujuan mengantagoniskan tim dekolonisasi portugis yang sedang berusaha keras memperkuat komitmen mereka terhadap penentuan nasib sendiri rakyat Timor, dan untuk menghancurkan koalisi UDT dan Fretelin.
Selama masa pendudukan Indonesia, jelas gerakan-gerakan pembebasan Timor Leste telah diadili lebih dahulu oleh media, sebelum diadili oleh pengadilan. Media seakan tak mampu melepaskan diri dari “kewajiban” menjadi corong penguasa.
Hasil penelitian penulis tentang pemberitaan media massa Indonesia tentang Timor sejak tahun 1974-1999 menunjukkan bahwa hanya majalah Tempo yang relatif berimbang dalam pemberitaan, dibanding media mainstream lain seperti Kompas, Sinar Harapan atau Suara Pembaruan, dan Media Indonesia. (Messakh, 2004).
Ketiga perang saudara meletus di Timor pertengahan Agustus 1975 misalnya, hanya Tempo yang mengirimkan wartawan George Junus Aditjondro ke Dili dan Salim Said ke Portugal. Hasilnya, laporan utama edisi 6 September 1975 yang diberi judul utama; “Cerita dari Portugal” lumayan berimbang.
Walaupun disana sini muncul caption foto yang terasa tendensius dan mengganggu, berimbangnya peliputan Tempo ini menunjukkan suatu pencapaian yang luar biasa jika mengingat kontrol yang luar biasa terhadap media pada saat itu. Kita ingat baru awal tahun 1974 sejumlah pers yang vokal seperti Indonesia Raya dan Mahasiswa Indonesia dibredel pasca peristiwa Malari.
Media jelas bukanlah pengadilan yang berhak menentukan benar dan salahnya masing-masing pihak. Tetapi dengan hanya menggaungkan suara sumber-sumber dominan, media jelas telah mengambil alih tugas pengadilan. Pengadilan oleh pers inilah yang berlaku terhadap gerakan pembebasan selama masa pendudukan Indonesia di Timor Leste.
Apa yang dikatakan Noam Chomsky dan Edward Herman (Manufacturing Consent - The Political Economy of the Mass Media, 1988) sebagai propaganda media adalah kondisi dimana media cenderung melayani tujuan-tujuan elite yang dominan di dalam negara dimana kendali kekuasaan sepenuhnya ditangan birokrasi negara dimana kontrol monopolistik dan aturan formal penyensoran atas media diberlakukan.
Model propaganda ini menguraikan ketidakdilan dalam kekayaan dan kekuasaan dan efek bergandanya pada kepentingan dan pilihan media massa. Uang dan kekuasaan dapat menyaring habis berita yang layak diberitakan, meminggirkan lawan atau pihak yang bertentangan, dan membiarkan penguasa dan kepentingan-kepentingan pribadi yang dominan menyebarkan pesan mereka ke publik.
Menurut model ini, untuk bisa dimuat sebuah berita harus melewati sejumlah filter: (1) besar kecilnya kepemilikan dan terkonsentrasinya kepemilikan media, dan orientasi profit dari perusahaan media massa yang dominan; (2) periklanan sebagai sumber pendapatan utama media massa. Seperti yang dikatakan McLuhan: “Iklan selalu merupakan berita baik”. Untuk menjaga keseimbangan iklan, media perlu memuat sebanyak mungkin berita buruk. Analisis ini sebagian menjelaskan kesulitan para politisi menjual pesan positif, dan munculnya spin-doctor. (3) ketergantungan media kepada informasi yang disiapkan oleh sumber-sumber pemerintah, bisnis dan “ahli” yang dibiayai atau disenangi sumber-sumber utama dan agen kekuasaan tersebut; (4)”flak” sebagai sebuah tujuan untuk mendisiplinkan media; dan (5)”anti-komunis” sebagai sebuah agama nasional dan mekanisme kontrol.
Elemen-elemen ini berinteraksi dan memperkuat satu sama lain. Bahan mentah untuk sebuah berita harus melewati filter-filter ini. Apa yang tersisa kemudian hanyalah ampas untuk diberitakan. Hasil saringan ini pertama-tama harus cocok dengan diskursus, interpretasi, dan definisi tentang apa yang layak diberitakan (newsworthy) yang sekaligus menjelaskan dasar dan pola kerja dari apa yang disebut sebagai propaganda.
Propaganda media massa seperti inilah yang meracuni hati dan pikiran banyak orang Indonesia tentang Timor. Selama lebih dari 24 tahun orang Indonesia tidak pernah mengetahui sepenuhnya apa yang terjadi di Timor Leste.
Sejarah Timor adalah sejarah tersembunyi bagi banyak orang Indonesia. Yang tertanam dalam benak kebanyakan orang Indonesia adalah bahwa orang Timor tidak tahu berterima kasih, sudah dilepaskan dari komunisme dan dianak-emaskan dalam pembangunan, tapi selalu ingin memberontak.
Yang tidak muncul dalam benak kita adalah bahwa pemerintah dan militer Indonesia telah memperkosa kemerdekaan orang Timor dan bahwa pihak diplomat dan intelijen Indonesia berada di balik rekayasa perpecahan partai-partai dan membesar-besarkan keinginan untuk berintegrasi dengan Indonesia yang sebenarnya diinginkan oleh tak lebih dari 8% pengikut partai Apodeti. Orang-orang Apodeti yang kemudian pro-Indonesia jelas menginginkan kemerdekaan. Ideologi komunis menjadi racun yang mujarab. Karena itulah koalisi antara Fretilin dan UDT perlu dihancurkan agar lebih banyak orang Timor yang pro-intergrasi. Koalisi itu hanya berumur kurang lebih seminggu. Setelah koalisi UDT-Fretilin pecah, terbentuklah Movimento Anti-Comunist (MAC), yang merupakan fusi partai UDT, KOTA dan Trabalista untuk mengayang Fretilin yang dituduh komunis.
Sejarah Timor Leste merupakan sejarah yang tak lepas dari propaganda media, baik media massa Indonesia maupun media-media barat yang semula menyantap mentah-mentah apa yang dikeluarkan Antara, kantor berita resmi pemerintah Indonesia. Propaganda secara sadar maupun tidak jelas membuktikan bahwa tangan sejumlah media juga berdarah-darah dalam sejarah Timor.
Semestinya, propaganda semacam ini semakin absen ketika kepemilikan media-media tidak dimonopoli penguasa dan sensor resmi tidak lagi diberlakukan. Apalagi ketika media aktif bersaing, secara rutin menyerang dan membeberkan kesalahan korporasi dan pemerintah, secara agresif menggambarkan diri mereka jurubicara kebebasan berpendapat dan kepentingan umum.
Apa yang tidak terbukti adalah keterbatasan dari kritik media dan adanya ketidakdilan yang luar biasa dalam pengarahan sumberdaya dan efeknya pada akses kepada media swasta dan pada tingkah laku serta penampilan media.
Lalu apa sebenarnya masalah kronis pemberitaan media massa Indonesia tentang Timor Leste? Ada semacam pola yang berulang dalam pemberitaan media massa Indonesia sejak tahun 1975 sampai sekarang.
Pertama, ketergantungan pada sumber-sumber resmi pemerintah atau sumber yang pro pemerintah. Media massa tertarik ke dalam hubungan symbiotik dengan sumber-sumber informasi yang powerful melalui kebutuhan ekonomis dan pertautan kepentingan. Media membutuhkan sumber aliran yang kuat dan reliable untuk bahan mentah berita. Media mempunyai tuntutan rutin berita dan jadwal imperative yang harus mereka penuhi. Media sebesar apapun tak mungkin mempunyai reporter dan kamera di semua tempat dimana berita penting mungkin saja muncul. Ekonomi mengarahkan mereka memusatkan sumberdaya mereka dimana berita sering muncul, dimana desas-desus dan bocoran penting sering muncul dan dimana konferensi pers secara rutin dilakukan. Mark Fishman menyebut hal ini sebagai "the principle of bureaucratic affinity: only other bureaucracies can satisfy the input needs of a news bureaucracy."
Pola kedua adalah ideologi anti-komunis yang sebelumnya dilayani dengan baik yang sekarang mulai berganti wajah menjadi ideologi anti-asing, sejak isu komunisme menjadi isu yang tak hangat lagi pasca Perang Dingin. Sebagaimana kebanyakan orang, media massa pun seperti setengah hati melepas Timor. Bagaimanapun usaha untuk memoles sebuah berita, dendam terhadap keterlibatan entitas asing akan nampak dalam pemberitaan.
Ketiga, kekuatiran akan tanggapan negatif (flak) terhadap pernyataan atau pemberitaan media. Perang melawan premanisme yang gencar dalam media massa Indonesia merupakan salah satu bukti bahwa “flak” merupakan sesuatu yang mengancam dan mahal bagi bagi media. Pemberitaan tentang Timor Lorosae tentu berada di bawah bayang-bayang tanggapan negatif ini.
Lepas dari sejumlah pencapaian profesionalisme yang mengagumkan dari media seperti yang terjadi pada Tempo, filter-filter ekonomi dan politik ternyata masih berlapis-lapis dalam news-room media massa di Indonesia.
Dengan hanya menggaungkan suara dari sumber-sumber resmi seperti TNI dan anggota DPR yang belum tentu berada di tempat kejadian, media massa Indonesia jelas telah menjadi corong propaganda kelompok dominan. Apalagi komentar sumber resmi itu sering bernada jingoistik, percaya secara ekstrim bahwa negara sendiri selalu yang terbaik. Wakil Ketua DPRD NTT, Kristo Blasin yang dikutip Tempo misalnya menyatakan bahwa warga Timor Leste saat ini sedang mengalami krisis ekonomi, sehingga kerap berbuat apa saja untuk mempertahankan hidupnya, termasuk melakukan penyeludupan. Cuap-cuap para anggota DPR sekarang mengingatkan kita akan HJ Naro, wakil ketua DPR yang mewakili daerah Nusa Tenggara, yang sejak awal dekolonisasi Timor, rajin berkomentar soal Timor dan samasekali tidak menyukai pemberian dukungan kepada orang Timor untuk membentuk suatu negara merdeka.
Ideologi anti-komunis jelas tidak begitu relevan lagi setelah berakhirnya Perang Dingin, tetapi pola “mencari kambing hitam” tetap berulang dalam hubungan antar bangsa. Dan media yang gemar mengutip komentar pejabat bernada demikian, sebenarnya telah mempropagandakan dengan baik semangat itu. Kebenaran dan fakta bukan lagi ukuran atas nama nasionalisme sempit. Pertanyaan yang muncul, apa untungnya melakukan pemberitakan sepihak yang dengan sendirinya berarti menjelekkan Timor Leste di saat pemimpin kedua negara ini telah melakukan berbagai langkah untuk hidup berdampingan secara damai?
Pemberitaan peristiwa penembakan di sungai Malibaca ternyata membuktikan media massa Indonesia belum bergeser jauh dari kegemaran mengumandangkan suara kelompok dominan. Pemberitaan yang sekedar mengutip komentar pejabat (talking news) seperti ini menunjukkan dengan jelas bahwa media massa sebenarnya tidak peduli dengan kenyataan yang sebenarnya terjadi dibalik sebuah peristiwa. Peristiwa itu tentu berharga sebagai berita (newsworthy) tetapi kebenaran dibalik peristiwa itu tidak pernah disentuh.
Sebuah penyeludupan bukan pencurian. Penyeludupan adalah sebuah transaksi ilegal, yang tentu melibatkan lebih dari satu pihak. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah dengan siapa rakyat Timor Leste melakukan penyeludupan. Yang jelas, kita tahu bahwa hanya TNI dan Polri yang punya kuasa dan senjata di wilayah perbatasan.
Rezim telah berubah, tetapi ternyata media belum berubah. Sumber tentara dan offisial pemerintah tetap menjadi sumber kegemaran entah karena alasan keterbatasan sumber daya, kuasa absolut editor atau kemalasan wartawan.
Padahal menyeberang ke Dili bukan masalah besar bagi media besar macam Tempo. Media massa Indonesia, sadar atau tidak melayani kepentingan kelompok dominan dengan baik dalam soal Timor Leste. Apapun kepentingan itu, propaganda semacam ini jelas menguntungkan pihak yang pesan sampai kepada pembaca. Pihak yang pesannya tak sampai jelas menjadi korban pengadilan media. Berubahnya istilah Timor-Timur menjadi Timor Leste dalam pemberitaan media massa Indonesia tak membuktikan perubahan apa-apa.
*pernah dimuat di majalah Talitakum, edisi Juni 2005
Kembalinya Seorang Chau hafa Malai[1]
Upacara peguburan jenazah dalam klan Chailoro yang mendiami daerah-daerah paling timur (Ponta Leste) Timor-Leste, membuat kita berpikir kembali tentang arti kematian.
RUANGAN berukuran 4x5 meter itu cukup penuh dengan orang. Syair-syair adat yang disebut Sa’u terus dilantunkan bersahutan-sahutan. Peti jenazah telah ditutup. Lilin-lilin, dan karangan bunga masih menghiasi ruangan.
Di dinding tambak berpuluh kain adat (larin lau) mengelantung lengkap dengan name-tag dari klan mana atau dari marga mana kain-kain itu berasal.[2] Di bagian kepala peti nampak foto almarhum lengkap mengenakan dua buah estrela dari pemerintahan kolonial Portugis.[3]
Lukisan Yesus tepat menggantung di bagian atas kepala peti. Juga tongkat kerajaan Chailoro berdiri tegak di atas kepala peti.
Sudah empat belas hari ini, nyanyian-nyanyian sa’u ini hampir tidak pernah putus dilantunkan, terutama di malam hari. Ya, empat belas hari sudah, jenazah Pedro Do Carmo Vieira yang meninggal dalam usia 90 tahun, berbaring di ruangan itu.
Anak cucu, sanak keluarga dan handai taulan berdatangan namun pemakaman belum juga bisa dilaksanakan. Menurut adat klan Chailoro[4], pemakaman orang yang meninggal diatas usia 60 tahun memang harus berdasarkan keputusan para tetua klan. Jenazah tak boleh segera dimakamkan dan pemakaman harus dilaksanakan saat subuh bersamaan dengan terbitnya sebuah bintang di sebelah timur langit yang disebut No Ipi.[5]
Dua kali sudah pemakaman ditunda oleh para tetua adat dan pagi ini pemakaman akan dilaksanakan. Dua minggu sudah, orang-orang Suco Pairara, Sub-distrito Moru, Distrito Lautem, Timor Leste seperti tak tidur. Tarian-tarian adat dibawakan dan nyanyian sa’u mulai dilantunkan sejak senja sampai subuh. Para anggota klan yang datang dari berbagai kampung[6] berpartisipasi dalam tarian khusus untuk kematian yang disebut Sikire –Vaure.
Sikire adalah tarian khusus untuk perempuan dan anak-anak perempuan. Nenek-nenek, perempuan-perempuan muda dan gadis-gadis kecil berputar membentuk lingkaran besar dengan langkah kaki yang disesuaikan dengan bunyi gong (titiru) dan tambur (tipalu) yang mereka tabuh sendiri. Masing-masing orang membawa titiru atau tipalu-nya sendiri. Nampak gadis-gadis cilik yang tidak mempunyai titiru, menggantikannya dengan tutup panci atau periuk yang dimencongkan bagian tengahnya. Seorang perempuan dewasa biasanya mengambil inisiatif di depan barisan, memimpin barisan, mengawali nada serta gerakan tarian. Yang lain akan serentak menyesuaikan diri dengan lagam pukulan tipalu dan titiru serta gerakan tarian. Harmoni dan stamina adalah dua kata yang dapat menjelaskan tarian mereka. Jika ada yang salah memukul titiru atau tipalu, tentu tarian akan menjadi kacau balau.
Para laki-laki memperagakan tarian yang disebut Vaure. Sepasang penari mengenakan kain adat yang diselempangkan pada bahu dan dua buah sapu tangan pada jemari masing-masing tangan memperagakan tarian ditengah lingkaran yang dibentuk kaum perempuan. Keduanya bersambar-sambaran seperti burung elang. Tarian pedang juga diperagakan oleh sepasang penari perempuan. Perempuan pun dapat melakukan Vaure dengan sepasang pedang (hi’itu) masing-masing ditangan kiri dan tangan kanan.
Tarian ini menjadi hiburan tersendiri bagi mereka yang hadir. Sayangnya laki-laki tidak dapat melakukan sikire.
Sementara sikire dan vaure berlangsung, sekali-sekali terdengar sa’u dari luar ruang jenazah maupun dari dalam ruangan. Sikire, Vaure dan Sa’u hanya boleh berlangsung selama jenazah belum dikuburkan. Setelah itu, semua harus kembali hening.
Tepat pukul tiga dinihari waktu Timor Leste, ketika tanggal di jam saya menunjuk angka 13 Agustus 2005, mereka yang tertidur mulai dibangunkan. Para penari telah lelah dan berhenti, para tua adat dan sejumlah keluarga dekat telah berkumpul di ruangan jenazah. Sa’u masih terus dilantunkan. Nampak juga arak tradisional (tua harak) disuguhkan, menambah semangat mereka yang melakukan sa’u. Sekali-sekali seorang tua adat menoleh keluar memastikan munculnya sang bintang pagi. Para pengusung peti mulai sibuk mempersiapkan segala sesuatu menyangkut pengusungan jenazah.
Sekitar pukul lima, sudut ruangan tempat peti jenazah berada mulai ditutupi tirai kain-kain adat. Tak semua orang boleh menyaksikan bagian upacara ini. Hanya kaum laki-laki Chailoro.
Suasana menjadi hening. Sa’u-sa’u berhenti dilantunkan. Tujuh buah lilin (ucu pacu) dinyalakan di dalam dua buah piring di atas peti. Ketujuh lilin ini menandakan jumlah ketujuh bersaudara yang menjadi nenek moyang klan Chailoro. Lilin-lilin ini haruslah merupakan lilin yang diracik sendiri dengan menggunakan lilin madu. Lilin buatan pabrik tak boleh digunakan.[7]
Beberapa orang tua duduk di sebelah kiri dan kanan peti jenazah. Sebuah ritual pengucapan syair (No’o lolo) dimulai lagi. Seorang tetua memulai sebuah percakapan. Nada dan tekanannya berbeda dari percakapan biasa. Mirip litani. Itulah Yamari Nereca’a yaitu doa menelusuri jejak para leluhur. Tujuan doa-doa ini adalah menyapa kembali para leluhur dan hanya boleh dilakukan oleh para Chailoro Ratu[8]. Sebagaimana lazim sebuah litani, bahasa yang digunakan adalah tingkatan sastra yang tinggi dan bahkan tak semua orang Chailoro bisa memahaminya. Empat orang Chailoro Ratu [bangsawan Chailoro] bergantian membawakan doa-doa ini. Pada bagian-bagian tertentu dari doa, mereka hanya membuka mulutnya tetapi tak mengeluarkan sepatah katapun, menandakan syair-syair itu terlalu sakral untuk didengarkan. Hanya sang pembawa litani yang mengetahui lafal dan artinya. Satu kesan yang saya tangkap: mereka berbicara dengan otoritas dan wibawa yang luar biasa, percaya diri dan didengarkan oleh semua yang hadir. Tetapi juga tidak terkesan kaku dan formal. Ada moment dimana mereka tersenyum lebar bahkan tertawa.[9] Sebuah pembicaraan paripurna oleh orang-orang yang telah makan asam garam kehidupan.
Hampir satu jam lebih berlalu tanpa terasa. Doa-doa panjang itu diakhiri dengan sebuah teriakan bersama. Mungkin itu sebuah pekik kemenangan, mungkin juga semacam mars untuk menyemangati. Yang jelas, teriakan mirip yel-yel suporter sepakbola itu membuat saya sendiri seperti ingin ikut berteriak. Saya merinding. Teriakan itu menjadi pertanda peti jenazah akan diusung keluar. Saat yang bersamaan, tangis dan ratapan perempuan dan anak-anak justru semakin terdengar memilukan. Di luar, sebuah drum (papa kasa) perlahan menderu, seakan ingin memberi tahu bahwa saatnya telah tiba bagi sang calu[10] untuk pulang. Memang, siapapun kita, ada harinya sebuah drum akan ditabuh untuk kita. Anak-anak dan cucu-cucu mulai berbaris dalam isak tangis, masing-masing dengan karangan bunga, atau lilin di tangan, mengantar sang Empat generasi berdiri mengantarkan sang calu pulang.
Melihat gadis-gadis kecil, anak-anak tanggung dan nenek-nenek tua berdiri menjalankan kewajiban terarkhir untuk abo [kakek] mereka, aku tak dapat menahan airmataku.
Di luar orang-orang telah berdiri menanti, saat peti jenazah bergambar bintang itu perlahan dibawa keluar. Para pemuda pengusung peti pun seakan tak sabar lagi menjalankan tugas mengangkat peti yang disebut le ule. Di depan rumah peti jenazah dibawa berputar tujuh kali sebelum perjalanan dilanjutkan.[11] Setelah berputar tujuh kali di halaman, iringan-iringan mulai menuju liang lahat.
Namun perjalanan ini tidak seperti yang kita bayangkan tentang lazimnya sebuah iring-iringan menuju kuburan. Peti diayunkan-ayunkan ke atas, ke bawah, didorong ke depan dan ke belakang oleh orang-orang muda terpilih itu sambil menyanyikan syair penyemangat bersahut-sahutan. Itulah le ule, suatu tindakan sukacita yang menandakan masalah-masalah di dunia ini telah selesai dan sang jenazah bisa pulang dengan sukacita. Syair-syair yang dinyanyikan para pengusung peti itu antara lain meminta berkat, rejeki, jodoh, dan keturunan melalui orang yang meninggal.
Aku tak mengerti apa yang mereka katakan, tapi satu pasti adalah kebanggaan yang luar biasa terhadap kebudayaan mereka. Berbahagialah mereka yang tidak malu mengakui jati diri mereka, di masa dimana dunia seakan menjadi sebuah kampung kecil dan modernitas menjadi dewa.[12]
Peti terus beroleng bagai perahu diterpa gelombang, sebentar-sebentar didorong ke depan, sebentar-sebentar dibawa ke belakang. Semua orang mengiring peti sambil beringsut maju, kadang harus menunggu jika peti dilarikan jauh ke belakang. Anak cucu yang sejak tadi berbaris di depan pun harus menunggu. Di depan peti, dua pasang perempuan dan laki-laki nampak mengibas-ngibaskan sapu tangan ke arah peti. Mereka yang menjadi ‘penunjuk jalan’ haruslah berasal dari marga Chailoro dan Paca. Di belakang mereka, seorang laki-laki nampak memegang anyaman kecil (neru moko) berisi padi (ale fahuvari) sambil membuang perlahan-lahan butir-butir padi itu. Ia melakukan apa yang disebut mua fane-horo fane yaitu tindakan simbolik memberi makan kepada tanah.
Perjalanan yang hanya berjarak kira-kira 200 meter ke liang lahat ini memakan waktu hampir sejam. Matahari telah menampakkan wajahnya ketika peti jenazah merapat ke liang lahat. Perjalanan panjang dan melelahkan berakhir sudah, bagaikan perjanan hidup manusia.
Tiba saatnya peti diturunkan ke liang lahat. Tangisan para perempuan dan anak-anak yang sedari tadi menanti semakin terdengar mengiris perasaan. Para laki-laki sibuk menurunkan peti. Sebuah kain wool tebal dan sebuah tas ikut dimasukkan ke liang lahat. Barang milik kesayangan almarhum, biarlah pergi bersama kenangan akan beliau. Beberapa potong kain adat dibungkuskan pada peti sebelum campuran semen menutupi.
Matahari mulai menyengat ketika campuran semen dan tanah utuh menutup jasad lelaki kelahiran Pairara, tahun 1919 ini. Orang-orang sudah meninggalkan kuburan ketika anak cucu dan keluarga dekat menyalakan lilin dan menaburkan kembang di atas pusara kakek tercinta.
Selamat jalan chau hafa malai, selamat jalan sang ‘sang kepala yang berasal dari atas’, selamat jalan Horu Fatu[13] . Aku tak mengenal engkau secara pribadi. Namun, siapapun engkau, engkau pantas menerima penghormatan dan anak cucumu pantas mengangkat kepala mereka dan bersukaria, sepantas apa yang telah kau capai seumur hidupmu.
Semoga bintang timur menyambut kedatanganmu dan mengenali wajahmu; semoga para leluhur menyinari anak cucumu dengan kebahagiaan dan semangat hidup, sehangat anugrah Sang Kuasa kepada mereka yang menghormati para orang tua dan adat istiadat mereka. Seorang Nabi pernah berkata (Amsal 17.6) berkata “Mahkota orang-orang tua adalah anak cucu dan kehormatan anak-anak ialah nenek moyang mereka.”
Pairara, 13 Agustus 2005
Bidau Massaur, 17 Agustus 2005
[1] Bahasa Fataluku untuk seorang raja, yang dalam bahasa Tetun disebut Liurai. Cau Hafa malai secara harafiah berarti ‘tengkorak kepala yang berasal dari atas’ artinya sang kepala atau pemimpin yang berasal dari atas. Di Timor Leste terdapat ... bahasa.
[2] Sekumpulan kain adat (larin lau) yang adalah persembahan dari para Omara itu disebut vetur lau.
[3] Estrela adalah bintang penghargaan (Decoração) yang diberikan oleh pemerintah kolonial Portugis di Lisbon. Biasanya Lisbon memberikan penghargaan semacam ini kepada para Liurai di Timor Leste sebagai bagian dari strategy politik kolonial untuk mengendalikan para pemimpin lokal.
[4] Klan Chailoro adalah klan yang mendiami sebagian besar daerah paling timur pulau Timor.
[5] No Ipi adalah bintang Timur yang diyakini sebagai salah satu dari tujuh bersaudara dari Klan Chailoro. Enam diantara tujuh bersudara itu yang kemudian membentuk klan Chailoro. Karena unsur kesakralan, tak semua nama tujuh bersaudara itu bisa diketahui oleh semua warga klan, hanya anggota tertua dari warga klan yang biasanya merupakan kepala adat (cau hafa malai) yang mengetahuinya dan sebelum ia meninggal, ia akan menurunkan kepada orang yang ia pilih, yang biasanya adalah anggota klan yang tertua setelah dirinya. Dari ketujuh bersaudara itu, hanya bagian tengah yang umum disebut-sebut, yaitu Sakulolo dan Caipere. Yang lainnya tak boleh sama sekali disebutkan. Enam dari ketujuh bersaudara itu dapat diidentifikasi dari marga yang mereka turunkan yang menetap di enam wilayah yang terpisah di distrik Lautem, sedangkan saudara sulung mereka diyakini tetap berada di ‘langit’ yang bisa dilihat dalam wujud bintang pagi (No Ipi). Keenam marga itu adalah marga Chailoro yang menetap di daerah (1)Pairara, sebagai saudara yang paling sulung dan adik-adiknya di (2) Rasa, di daerah (3) Kokoko, di (4) Setiara, di (5) Kautu (sebuah wilayah di Lolos Pala yang sekarang disebut Lospalos kota) dan di daerah (6) Vauro. Penguburan pada saat munculnya bintang ini, mengandaikan bahwa para leluhur akan mengenal anak-cucu yang kembali kepada mereka.
Menurut cerita turun-temurun, orang Chailoro muncul begitu saja di sebuah lokasi bernama Heler di daerah Lospalos. Dalam bahasa syair Fataluku, bahasa yang digunakan klan Cailoro, nenek moyang mereka muncul pada sebuah masa dimana:
upa koro, ta’a koro (harafiah: itu basah, ini basah)
muaca vele on rei rei (harafiah: tanah masih bergoyang-goyang)
Dalam pengertian klan Chailoro sendiri, kalimat-kalimat itu berarti segalanya belum ada, belum ada tumbuh-tumbuhan yang ada hanya lumpur dan tanah yang masih basah.
Dilihat dari segi deskripsi, ini mungkin menunjuk kepada periode prasejarah tertentu. Di Asia tenggara, genre-genre tuturan adat seperti hikayat, babad, tambo, bini, berurusan dengan masa lalu. Tuturan-tuturan adat ini biasanya membentuk kekayaan persepsi tradisional tentang masa lalu yang dimiliki kelompok-kelompok yang berbeda di kepulauan ini. Genre-genre ini biasanya tidak membagi-bagi masa lalu ke dalam periode-periode waktu tertentu melainkan menekankan keberlanjutan dan perputaran alami dari event-event historis. Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai periodisasi pra-sejarah untuk kepulauan Nusantara bisa dilihat pada: http://arkeologi.net/prehistory.php
Karena menyakini muncul pertama kali di daerah Heler, anggota tertentu dari klan Chailoro sampai sekarang masih sering mengadakan ritual di daerah Heler meminta berkat dan anugrah. Sesaat sebelum jajak pendapat PBB pada tahun 1999 misalnya, banyak orang pergi ke sana untuk meminta perlidungan dan keselamatan. Cerita-cerita menyangkut asal-usul suatu masyarakat seperti ini adalah sangat eksistesial dalam suatu masyarakat, karena menyangkut keberadaan mereka. Dalam ilmu antropologi, cerita semacam ini disebut mitos asali (myth of origin). Kitab Kejadian orang Kristen dan Yahudi yang menceritakan Adam dan Hawa adalah salah satu dari myth of origin yang berkembang di daerah Timur Tengah tertutama daerah Babilonia yang sekarang kurang lebih ada di daerah Iran dan Irak. Cerita ini sebenarnya mempunyai banyak versi dan salah satu versinya adalah sebagaimana yang tercantum dalam Kitab pertama milik kaum Yahudi dan Kristen itu. Sayangnya kisah kejadian ini sering disalahtafsirkan, baik oleh orang kristen sendiri maupun para scientis positifistik yang tidak mengetahui asal-usul antroplogis dan genre kesusastraan dari kisah ini, sehingga lebih sering dianggap sebagai non-sense bagi ilmu pengetahuan modern. Ini adalah salah satu bentuk salah kaprah (kelirumologi) yang cukup skandalistik dalam sejarah ilmu pengetahuan.
[6] Anggota klan yang hadir adalah mereka yang hadir secara spontan dan mereka yang harus diundang terlebih dahulu. Pihak keluarga yang tak boleh hadir sebelum diundang disebut Lereno Moco. Lereno Moco terbagi dalam dua jenis: (1) Omara yiatu keluarga saudara laki-laki dari pihak ibu dari beberapa generasi sebelumnya, generasi yang sejajar dengan orang yang meninggal atau generasi dibawahnya; dan (2) Tupur Moko yaitu keluarga dari suadara-saudara perempuan yang telah menikah. Dalam upacara kematian di Pairara ini, Omara dan Tupur Moko yang diundang antara lain dari klan-klan: Latu Loho Ratu, Pair Ratu, Vacumura Ratu, Home Lata, Naza Ratu. Mereka biasanya datang membawa persembahan berupa kain-kain adat (larin lau), dan ternak seperti kambing, kerbau, sapi dan babi sesuai kemampuan. Pihak keluarga lain di luar pihak kedua rumpun keluarga ini, boleh datang segera setelah mendengar tentang kematian. Yang biasanya bertugas mengundang adalah para kaum paca dalam klan Chailoro. Kaum perempuan paca biasanya mengundang mereka yang dekat tempat tinggalnya, sedangkan kaum laki-laki mengundang yang jauh tempat tinggalnya.
[7] Orang Chailoro percaya bahwa tradisi membuat lilin sendiri ini telah berlansung jauh sebelum masuknya kebudayaan Eropa ke Timor Leste. Karena itu untuk membedakan dari kebiasaan menggunakan lilin pada saat upacara pemakaman yang merupakan pengaruh gereja Katholik, mereka meracik lilin sendiri untuk digunakan pada pemakaman.
[8] Klan Chailoro mengenal tiga strata sosial: Chailoro Ratu (marga tertua/kakak), Paca (marga adik) dan Akanu (marga budak yang umumnya merupakan mereka yang kalah perang, ditangkap dan dijadikan budak).
[9] Menurut penjelasan sejumlah tetua adat, mereka tertawa karena dalam tuturan tentang kehidupan almarhum, ada bagian yang lucu yang patut ditertawai misalnya mereka memohon jika ia kawin lagi ditempat tertentu, harap memberi tahu, atau jika dalam perjalanannya ia mendapat rejeki, harap dikirim ke anak cucu.
[10] Calu=kakek, Nora=nenek. Dalam bahasa Tetun, kakek disebut abo mane dan nenek disebut abo feto.
[11] Biasanya jenazah dibawa berputar mengelilingi rumah adat (Le Ziaval)sebanyak tujuh kali. Le Ziaval secara harafiah berarti ‘rumah berkaki’. Sayang sekali rumah tempat sang jenazah disemahyamkan bukanlah sebuah rumah adat dalam pengertian yang sebenarnya. Rumah-rumah adat Klan Chailoro yang mirip rumah Toraja, telah mengalami penghancuran massal selama dua kali yaitu pada saat awal invasi Indonesia di tahun 1975 dan setelah jajak Pendapat PBB tahun 1999. Untuk membangun sebuah rumah adat diperlukan ritual yang cukup rumit dan memakan biaya yang cukup besar, sehingga tak mudah untuk membangun kembali rumah-rumah adat yang dimusnahkan itu. Saat ini hanya tersisa sekitar 3-4 Le Ziaval di seluruh distrik Lautem antara lain di daerah Rasa, Titilari dan di tengah kota Lospalos.
[12] Saat artikel ini saya tulis, seorang teman yang sedang berlibur di Paris mengirimkan e-mail yang menceritakan kesannya tentang bagaimana kaku dan monotonnya kebudayaan Eropa klasik yang terepresentasi dalam arsitek menara Eiffel, apartmen Napoleon Bonaparte misalnya. Sementara aku di Pairara mengagumi manusia dan kebudayaan di kampung kecil ini. Paris dan Pairara memang bukan tandingan dalam ukuran kemajuan, tetapi siapa yang bisa menjustifikasi keluhuran budaya manusia.
[13] Nama tradisional almarhum. Horu Fatu adalah sebuah binatang bertanduk ratusan. Nama panggilan almarhum adalah Punu Lori.
Wednesday, July 20, 2005
Dili is not so far away...
Niat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberantas Korupsi ternyata belum menyentuh petugas-petugas Imigrasi korup di perbatasan Indonesia-Timor Leste.
“Di mana form yang hijau seperti ini?” tanya petugas Imigrasi Indonesia di perbatasan Mota Ain kepada saya.
“Saya tidak punya pak” jawab saya ragu-ragu kepada laki-laki muda yang di dadanya tertera papan nama Farid Apriandi. Dari nama dan logatnya jelas ia bukan orang lokal. Bukan juga orang Belu yang sering saya temui beberapa kali melewati tapal batas Mota Ain.
“Lho, bagaimana bisa tidak punya, pak yang ini saja punya?” katanya sambil menunjuk Arif Djati yang berdiri di depan saya.
“Mungkin saya tinggalkan di Dili pak, tapi seingat saya, saya tidak pernah menerima form sejenis itu”, jawab saya ragu-ragu sambil menambahkan “Memangnya ini biasanya didapatkan di m ana pak?”
Petugas itu dengan kalem dan sombongnya menyodorkan sebuah form, membalikannya dan menunjuk bagian belakang form itu sambil berkata:
“baca ini biar ngerti!”
Kalimat ini begitu menghina saya. Logika pelayanan publik macam apa yang memperbolehkan orang dibentak? Walau tak mengerti maksud petugas itu, saya membaca juga form itu.
Mata saya menelusuri kalimat-kalimat dalam form itu. Otak saya seakan sulit mencerna empat point yang tertera di bawah judul “PERHATIAN” karena pikiran saya lebih menerawang jauh ke balik pre-text dibalik tindakan administratif ini. Yang membuat saya mulai kuatir adalah kalimat yang berbunyi “Harap jangan dihilangkan bagian dari kartu ini dari paspor/surat perjalanan anda”.
Saya mulai bingung dan berdiri seperti tersangka di depan tiga orang petugas yang berpakian rapi itu. Sang petugas membiarkan saya berdiri di depannya sambil membuka-buka paspor saya. Teman-temannya yang lain diam seperti menunggu dan disamping mereka duduk dua orang yang tidak berseragam imigrasi. Salah seorang malahan duduk di atas jendela.
“Pernah tinggal di luar negeri ya?” tanya lagi.
“Iya pak”
“Berapa lama?”
“Dua tahunan pak”
“Anda kerja di mana di Dili?”
“CAVR pak”
Ia tak terus menanyakan apa itu CAVR, entah karena tahu, entah karena pertanyaan itu Cuma basa-basi semata. Saya terus berdiri menanti. Rasanya saya telah salah menjawab, seharusnya saja tidak perlu jujur mengaku bahwa saya bekerja di Dili. Pertanyaan seperti itu tentu bukan tanpa maksud. Tak lama kemudian dia berkata:
“Sepuluh dollar”
“Maksud bapak?”
“Bayar sepuluh dollar sebagai denda?” katanya dingin.
Saya menarik napas panjang. Pre-text dibalik tindakan sok tertib itu jelas sekarang. Ternyata ada udang di balik batu. Begitulah birokrasi: hal besar dikecil-kecilkan, hal kecil dibesar-besarkan. Kalaupun saya memang bersalah, logika mana yang membenarkan pembayaran sebesar itu? Berapa banyak orang yang sudah ia palak? Saya memperhatikan jam tangan keemasan yang melingkar di lengannya. Semoga itu bukan hasil sogok, guman saya dalam hati.
Niat SBY memberantas korupsi justru dipatahkan oleh kecoak-kecoak birokrasi macam ini. Jumlah mereka tentu jutaan bertaburan di seluruh bumi pertiwi. Bahkan mungkin banyak yang diekspor ke luar negeri, termasuk satu yang terdampar di perbatasan Indonesia dan Timor Leste ini. Ego saya terusik. Niat semula untuk memberi oleh-oleh $10 kepada dua orang keponakan kecil di Atambua bakalan berakhir di kantong petugas korup nan busuk ini. Mesti ada keberanian dan taktik!
Setelah mengatur napas sebentar, dengan tenang saya berkata kepadanya:
“Kalau begitu bapak tolong siapkan kwitansi”.
Mungkin merasa posisi tawarnya lebih kuat, dia pung menjawab tak kalah tenangnya: “tidak ada kwitansi..”.
Suasana saat itu saya rasakan bagai dua orang pemain catur sama-sama merasa posisinya kuat. Dia mungkin merasa kuat karena mengira saya tak punya pilihan. Senyumnya bagaikan pemain catur yang merasa telah mendesak bidak raja.
Tapi rupanya dia salah sasaran. Saya bukan orang yang rela dipermainkan cecunguk macam ini. Saya sadar benar peringatan katuas Max Weber[1] bahwa melawan birokrasi itu bak menabrak tembok, tapi saya juga ingat trik-trik anarco-sindikalis[2] melawan institusi yang namanya negara atau birokrasi itu.
“Kan tinggal ditulis tangan, ditanda tangani dan diberi cap imigrasi kan?” kata saya kepadanya.[3]
Dia nampaknya kewalahan, tak tahu harus menjawab apa, namun tetap memasang tampang arogan.
Teman-temannya mulai bereaksi. Mungkin karena merasa teman mereka terpojok, mereka mulai turun tangan. Salah seorang yang sedang berurusan dengan orang Philipina di sebelahnya ikut bertanya kepada saya:
“Tadi kamu bilang formnya dimana?”
“Mungkin ketinggalan di Dili pak”
“Kalau begitu kamu ambil sana ke Dili”, katanya sambil menunjuk ke luar.
Saya cuma bisa memandang mereka. Ini sungguh satu serangan telak buat saya. Saya tidak ingin menuruti keinginan mereka akan sogok, tetapi juga tidak ingin kalah dengan menunjukkan kemarahan saya. Saya diam saja. Sometimes the silence can be like thunder! kata Bob Dylan.[4]
Tapi rupanya katuas Weber ada benarnya juga. Siang di dalam ruang imigrasi di sebelah barat sungai Mota Ain itu terasa begitu panas. Saya dalam dilema besar sekarang. Haruskah saya menuruti kemauan petugas itu membayar $10 atau kembali ke Dili yang berjarak kurang lebih 100 km dari Mota Ain? Tidak! Walau uang di dompet saya cukup untuk membayar sepuluh koruptor macam itu, saya tidak akan membayar. Tapi kalau saya kembali ke Timor Leste apakah pihak imigrasi Timor Leste akan menerima saya? Apalagi dengan waktu visa yang tersisa empat hari. Jika saya ditolak kembali ke Timor Leste, kemana lagi saya harus pergi? Tidak mungkin saya tinggal di no man land. Jika saya bertahan di daerah tak bertuan, mungkin kasus saya akan heboh dan terbuka kemungkinan menjadi celebriti sesaat, tetapi mampukah saya bertahan di situ? Sangat mungkin saya hanya akan jadi tertawaan mereka, baik pihak Indonesia maupun Timor Leste. Mungkin mereka akan mengejek “Ke laut aje?[5]” Suatu hal yang tak mungkin saya lakukan mengingat jarak pantai Mota Ain dan pantai Kupang bukan jarak untuk sebuah jalan santai di tepi pantai.
Dengan lesu saya mengambil kembali paspor saya, membereskan tas saya dan melangkah keluar ruangan imigrasi itu. Pupus sudah harapan bertemu keponakan-keponakan kecil di Atambua, terbuang percuma waktu sehari, apalagi pekerjaan kantor menumpuk di Comarca Balide[6], Dili.
Saya menjelaskan duduk perkara kepada Arif yang menunggu di luar ruangan. Ia mengajurkan saya mengalah saja, namun saya menolak. Toleransi nol terhadap korupsi sekecil apapun yang coba saya pegang tidak akan saya korbankan. Arif terpaksa harus saya biarkan pergi sendiri ke Atambua, padahal kepergian saya sebenarnya untuk mengantar Arif.
Sambil memanggul ransel saya, saya kembali ke arah timur. Baliho besar bertuliskan “Selamat Datang di Indonesia/Welcome to Indonesia” yang berdiri kokoh di luar gedung imigrasi seakan mengejek. Gombal segombal pelayanan publik di Republik yang bernama Indonesia.
Hampir saja saya memutar langkah mendengar ajakan seorang pelintas batas yang lain untuk berkompromi dengan petugas imigrasi. Perempuan asal Makasar yang sekarang menetap di Aileu itu mengaku pernah membayar $5 untuk masalah serupa. Namun pengakuan itu justru membuktikan pungutan itu sebenarnya tak konsisten, tak beralasan, dan liar. Pengakuan itu justru memperkuat keputusan saya untuk tidak berkompromi.
Langkah saya lanjutkan. Masih dua pintu yang harus saya lalui sebelum masuk kembali ke Timor Leste: Bagian Karantina dan Pos TNI. Semoga tidak ada lagi tukang palak. Membiarkan saya kembali ke Dili saja sudah lumayan. Kemampuan acting saya keluarkan sepenuhnya. Efraim Janggu, petugas Karantina yang saya temui berkata: “Kami juga tidak bisa membantu pak, masing-masing instansi punya wewenang sendiri”. Satu lagi prinsip birokrasi menurut katuas Weber terbukti: sesama birokrat dilarang saling mendahului! Prinsip yang sebenarnya sudah dipraktekkan sejak jaman Romawi.[7]
Syukurlah pos tentara Indonesia juga bisa dilalui tanpa masalah. Setelah melapor ke pos tentara yang juga mengaku tak bisa berbuat apa-apa, saya melangkah ragu melewati tapal batas menuju daerah tak bertuan di bawah terik matahari Mota Ain. Tak sedikit pun saya menyesal akan keputusan yang saya ambil. Malah saya bangga bisa memegang teguh nilai yang saya punya. Siang ini bertambah lagi satu nama dalam deretan panjang daftar nama orang Indonesia yang ditolak kembali ke tanah airnya sendiri, hanya karena mencoba memegang prinsip yang mereka yakini. Persoalan saya mungkin tak seberapa berat: saya hanya tidak ingin berkompromi dengan korupsi sekecil apapun. Bagaimana lagi dengan mereka yang terusir karena ideologi politik yang mereka anut? Pantas saja, rezim silih berganti namun para exile tetap tak merasa nyaman pulang ke rumah sendiri.
Reaksi saya ini terkesan sombong mungkin, atau mungkin lebih tepat disebut keras kepala. Sambil berjalan saya teringat pak Hersri Setiawan[8], orang tua, mantan tahanan pulau Buru yang menceritakan kepada saya bagaimana ia berusaha memegang prinsipnya dalam tahanan dan siksa di pulau Buru.
Dalam sebuah makan malam pak Hersri menceritakan bagaimana ia tidak meminta ampun sedikitpun saat direndam dalam got di tengah malam buta oleh tentara penjaga tawanan. Kedua temannya yang lain berteriak-teriak minta ampun sepanjang siksaan itu. Di akhir siksaan, kedua temannya bisa langsung bangun dan bahkan berlari-lari. Rupanya teriak-teriak kedua teman itu membantu memperlancar sirkulasi darah sehingga menjaga kehangatan tubuh mereka. Tak demikian halnya dengan pak Hersri. Badannya kaku dan harus digotong keluar got. “Kalau teman-teman kemudian tidak menghangatkan tubuh saya mungkin saya mati saat itu. Seharusnya saya ikut berteriak, tetapi kesombongan saya membuat saya bungkam. Untuk apa minta ampun kepada orang bodoh?” kata pak Hersri. Kesombongan yang jujur diakui tapi justru membuat saya kagum.
Belum selesai lamunan saya, saya sudah berhadapan dengan para petugas imigrasi dan polisi-polisi dari Border Patrol Unit (BPU) Timor Leste yang sedang berdiri di pos mereka. Saya menceritakan masalah saya meminta kebijakan mereka. Semua apa yang terjadi di ruang imigrasi Indonesia saya ceritakan. Di luar dugaan, mereka jauh lebih membantu dan mengerti kondisi saya. Tanpa basi-basi kepala imigrasi meminta paspor saya. Dia mengatakan bisa saja pihaknya memberi perpanjangan visa tapi itu akan menimbulkan masalah di kemudian hari karena saya belum menyebrang ke Indonesia. Kemungkinan terbaik adalah membatalkan cap kepergian saya ke Timor Barat dan saya bisa mengurus perpanjangan visa saya di Dili.
Beberapa menit kemudian buku kecil berwarna hijau itu sudah dikotori cap CANCELED. Dan dengan sendirinya saya masih berhak tinggal empat hari di Timor Leste. Ancaman terdampar di no man land berlalu sudah. Rasa terima kasih yang tidak terkira saya sampaikan kepada para polisi dan petugas imigrasi itu.
Malahan gara-gara masalah ini saya jadi punya bahan bicara dengan polisi-polisi Timor Leste dan saling berkenalan. Pembicaraan pun mengalir dalam suasana informal, bahkan gelak tawa sekali-sekali memecah. Tentu saja tentang hal ikhwal mental petugas-petugas Indonesia. Kepentingan yang sama memang mudah menyatukan orang. Foto-foto bersama pung berlangsung. Sejumlah pelintas yang sedang menunggu pembukaan perbatasan nampak menyaksikan keasyikan kami.
Beberapa menit kemudian, petugas imigrasi Indonesia yang menyuruh saya pulang ke Dili, datang ke pos imigrasi Timor Leste. Saya menghampirinya. Perang melawan korupsi mungkin tak boleh setengah-setengah seperti perang melawan terorisme. Saya tambah berani, apalagi sudah tidak ada masalah dengan pihak imigrasi Timor Leste. Saat ia keluar dari ruangan imigrasi Timor Leste, saya menghampirinya. “Terima kasih pak sudah mengusir saya kembali ke Timor Leste”.
Ia nampak salah tingkah. Hampir tak berani memandang wajah saya. “Ya aturan memang sudah begitu, jadi begitulah” kilahnya. Dalam hitungan detik ia sudah kembali menaiki motornya bersama seorang petugas lain dari Timor Leste. Begitu motor yang ia tumpangi pergi, semua petugas imigrasi dan polisi Timor Leste yang mendengar percakapan kami, pecah dalam tawa.
Rasanya saya belum cukup memberi “pelajaran” kepadanya. Seharusnya saya menanggapi pernyataannya soal pemberlakuan aturan yang sama kepada semua orang. Benar bahwa aturan harus ditegakkan, tanpa pandang bulu, tapi ada prinsip lain juga yang tak boleh diabaikan: transparasi dan pembuktian. Ironisnya, ketika saya meminta kwitansi mereka mengusir saya kembali ke Timor Leste. Tapi khotbah moral macam itu mungkin tak akan mempan bagi koruptor yang tebal muka dan sudah kecanduan menghisap orang. Entah berapa Dollar atau Rupiah yang mereka bawa pulang untuk anak istri mereka setiap hari. Kasihan sekali orang-orang yang makan dari hasil curian seperti ini. Tapi lebih kasihan lagi orang-orang yang dipalak setiap hari oleh para petugas korup itu.
Sambil menunggu kendaraan yang mungkin melintas ke Dili, saya mampir sebentar ke kios kecil di sebrang sebuah jembatan kecil. Sebuah ide muncul di kepala saya: daripada $ 10 itu saya berikan kepada koruptor kotor kecil itu, sebaiknya saya berikan kepada orang-orang yang tidak memintanya namun mungkin membutuhkan. Saya membeli sepuluh bungkus rokok dan beberapa air mineral untuk para polisi dan petugas imigrasi itu.
“Ini bukan sogok, katakanlah ini ucapan terima kasih dari saya” kata saya kepada Emmanuel Misa, polisi yang menemani saya ke kios itu. Saat keluar dari kios itu, sebuah truk besar datang dari arah Indonesia. Emmanuel yang ayahnya berasal dari kota SoE, Indonesia itu menawarkan jasa meminta tumpangan supir truk itu. Sambil menitipkan rokok-rokok itu ke polisi itu saya terburu-buru menumpang truk barang itu beranjak ke Dili.
“Sampaikan salam saya kepada bapak-bapak itu, saya harus pergi sekarang” Saya melompat ke atas truk Nissan Diesel besar ber plat nomor DH 9933 CA milik CV Gunung Mas itu yang segera melaju meninggalkan Mota Ain. Pak Stanis sang sopir asal Kefamenanu bersedia memberi tumpangan.
Sepuluh tahun pengalaman pak Stanis mengemudikan mobil besar di medan terjal Timor membuat saya merasa aman duduk di depan truk yang sedang bermuatan 5 ton itu. Apalagi di bagian dalam pintu mobilnya terpampang stiker dengan tulisan: Tuhan, Lindungilah perjalananku ini. Di kaca depan menggantung mengayun sebuah rosario. Dia pasti seorang baik yang membanting tulang sedekar untuk bisa makan atau menghidupi keluarganya. Kasihan, kalau orang seperti ini juga dipalak oleh petugas imigrasi busuk itu.
Sepanjang jalan ke Dili, saya hanyut dalam lamunan. Pupus sudah harapan berbangga-bangga menjadi seorang kakak, gara-gara sepotong kertas. Mota Ain-Dili yang berjarak kurang lebih 100 km harus ditempuh lagi. Terbayang wajah petugas korup itu.
Walaupun tidak saya sesali, terasa sebagai sebuah keputusan yang bodoh juga untuk tidak menuruti keinginan petugas itu. Namun, di hati saya ada pembenaran: lebih baik uang itu saya berikan secara sukarela kepada orang lain daripada diberikan secara terpaksa kepada seorang koruptor kroco, yang mungkin akan jadi koruptor besar suatu saat. Sebuah pemberian sukarela terasa jauh lebih ringan daripada “upeti” yang dipaksakan walaupun nilainya nominalnya mungkin sama. Mungkin itulah sebab orang macam Liurai Dom Boventura[9] menolak tunduk kepada Portugis. Pajak jalan yang ada sejak jaman Romawi, tidak saja berlanjut di jalan Tol di ibukota Indonesia, tapi juga di udik Indonesia.
Sepanjang jalan, sekali-kali kami berpapasan orang-orang bersahaja. Saya sempat berpikir, jika saya yang sedikit tinggi bersekolah saja masih diperas oleh petugas begundal macam begitu, bagaimana lagi yang terjadi dengan orang-orang ini jika mereka berurusan dengan imigrasi. Saya melawan karena masih punya pilihan, bagaimana dengan mereka yang tak punya pilihan?
Birunya laut, putihnya ombak yang memecah pantai, putihnya pasir sepanjang perjalanan melintasi pantai-pantai tasi feto[10] tak juga membuat saya lupa akan tingkah menjijikan dari orang sebangsa dan setanah air saya itu. Tak heran Taufik Ismail pernah menulis puisi berjudul “Aku malu menjadi bangsa Indonesia”.[11]
Truk Nissan Diesel yang melayani kemewahan perjalanan saya ini masuk Dili menjelang sore. Pukul 4.25 waktu Dili saya mohon turun beberapa meter sebelum jembatan Comoro. Sebungkus Gudang Garam filter dan terimakasih kepada pak Stanis. Taxi menyambung perjalanan ke rumah makan Manado kegemaran saya, mengisi perut yang sejak siang tadi sudah melantunkan mars perjuangan.
Dili memang tidak terlalu jauh, untuk sebuah kemarahan yang beralasan. Semoga SBY tahu bahwa salah seorang rakyatnya rela bersusah-susah naik truk 100 km kembali ke Dili, hanya karena tidak rela dipalak oleh seorang petugas imigrasi korup.
Dili bukanlah Jerusalem dan Mota Ain bukanlah Emaus, namun semangat yang ada di dadaku mungkin mirip semangat yang ada di dada dua orang murid Yesus yang berjalan ke Emaus.[12] Ada kabar yang harus diberitakan. Kabar kebobrokan para petugas Indonesia. Dili is not too far away to tell a story of a corrupt officer.[13]
Bidau Massau, Dili, 7 July 2005
[1] Max Weber sering dipandang sebagai perintis studi tentang birokrasi, dengan sejumlah karya-karya klasiknya antara lain: The Protestantism and Spirit of Capitalism.
[2] Anarco-Sindicalism adalah prinsip yang percaya bahwa tanpa negara, orang-orang kebanyakan bisa menjalankan mekanisme-mekanisme untuk mengatur dirinya sendiri. Sayangnya, Anarkisme telah mendapat nama yang jelek oleh kebanyakan penguasa dan bahkan ahli ilmu sosial. Apalagi di Indonesia di mana anarkisme tidak hanya dilabel secara buruk tetapi juga diberi label secara salah: aksi-aksi kekerasan oleh publik dicap sebagai anarkis, sementara inisiatif-inisiatif positif dari masyarakat tidak dihitung sama sekali sebagai anarki. Kenyataannya, inisiatif-inisiatif mandiri tanpa bergantung kepada negara (state) sama sekali adalah pengertian sebenarnya dari anarkisme.
[3] Tindakan saya ini sama prinsipnya dengan salah satu trik jika anda ditahan secara sewenang-wenang (arbitrary detention) oleh polisi atau tentara, yaitu menanyakan nama, pangkat dan kesatuan si penangkap.
[4] Bob Dylan, penyanyi lagu-lagu folk keturunan Yahudi-Amerika yang banyak menyanyikan kritik-kritik sosial. Lahir dengan nama Bob Zimmerman, kemudian memakai nama Bob Dylan, karena begitu mengagumi penyair Dylan Thomas walau ia tak pernah mengakuinya. Sekarang menetap di Australia. Di Indonesia orang pernah menyamakan Iwan Fals dengannya, karena kemiripan thema lagu-lagu mereka dan gaya mereka yang lebih suka memakai gitar akustik daripada gitar listrik.
[5] Teringat sepenggal syair lagu rap yang berbunyi “cewek matre, cewek matre, ke laut aje...”
[6] Comarca Balide adalah penjara yang dibangun oleh pemerintah Portugis tahun 1963 di Dili, Timor Leste yang juga di gunakan selama jaman Indonesia sebagai pejara politik dan tempat penyiksaan. Sekarang digunakan Komisi Penerimaan, Rekonsiliasi dan Kebenaran (Comissaõ Acolhimento, Verdade e Reconciliacaõ, CAVR) sebagai kantor.
[7] Prinsip ‘dilarang saling mendahului’ ini terlihat misalnya dalam pengadilan Yesus. Raja Herodes dan Pontif Pilatus sebagai potret dualisme birokrasi di daerah Galilea dan Yudea saling tarik ulur dalam mengadili Yesus. Herodes adalah keturunan Raja-raja Yahudi yang memerintah dan berkuasa dalam relasi rindu-dendam dengan Pontif Pilatus, representatif tentara pendudukan Romawi di daerah kekuasaannya. Dari peristiwa penyaliban Yesus ini jugalah terkenal tindakan simbolik Pilatus mencuci tangan sebagai tanda tidak turut bersalah atas tertumpahnya darah Yesus. Dengan tindakan demikian, Pilatus ingin menunjukkan bahwa bukan dirinya yang membunuh Yesus melainkan orang-orang Yahudi sendiri. Dalam kenyataannya ia tahu Yesus benar dan lebih lagi, ia punya otoritas untuk membebaskan Yesus, namun ia menolak melakukan keputusan yang tak populer itu karena orang banyak menginginkan kematian Yesus. () Tindakan mencuci tangan ini sebenarnya suatu tindakan yang bersumber dari tradisi Perjanjian Lama dimana... Dari sinilah asal ungkapan ‘mencuci tangan’ untuk tindakan menolak bertanggungjawab.
[8] Hersri Setyawan, mantan Tahanan pulau Buru yang menulis beberapa buku antara lain : Saya Seorang Napol, Catatan Pulau Buru I & II.
[9] Liurai (raja) Dom Boaventura adalah liurai dari Manufani yang memimpin pemberontakan yang terbesar dalam sejarah Timor Leste, menentang ‘pajak kepala’ yang diterapkan oleh Portugis pada tahun 1908. Pemberontakan yang berawal pada tahun 1911 ini adalah kelanjutan dari pemberontakan yang dipimpin oleh ayahnya liurai Dom Duarte pada akhir abad-19 hingga gubernur Celestino da Silva menyerang kerajaan Same di tahun 1895 dan Dom Duarte dipaksa menyerah tahun 1900. Pemberontakan Dom Boaventura dipadamkan Portugis tahun 1912 dengan mengorganisir sekitar 12.000 tentara dari liurai-liurai lain dan mendatangkan pasukan Portugis dari Mozambique. Tidak kurang 25.000 orang mati dan Dom Boaventura ditangkap dan diasingkan di pulau Atauro hingga meninggal di sana.
[10] Tasi Feto secara literer berarti Laut Betina atau Laut Perempuan, adalah sebuatan orang Timor untuk laut di bagian utara pulau Timor. Sedangkan laut di bagian selatan di sebut Tasi Mane yang secara literer berarti Laut Jantan atau Laut Laki-laki. Kemungkinan besar inilah yang disebut dualisme dalam kosmology orang Timor dimana mikrokosmos maupun makrokosmos dipahami dalam dualisme, jantan dan betina.
[11] Puisi ini pernah dibacakan oleh Taufik Ismail dalam sebuah acara RCTI pada tahun 2000 ketika saya baru saja pulang dari Dili dalam rangka peliputan majalah Udik. Editorial untuk liputan ini kami beri judul yang sama dengan puisi Taufik Ismail. Pada tahun yang sama, liputan dari Dili itu masuk nominasi ISAI Award, sebuah award untuk media alternatif di Indonesia.
[12] Cerita tentang perjalanan dua orang murid Yesus dari Jerusalem ke Emmaus yang bertemu Yesus namun mereka tidak mengenalNya ( ). Cerita ini secara singkat mempunyai pesan bahwa pengungkapan kebenaran (terbukanya mata), menciptakan semangat yang luar biasa untuk memberitakan kabar kebenaran bahkan kadang mengabaikan jarak dan kemampuan fisik. Kedua murid itu murid itu sudah jauh-jauh berjalan dari Jerusalem ke Emmaus (km) namun ketika mereka kemudian mengetahui bahhwa orang yang mereka temui di tengah jalan adalah Yesus, mereka kembali lagi ke Jerusalem untuk memberitahukan kabar itu, walau hari sudah malam.
[13] Salah satu prinsip pemantauan HAM adalah prinsip yang disebut “organising the shame” (mengorganisir rasa malu) yang secara sederhana berarti mengungkapkan cerita pelanggaran HAM yang membuat para pelaku merasa malu dengan harapan tidak akan mengulanginya lagi. Tak heran salah satu musuh besar para pelaku pelanggaran HAM biasanya adalah wartawan. Persoalannya menjadi lebih rumit kalau pelaku tidak lagi mempunyai rasa malu.
Mota Ain mungkin terlalu udik dalam ukuran Jakarta, namun bagaimanapun kampung bersejarah itu adalah salah satu halaman depan negara yang seharusnya disapu bersih dari kotoran korupsi.
Berikut catatan penulis dari perjalanan tanggal 7 juli 2005 ke perbatasan Indonesia-Timor Leste.
“Di mana form yang hijau seperti ini?” tanya petugas Imigrasi Indonesia di perbatasan Mota Ain kepada saya.
“Saya tidak punya pak” jawab saya ragu-ragu kepada laki-laki muda yang di dadanya tertera papan nama Farid Apriandi. Dari nama dan logatnya jelas ia bukan orang lokal. Bukan juga orang Belu yang sering saya temui beberapa kali melewati tapal batas Mota Ain.
“Lho, bagaimana bisa tidak punya, pak yang ini saja punya?” katanya sambil menunjuk Arif Djati yang berdiri di depan saya.
“Mungkin saya tinggalkan di Dili pak, tapi seingat saya, saya tidak pernah menerima form sejenis itu”, jawab saya ragu-ragu sambil menambahkan “Memangnya ini biasanya didapatkan di m ana pak?”
Petugas itu dengan kalem dan sombongnya menyodorkan sebuah form, membalikannya dan menunjuk bagian belakang form itu sambil berkata:
“baca ini biar ngerti!”
Kalimat ini begitu menghina saya. Logika pelayanan publik macam apa yang memperbolehkan orang dibentak? Walau tak mengerti maksud petugas itu, saya membaca juga form itu.
Mata saya menelusuri kalimat-kalimat dalam form itu. Otak saya seakan sulit mencerna empat point yang tertera di bawah judul “PERHATIAN” karena pikiran saya lebih menerawang jauh ke balik pre-text dibalik tindakan administratif ini. Yang membuat saya mulai kuatir adalah kalimat yang berbunyi “Harap jangan dihilangkan bagian dari kartu ini dari paspor/surat perjalanan anda”.
Saya mulai bingung dan berdiri seperti tersangka di depan tiga orang petugas yang berpakian rapi itu. Sang petugas membiarkan saya berdiri di depannya sambil membuka-buka paspor saya. Teman-temannya yang lain diam seperti menunggu dan disamping mereka duduk dua orang yang tidak berseragam imigrasi. Salah seorang malahan duduk di atas jendela.
“Pernah tinggal di luar negeri ya?” tanya lagi.
“Iya pak”
“Berapa lama?”
“Dua tahunan pak”
“Anda kerja di mana di Dili?”
“CAVR pak”
Ia tak terus menanyakan apa itu CAVR, entah karena tahu, entah karena pertanyaan itu Cuma basa-basi semata. Saya terus berdiri menanti. Rasanya saya telah salah menjawab, seharusnya saja tidak perlu jujur mengaku bahwa saya bekerja di Dili. Pertanyaan seperti itu tentu bukan tanpa maksud. Tak lama kemudian dia berkata:
“Sepuluh dollar”
“Maksud bapak?”
“Bayar sepuluh dollar sebagai denda?” katanya dingin.
Saya menarik napas panjang. Pre-text dibalik tindakan sok tertib itu jelas sekarang. Ternyata ada udang di balik batu. Begitulah birokrasi: hal besar dikecil-kecilkan, hal kecil dibesar-besarkan. Kalaupun saya memang bersalah, logika mana yang membenarkan pembayaran sebesar itu? Berapa banyak orang yang sudah ia palak? Saya memperhatikan jam tangan keemasan yang melingkar di lengannya. Semoga itu bukan hasil sogok, guman saya dalam hati.
Niat SBY memberantas korupsi justru dipatahkan oleh kecoak-kecoak birokrasi macam ini. Jumlah mereka tentu jutaan bertaburan di seluruh bumi pertiwi. Bahkan mungkin banyak yang diekspor ke luar negeri, termasuk satu yang terdampar di perbatasan Indonesia dan Timor Leste ini. Ego saya terusik. Niat semula untuk memberi oleh-oleh $10 kepada dua orang keponakan kecil di Atambua bakalan berakhir di kantong petugas korup nan busuk ini. Mesti ada keberanian dan taktik!
Setelah mengatur napas sebentar, dengan tenang saya berkata kepadanya:
“Kalau begitu bapak tolong siapkan kwitansi”.
Mungkin merasa posisi tawarnya lebih kuat, dia pung menjawab tak kalah tenangnya: “tidak ada kwitansi..”.
Suasana saat itu saya rasakan bagai dua orang pemain catur sama-sama merasa posisinya kuat. Dia mungkin merasa kuat karena mengira saya tak punya pilihan. Senyumnya bagaikan pemain catur yang merasa telah mendesak bidak raja.
Tapi rupanya dia salah sasaran. Saya bukan orang yang rela dipermainkan cecunguk macam ini. Saya sadar benar peringatan katuas Max Weber[1] bahwa melawan birokrasi itu bak menabrak tembok, tapi saya juga ingat trik-trik anarco-sindikalis[2] melawan institusi yang namanya negara atau birokrasi itu.
“Kan tinggal ditulis tangan, ditanda tangani dan diberi cap imigrasi kan?” kata saya kepadanya.[3]
Dia nampaknya kewalahan, tak tahu harus menjawab apa, namun tetap memasang tampang arogan.
Teman-temannya mulai bereaksi. Mungkin karena merasa teman mereka terpojok, mereka mulai turun tangan. Salah seorang yang sedang berurusan dengan orang Philipina di sebelahnya ikut bertanya kepada saya:
“Tadi kamu bilang formnya dimana?”
“Mungkin ketinggalan di Dili pak”
“Kalau begitu kamu ambil sana ke Dili”, katanya sambil menunjuk ke luar.
Saya cuma bisa memandang mereka. Ini sungguh satu serangan telak buat saya. Saya tidak ingin menuruti keinginan mereka akan sogok, tetapi juga tidak ingin kalah dengan menunjukkan kemarahan saya. Saya diam saja. Sometimes the silence can be like thunder! kata Bob Dylan.[4]
Tapi rupanya katuas Weber ada benarnya juga. Siang di dalam ruang imigrasi di sebelah barat sungai Mota Ain itu terasa begitu panas. Saya dalam dilema besar sekarang. Haruskah saya menuruti kemauan petugas itu membayar $10 atau kembali ke Dili yang berjarak kurang lebih 100 km dari Mota Ain? Tidak! Walau uang di dompet saya cukup untuk membayar sepuluh koruptor macam itu, saya tidak akan membayar. Tapi kalau saya kembali ke Timor Leste apakah pihak imigrasi Timor Leste akan menerima saya? Apalagi dengan waktu visa yang tersisa empat hari. Jika saya ditolak kembali ke Timor Leste, kemana lagi saya harus pergi? Tidak mungkin saya tinggal di no man land. Jika saya bertahan di daerah tak bertuan, mungkin kasus saya akan heboh dan terbuka kemungkinan menjadi celebriti sesaat, tetapi mampukah saya bertahan di situ? Sangat mungkin saya hanya akan jadi tertawaan mereka, baik pihak Indonesia maupun Timor Leste. Mungkin mereka akan mengejek “Ke laut aje?[5]” Suatu hal yang tak mungkin saya lakukan mengingat jarak pantai Mota Ain dan pantai Kupang bukan jarak untuk sebuah jalan santai di tepi pantai.
Dengan lesu saya mengambil kembali paspor saya, membereskan tas saya dan melangkah keluar ruangan imigrasi itu. Pupus sudah harapan bertemu keponakan-keponakan kecil di Atambua, terbuang percuma waktu sehari, apalagi pekerjaan kantor menumpuk di Comarca Balide[6], Dili.
Saya menjelaskan duduk perkara kepada Arif yang menunggu di luar ruangan. Ia mengajurkan saya mengalah saja, namun saya menolak. Toleransi nol terhadap korupsi sekecil apapun yang coba saya pegang tidak akan saya korbankan. Arif terpaksa harus saya biarkan pergi sendiri ke Atambua, padahal kepergian saya sebenarnya untuk mengantar Arif.
Sambil memanggul ransel saya, saya kembali ke arah timur. Baliho besar bertuliskan “Selamat Datang di Indonesia/Welcome to Indonesia” yang berdiri kokoh di luar gedung imigrasi seakan mengejek. Gombal segombal pelayanan publik di Republik yang bernama Indonesia.
Hampir saja saya memutar langkah mendengar ajakan seorang pelintas batas yang lain untuk berkompromi dengan petugas imigrasi. Perempuan asal Makasar yang sekarang menetap di Aileu itu mengaku pernah membayar $5 untuk masalah serupa. Namun pengakuan itu justru membuktikan pungutan itu sebenarnya tak konsisten, tak beralasan, dan liar. Pengakuan itu justru memperkuat keputusan saya untuk tidak berkompromi.
Langkah saya lanjutkan. Masih dua pintu yang harus saya lalui sebelum masuk kembali ke Timor Leste: Bagian Karantina dan Pos TNI. Semoga tidak ada lagi tukang palak. Membiarkan saya kembali ke Dili saja sudah lumayan. Kemampuan acting saya keluarkan sepenuhnya. Efraim Janggu, petugas Karantina yang saya temui berkata: “Kami juga tidak bisa membantu pak, masing-masing instansi punya wewenang sendiri”. Satu lagi prinsip birokrasi menurut katuas Weber terbukti: sesama birokrat dilarang saling mendahului! Prinsip yang sebenarnya sudah dipraktekkan sejak jaman Romawi.[7]
Syukurlah pos tentara Indonesia juga bisa dilalui tanpa masalah. Setelah melapor ke pos tentara yang juga mengaku tak bisa berbuat apa-apa, saya melangkah ragu melewati tapal batas menuju daerah tak bertuan di bawah terik matahari Mota Ain. Tak sedikit pun saya menyesal akan keputusan yang saya ambil. Malah saya bangga bisa memegang teguh nilai yang saya punya. Siang ini bertambah lagi satu nama dalam deretan panjang daftar nama orang Indonesia yang ditolak kembali ke tanah airnya sendiri, hanya karena mencoba memegang prinsip yang mereka yakini. Persoalan saya mungkin tak seberapa berat: saya hanya tidak ingin berkompromi dengan korupsi sekecil apapun. Bagaimana lagi dengan mereka yang terusir karena ideologi politik yang mereka anut? Pantas saja, rezim silih berganti namun para exile tetap tak merasa nyaman pulang ke rumah sendiri.
Reaksi saya ini terkesan sombong mungkin, atau mungkin lebih tepat disebut keras kepala. Sambil berjalan saya teringat pak Hersri Setiawan[8], orang tua, mantan tahanan pulau Buru yang menceritakan kepada saya bagaimana ia berusaha memegang prinsipnya dalam tahanan dan siksa di pulau Buru.
Dalam sebuah makan malam pak Hersri menceritakan bagaimana ia tidak meminta ampun sedikitpun saat direndam dalam got di tengah malam buta oleh tentara penjaga tawanan. Kedua temannya yang lain berteriak-teriak minta ampun sepanjang siksaan itu. Di akhir siksaan, kedua temannya bisa langsung bangun dan bahkan berlari-lari. Rupanya teriak-teriak kedua teman itu membantu memperlancar sirkulasi darah sehingga menjaga kehangatan tubuh mereka. Tak demikian halnya dengan pak Hersri. Badannya kaku dan harus digotong keluar got. “Kalau teman-teman kemudian tidak menghangatkan tubuh saya mungkin saya mati saat itu. Seharusnya saya ikut berteriak, tetapi kesombongan saya membuat saya bungkam. Untuk apa minta ampun kepada orang bodoh?” kata pak Hersri. Kesombongan yang jujur diakui tapi justru membuat saya kagum.
Belum selesai lamunan saya, saya sudah berhadapan dengan para petugas imigrasi dan polisi-polisi dari Border Patrol Unit (BPU) Timor Leste yang sedang berdiri di pos mereka. Saya menceritakan masalah saya meminta kebijakan mereka. Semua apa yang terjadi di ruang imigrasi Indonesia saya ceritakan. Di luar dugaan, mereka jauh lebih membantu dan mengerti kondisi saya. Tanpa basi-basi kepala imigrasi meminta paspor saya. Dia mengatakan bisa saja pihaknya memberi perpanjangan visa tapi itu akan menimbulkan masalah di kemudian hari karena saya belum menyebrang ke Indonesia. Kemungkinan terbaik adalah membatalkan cap kepergian saya ke Timor Barat dan saya bisa mengurus perpanjangan visa saya di Dili.
Beberapa menit kemudian buku kecil berwarna hijau itu sudah dikotori cap CANCELED. Dan dengan sendirinya saya masih berhak tinggal empat hari di Timor Leste. Ancaman terdampar di no man land berlalu sudah. Rasa terima kasih yang tidak terkira saya sampaikan kepada para polisi dan petugas imigrasi itu.
Malahan gara-gara masalah ini saya jadi punya bahan bicara dengan polisi-polisi Timor Leste dan saling berkenalan. Pembicaraan pun mengalir dalam suasana informal, bahkan gelak tawa sekali-sekali memecah. Tentu saja tentang hal ikhwal mental petugas-petugas Indonesia. Kepentingan yang sama memang mudah menyatukan orang. Foto-foto bersama pung berlangsung. Sejumlah pelintas yang sedang menunggu pembukaan perbatasan nampak menyaksikan keasyikan kami.
Beberapa menit kemudian, petugas imigrasi Indonesia yang menyuruh saya pulang ke Dili, datang ke pos imigrasi Timor Leste. Saya menghampirinya. Perang melawan korupsi mungkin tak boleh setengah-setengah seperti perang melawan terorisme. Saya tambah berani, apalagi sudah tidak ada masalah dengan pihak imigrasi Timor Leste. Saat ia keluar dari ruangan imigrasi Timor Leste, saya menghampirinya. “Terima kasih pak sudah mengusir saya kembali ke Timor Leste”.
Ia nampak salah tingkah. Hampir tak berani memandang wajah saya. “Ya aturan memang sudah begitu, jadi begitulah” kilahnya. Dalam hitungan detik ia sudah kembali menaiki motornya bersama seorang petugas lain dari Timor Leste. Begitu motor yang ia tumpangi pergi, semua petugas imigrasi dan polisi Timor Leste yang mendengar percakapan kami, pecah dalam tawa.
Rasanya saya belum cukup memberi “pelajaran” kepadanya. Seharusnya saya menanggapi pernyataannya soal pemberlakuan aturan yang sama kepada semua orang. Benar bahwa aturan harus ditegakkan, tanpa pandang bulu, tapi ada prinsip lain juga yang tak boleh diabaikan: transparasi dan pembuktian. Ironisnya, ketika saya meminta kwitansi mereka mengusir saya kembali ke Timor Leste. Tapi khotbah moral macam itu mungkin tak akan mempan bagi koruptor yang tebal muka dan sudah kecanduan menghisap orang. Entah berapa Dollar atau Rupiah yang mereka bawa pulang untuk anak istri mereka setiap hari. Kasihan sekali orang-orang yang makan dari hasil curian seperti ini. Tapi lebih kasihan lagi orang-orang yang dipalak setiap hari oleh para petugas korup itu.
Sambil menunggu kendaraan yang mungkin melintas ke Dili, saya mampir sebentar ke kios kecil di sebrang sebuah jembatan kecil. Sebuah ide muncul di kepala saya: daripada $ 10 itu saya berikan kepada koruptor kotor kecil itu, sebaiknya saya berikan kepada orang-orang yang tidak memintanya namun mungkin membutuhkan. Saya membeli sepuluh bungkus rokok dan beberapa air mineral untuk para polisi dan petugas imigrasi itu.
“Ini bukan sogok, katakanlah ini ucapan terima kasih dari saya” kata saya kepada Emmanuel Misa, polisi yang menemani saya ke kios itu. Saat keluar dari kios itu, sebuah truk besar datang dari arah Indonesia. Emmanuel yang ayahnya berasal dari kota SoE, Indonesia itu menawarkan jasa meminta tumpangan supir truk itu. Sambil menitipkan rokok-rokok itu ke polisi itu saya terburu-buru menumpang truk barang itu beranjak ke Dili.
“Sampaikan salam saya kepada bapak-bapak itu, saya harus pergi sekarang” Saya melompat ke atas truk Nissan Diesel besar ber plat nomor DH 9933 CA milik CV Gunung Mas itu yang segera melaju meninggalkan Mota Ain. Pak Stanis sang sopir asal Kefamenanu bersedia memberi tumpangan.
Sepuluh tahun pengalaman pak Stanis mengemudikan mobil besar di medan terjal Timor membuat saya merasa aman duduk di depan truk yang sedang bermuatan 5 ton itu. Apalagi di bagian dalam pintu mobilnya terpampang stiker dengan tulisan: Tuhan, Lindungilah perjalananku ini. Di kaca depan menggantung mengayun sebuah rosario. Dia pasti seorang baik yang membanting tulang sedekar untuk bisa makan atau menghidupi keluarganya. Kasihan, kalau orang seperti ini juga dipalak oleh petugas imigrasi busuk itu.
Sepanjang jalan ke Dili, saya hanyut dalam lamunan. Pupus sudah harapan berbangga-bangga menjadi seorang kakak, gara-gara sepotong kertas. Mota Ain-Dili yang berjarak kurang lebih 100 km harus ditempuh lagi. Terbayang wajah petugas korup itu.
Walaupun tidak saya sesali, terasa sebagai sebuah keputusan yang bodoh juga untuk tidak menuruti keinginan petugas itu. Namun, di hati saya ada pembenaran: lebih baik uang itu saya berikan secara sukarela kepada orang lain daripada diberikan secara terpaksa kepada seorang koruptor kroco, yang mungkin akan jadi koruptor besar suatu saat. Sebuah pemberian sukarela terasa jauh lebih ringan daripada “upeti” yang dipaksakan walaupun nilainya nominalnya mungkin sama. Mungkin itulah sebab orang macam Liurai Dom Boventura[9] menolak tunduk kepada Portugis. Pajak jalan yang ada sejak jaman Romawi, tidak saja berlanjut di jalan Tol di ibukota Indonesia, tapi juga di udik Indonesia.
Sepanjang jalan, sekali-kali kami berpapasan orang-orang bersahaja. Saya sempat berpikir, jika saya yang sedikit tinggi bersekolah saja masih diperas oleh petugas begundal macam begitu, bagaimana lagi yang terjadi dengan orang-orang ini jika mereka berurusan dengan imigrasi. Saya melawan karena masih punya pilihan, bagaimana dengan mereka yang tak punya pilihan?
Birunya laut, putihnya ombak yang memecah pantai, putihnya pasir sepanjang perjalanan melintasi pantai-pantai tasi feto[10] tak juga membuat saya lupa akan tingkah menjijikan dari orang sebangsa dan setanah air saya itu. Tak heran Taufik Ismail pernah menulis puisi berjudul “Aku malu menjadi bangsa Indonesia”.[11]
Truk Nissan Diesel yang melayani kemewahan perjalanan saya ini masuk Dili menjelang sore. Pukul 4.25 waktu Dili saya mohon turun beberapa meter sebelum jembatan Comoro. Sebungkus Gudang Garam filter dan terimakasih kepada pak Stanis. Taxi menyambung perjalanan ke rumah makan Manado kegemaran saya, mengisi perut yang sejak siang tadi sudah melantunkan mars perjuangan.
Dili memang tidak terlalu jauh, untuk sebuah kemarahan yang beralasan. Semoga SBY tahu bahwa salah seorang rakyatnya rela bersusah-susah naik truk 100 km kembali ke Dili, hanya karena tidak rela dipalak oleh seorang petugas imigrasi korup.
Dili bukanlah Jerusalem dan Mota Ain bukanlah Emaus, namun semangat yang ada di dadaku mungkin mirip semangat yang ada di dada dua orang murid Yesus yang berjalan ke Emaus.[12] Ada kabar yang harus diberitakan. Kabar kebobrokan para petugas Indonesia. Dili is not too far away to tell a story of a corrupt officer.[13]
Bidau Massau, Dili, 7 July 2005
[1] Max Weber sering dipandang sebagai perintis studi tentang birokrasi, dengan sejumlah karya-karya klasiknya antara lain: The Protestantism and Spirit of Capitalism.
[2] Anarco-Sindicalism adalah prinsip yang percaya bahwa tanpa negara, orang-orang kebanyakan bisa menjalankan mekanisme-mekanisme untuk mengatur dirinya sendiri. Sayangnya, Anarkisme telah mendapat nama yang jelek oleh kebanyakan penguasa dan bahkan ahli ilmu sosial. Apalagi di Indonesia di mana anarkisme tidak hanya dilabel secara buruk tetapi juga diberi label secara salah: aksi-aksi kekerasan oleh publik dicap sebagai anarkis, sementara inisiatif-inisiatif positif dari masyarakat tidak dihitung sama sekali sebagai anarki. Kenyataannya, inisiatif-inisiatif mandiri tanpa bergantung kepada negara (state) sama sekali adalah pengertian sebenarnya dari anarkisme.
[3] Tindakan saya ini sama prinsipnya dengan salah satu trik jika anda ditahan secara sewenang-wenang (arbitrary detention) oleh polisi atau tentara, yaitu menanyakan nama, pangkat dan kesatuan si penangkap.
[4] Bob Dylan, penyanyi lagu-lagu folk keturunan Yahudi-Amerika yang banyak menyanyikan kritik-kritik sosial. Lahir dengan nama Bob Zimmerman, kemudian memakai nama Bob Dylan, karena begitu mengagumi penyair Dylan Thomas walau ia tak pernah mengakuinya. Sekarang menetap di Australia. Di Indonesia orang pernah menyamakan Iwan Fals dengannya, karena kemiripan thema lagu-lagu mereka dan gaya mereka yang lebih suka memakai gitar akustik daripada gitar listrik.
[5] Teringat sepenggal syair lagu rap yang berbunyi “cewek matre, cewek matre, ke laut aje...”
[6] Comarca Balide adalah penjara yang dibangun oleh pemerintah Portugis tahun 1963 di Dili, Timor Leste yang juga di gunakan selama jaman Indonesia sebagai pejara politik dan tempat penyiksaan. Sekarang digunakan Komisi Penerimaan, Rekonsiliasi dan Kebenaran (Comissaõ Acolhimento, Verdade e Reconciliacaõ, CAVR) sebagai kantor.
[7] Prinsip ‘dilarang saling mendahului’ ini terlihat misalnya dalam pengadilan Yesus. Raja Herodes dan Pontif Pilatus sebagai potret dualisme birokrasi di daerah Galilea dan Yudea saling tarik ulur dalam mengadili Yesus. Herodes adalah keturunan Raja-raja Yahudi yang memerintah dan berkuasa dalam relasi rindu-dendam dengan Pontif Pilatus, representatif tentara pendudukan Romawi di daerah kekuasaannya. Dari peristiwa penyaliban Yesus ini jugalah terkenal tindakan simbolik Pilatus mencuci tangan sebagai tanda tidak turut bersalah atas tertumpahnya darah Yesus. Dengan tindakan demikian, Pilatus ingin menunjukkan bahwa bukan dirinya yang membunuh Yesus melainkan orang-orang Yahudi sendiri. Dalam kenyataannya ia tahu Yesus benar dan lebih lagi, ia punya otoritas untuk membebaskan Yesus, namun ia menolak melakukan keputusan yang tak populer itu karena orang banyak menginginkan kematian Yesus. () Tindakan mencuci tangan ini sebenarnya suatu tindakan yang bersumber dari tradisi Perjanjian Lama dimana... Dari sinilah asal ungkapan ‘mencuci tangan’ untuk tindakan menolak bertanggungjawab.
[8] Hersri Setyawan, mantan Tahanan pulau Buru yang menulis beberapa buku antara lain : Saya Seorang Napol, Catatan Pulau Buru I & II.
[9] Liurai (raja) Dom Boaventura adalah liurai dari Manufani yang memimpin pemberontakan yang terbesar dalam sejarah Timor Leste, menentang ‘pajak kepala’ yang diterapkan oleh Portugis pada tahun 1908. Pemberontakan yang berawal pada tahun 1911 ini adalah kelanjutan dari pemberontakan yang dipimpin oleh ayahnya liurai Dom Duarte pada akhir abad-19 hingga gubernur Celestino da Silva menyerang kerajaan Same di tahun 1895 dan Dom Duarte dipaksa menyerah tahun 1900. Pemberontakan Dom Boaventura dipadamkan Portugis tahun 1912 dengan mengorganisir sekitar 12.000 tentara dari liurai-liurai lain dan mendatangkan pasukan Portugis dari Mozambique. Tidak kurang 25.000 orang mati dan Dom Boaventura ditangkap dan diasingkan di pulau Atauro hingga meninggal di sana.
[10] Tasi Feto secara literer berarti Laut Betina atau Laut Perempuan, adalah sebuatan orang Timor untuk laut di bagian utara pulau Timor. Sedangkan laut di bagian selatan di sebut Tasi Mane yang secara literer berarti Laut Jantan atau Laut Laki-laki. Kemungkinan besar inilah yang disebut dualisme dalam kosmology orang Timor dimana mikrokosmos maupun makrokosmos dipahami dalam dualisme, jantan dan betina.
[11] Puisi ini pernah dibacakan oleh Taufik Ismail dalam sebuah acara RCTI pada tahun 2000 ketika saya baru saja pulang dari Dili dalam rangka peliputan majalah Udik. Editorial untuk liputan ini kami beri judul yang sama dengan puisi Taufik Ismail. Pada tahun yang sama, liputan dari Dili itu masuk nominasi ISAI Award, sebuah award untuk media alternatif di Indonesia.
[12] Cerita tentang perjalanan dua orang murid Yesus dari Jerusalem ke Emmaus yang bertemu Yesus namun mereka tidak mengenalNya ( ). Cerita ini secara singkat mempunyai pesan bahwa pengungkapan kebenaran (terbukanya mata), menciptakan semangat yang luar biasa untuk memberitakan kabar kebenaran bahkan kadang mengabaikan jarak dan kemampuan fisik. Kedua murid itu murid itu sudah jauh-jauh berjalan dari Jerusalem ke Emmaus (km) namun ketika mereka kemudian mengetahui bahhwa orang yang mereka temui di tengah jalan adalah Yesus, mereka kembali lagi ke Jerusalem untuk memberitahukan kabar itu, walau hari sudah malam.
[13] Salah satu prinsip pemantauan HAM adalah prinsip yang disebut “organising the shame” (mengorganisir rasa malu) yang secara sederhana berarti mengungkapkan cerita pelanggaran HAM yang membuat para pelaku merasa malu dengan harapan tidak akan mengulanginya lagi. Tak heran salah satu musuh besar para pelaku pelanggaran HAM biasanya adalah wartawan. Persoalannya menjadi lebih rumit kalau pelaku tidak lagi mempunyai rasa malu.
In the Shadow of Mount Ramelau Part II [1]
Dari puncak Ramelau. [Matheos Messakh] |
Jalan berbatu menyisir lereng bukit itu sekali diselingi lambaian dan teriakan anak-anak kampung: Malae, Malae! Bondia! Pemandangan yang akrab buat anda jika masuk pedalaman Timor Leste.
Seorang teman Indonesia yang sudah beberapa kali mengunjungi tempat ini mengeluh soal kebiasaan para malae kulit putih[2] yang biasa memberikan kue-kue atau minuman kepada anak itu yang akhirnya menciptakan kebiasaan minta-minta di kalangan anak-anak kampung.
Tak heran jika, anda tidak hanya mendengar bondia (selamat pagi), boatardi (selamat siang/sore) atau boanoiti (selamat malam) tapi juga teriakan seperti: Aqua!, dosi!, dosi! pertanda mereka meminta kue-kue dan air mineral yang mungkin tersisa dari picnic atau tour of duty para malae.
Di sebuah persimpangan kami tak mampu menolak permintaan sejumlah perempuan dan anak-anak yang meminta tumpangan ke kampung mereka yang akan kami lewati. Mobil yang kami pakai adalah mobil “dinas” sebuah NGO internasional di Dili. Walaupun dipakai berdasarkan persetujuan resmi, aturan kantor tersebut tidak membolehkan kami memuat tumpangan di tengah jalan.
Apa boleh buat, aturan punya latar belakang sendiri yang sering tidak sesuai dengan kenyataan dan rasa hati. Wajah mereka menyiratkan kesenangan yang tak terkira ketika kami sepakat memuat mereka.
Di tengah jalan tak hentinya kami menerima bondia sebagai ucapan selamat datang dari orang tua maupun anak-anak yang berpapasan dengan kami. Lambaian tangan dari kebun atau quintal[3] juga kerap kami balas malas-malas.
Sempat terlintas dalam pikiran saya pertanyaan: “mengapa orang-orang bersahaja dan lugu ini tak pernah pupus semangat perlawanan mereka baik lewat gerilya maupun klandestina?” Mereka tak jauh berbeda dari saudara-saudara mereka di Timor barat misalnya. Bahkan sampai detik ini klaim-klaim untuk membenarkan invasi dan aneksasi Indonesia terhadap Timor Leste mencari pembenarannya dalam koneksitas etnik, kedekatan geografis dan aliasi-aliansi politik tradisional. Jawaban terhadap pertanyaan saya tak mungkin tunggal.
Banyak variabel pengaruh yang mungkin bercampur aduk, yang membangkitkan semangat perlawanan pada suatu bangsa. Namun muncul di kepala saya Amsal yang berbunyi: “susu ditekan maka keluarlah lemak, hidung ditekan maka keluarlah darah”.
Mungkin itulah suatu alasan sederhana yang melahirkan semboyan independente ou morte (merdeka atau mati). Bahkan di antara orang-orang yang kita pandang sangat bersajaha sekalipun. Karena mereka juga bisa merasa sakit jika ditindas.
Lamunan saya buyar ketika kami mulai memasuki sebuah kampung yang sedikit lebih ramai dari satu dua rumah yang kami lewati. Itulah Hatubulico, ibukota sub-distrik Hatubulico di kaki gunung Ramelau.
Senja turun ketika kami tiba di Hatubuilico. Reruntuhan sisa-sisa gedung peninggalan Indonesia masih menampakan wajahnya di sana sini, termasuk tembok sebuah gedung plus papan nama yang bertuliskan ‘Kantor Kecamatan Hatubulico’ yang masih berdiri kokoh.
Kami langsung ke pousada[4] Namerau, sebuah penginapan di tengah kampung. Pemiliknya adalah seorang pengusaha di Dili, yang mengunjungi pousada itu sekali seminggu.
Konon menurut pemiliknya Namerau adalah nama gunung Ramelau dalam bahasa Mambai, bahasa daerah setempat. Untung masih tersedia dua kamar untuk enam orang tim kami. “Biasanya week-end seperti ini selalu penuh” ungkap sang pemilik yang membungkus badannya dengan kain panas wool. 18,5 US Dollar adalah tarif untuk kamar inklusif makan malam, jasa penunjuk jalan ke puncak Ramelau dan sarapan pagi.
Makan malam kami habiskan bersama sejumlah malae muti di sebuah meja panjang mirip the last supper. Beef, ayam goreng plus nasi putih dan salad khas Timor kami santap dengan cepat. Dinginnya malam tak mengurangi hasrat satu dua orang untuk berkenalan di meja makan mengurangi kakunya suasana. Bayangkanlah sendiri bagaimana jadinya jika Chinese, Irish, Dutch, Javanese bertemu di meja makan.
Setelah mengaso sebentar, kasur-kasur pun siap kami tiduri, dan kain-kain panas wool berlapis siap memeluk kami. Jam tiga dini hari kami sudah harus bangun, begitulah kesepakatan dengan sang penunjuk jalan kami. Jam tiga kami pilih sebagai waktu keberangkatan karena perjalanan biasanya memakan waktu selama-lamanya 3 jam. Perkiraan kami, sebelum matahari terbit kami sudah tiba di puncak.
Lima belas menit menjelang pukul 3 dini hari, kamar kami digedor penunjuk jalan. Waktunya berangkat. Selain makanan ringan dan air mineral, tak ada yang boleh dibawa. Satu liter air adalah bawaan yang mungkin terlalu berat untuk pendakian selama dua atau tiga jam.
Perjalanan dari pousada ke kaki gunung masih bisa dilakukan dengan mobil. Mobil putih bertuliskan UN merangkak di pagi buta seakan malas beranjak. Di beberapa pendakian terjal keenam penumpang yang lain harus turun membiarkan Kylie sang sopir menapaki jalan terjal dan berliku sendirian.
Victoria, seorang teman Irlandia, entah bercanda entah serius, sempat menorehkan tanda salib dipundak dan dahi ketika mobil tak mau mendaki di sebuah tikungan terjal. “Just in case” katanya kepada Utari di sebelahnya yang kebetulan menoleh. Keduanya pecah dalam gelak tawa.
Setelah beberapa kali berhenti, sampailah kami di sebuah lapangan luas yang cukup layak disebut base camp. Ternyata sudah ada beberapa mobil di sana. Hatipun sedikit terhibur, setidaknya kami tidak sendiri yang berniat ke puncak di malam buta.
Setelah mobil diparkir, semua penumpang berlompatan bagaikan pasukan gerak cepat. Tak sabar menunggu komando.
Pendakian pun dimulai. Namun, belumlah 500-an meter beranjak, nafas sebagian teman terdengar memburu. “Wah kurang pemanasan nih” canda seorang teman. Canda itu ternyata benar. Utari pusing dan berhenti. Yang lain ikut berhenti. “Hold on for a while, the first step is always worse” kata seorang teman mencoba menyemangati.
Setelah berhenti beberapa menit, Utari mencoba lagi namun sangat berat baginya untuk meneruskan. Ia bertambah pusing dan berkeringat dingin. Napasnya memburu. Keputusan harus segera diambil. Sebagai satu-satunya laki-laki dalam tim, saya memutuskan memapah Utari pulang ke mobil. Anggota tim yang lain meneruskan perjalanan. Pesan saya kepada mereka: Tinggalkan jejak di tengah jalan bila perlu. Setelah memastikan Utari aman dalam mobil, saya kembali mengejar anggota tim yang lain.
Sebenarnya menolong Utari membawa keuntungan tersendiri bagi saya. Saya punya sedikit kesempatan untuk “mencuri” napas. Napas saya sendiri juga tidak jauh lebih baik dari dia.
Di tempat dia berhenti sebelumnya, saya mulai terengah-engah. Mungkin karena sedikit mempercepat langkah, saya lalai mengatur pernapasan. Beberapa kali saya harus berhenti, mengatur pernapasan bahkan tidur terlentang di mana saja saya rasakan aman untuk melemparkan tubuh.
Saya mulai ragu saya bisa menyelesaikan pendakian ini. Pengalaman pendakian-pendakian sebelumnya membuktikan bahwa semakin ke puncak semakin terjal. Kekuatiran akan kemungkinan tersesat juga muncul.
Belum lagi ingatan akan cerita-cerita tentang para ‘penunggu’ tempat-tempat sakral seperti gunung Ramelau ini. Pikiran saya sempat melayang ke draft-draft laporan CAVR. Saya yakin banyak nyawa melayang di sekitar gunung ini. Lampu senter pinjaman di tanganku hanya kunyalakan bila perlu. Bukan karena bulan sedang terang benderang, tetapi karena kuatir melihat sesuatu yang tidak ingin saya lihat atau sebaliknya terlihat oleh sesuatu yang tidak saya inginkan.
Di saat seperti ini barulah saya mengerti betapa penting ucapan Yesus “Akulah terang, Akulah jalan”. Berkali-kali aku menyapa pohon atau batu yang terasa mengerikan, sekedar mohon numpang lewat kepada yang empunya teritori. Dalam perhentian mengatur napas pun sebisa mungkin tidak dekat pohon atau batu yang terasa angker, setidaknya menurut padanganku.
Jika terpaksa, kata permisi tentu mendahului. Dalam pandanganku, mahluk halus juga punya pendekatan teritorial.
Di suatu titik, sambil terbaring mengatur napas menatap bulan purnama, saya mulai merasionalisasi situasi: Saya pasti bisa, asalkan hati-hati mengatur pernapasan. Teringat kata-kata Sir Edmond Hilary dalam poster di dapur CAVR yang berbunyi: Conques:, it is not the mountain we conquer but ourselves. Keraguan lainnya biarlah terbukti dengan sendirinya.
Di titik inilah saya mencoba mengerti mengapa para anggota Falintil[5] tidak takut hantu, mahluk halus dan sejenisnya, walaupun belum tentu mereka tidak percaya akan eksistensi mahluk-mahluk itu. Keinginan untuk mencapai puncak mengatasi sejumlah takut dan kuatir. Lagipula, apa yang akan saya katakan kalau saya pulang tanpa mencapai puncak? Nestor Paz[6] seakan berbisik di telinga: “mati bisa kapan saja, tidak harus di gunung ini”.
Entah sudah berapa lama mendaki, sayup terdengar suara-suara beberapa meter di atas saya. Saya mencoba memberi isyarat kedap-kedip nyala lampu senter. Ada yang membalas. Mungkin itu teman-teman seanggota tim. Cahaya itu terlihat tidak terlalu jauh, namun dalam kondisi tanjakan seperti itu, jarak itulah tidaklah terhitung dekat.
Mengetahui mereka tak lagi jauh di depan, saya sedikit berleha. Sebab setelah masalah napas sedikit teratasi, masalah pinggang kini menyapa.
Seharusnya saya sudah ke tukang pijit profesional di Dili yang katanya diorganisir Pat Walsh, pejuang HAM itu. Tapi saya selalu berpikir sakit pinggang ini akan sembuh dengan sendirinya. Perhentian jadi lebih sering dilakukan karena masalah pinggang ini.
Tas berisi dua kaleng beer, satu can coke, satu liter air mineral, beberapa paun[7] ini terasa begitu berat. Salah satu jalan keluar adalah meminum air itu untuk mengurangi rasa berat. Terlalu sayang meminum atau membuang beer di tengah jalan. Puncak Ramelau layak menantikan yang lebih berarti.
Setelah merangkak maju beberapa saat, di sebuah dataran yang agak landai, satu orang teman tersusuli. Ternyata bukan saya sendiri yang mengalami masalah pernapasan. Kylie, malae yang mengaku empat tahun tinggal di Kupang, juga sedang duduk bersandar. Di sebelah kiri kami nampak pemandangan yang luar biasa indah. Sebuah kota di malam hari. Entah kota apa itu, kami berdua sama tak tahu.
Setelah beberapa kali menunggui Kylie berhenti, satu lagi teman tersusuli. Kasusnya tak jauh berbeda: masalah napas. Kylie dan Ruth akhirnya memutuskan untuk berhenti.
Walau Ruth yang berasal dari Belanda ini sangat berkeinginan untuk sampai ke puncak, napas tidak kompromi rupanya. “saya dari Belanda, kamu tahu Belanda sangat datar, karena itu sangat ingin sekali melakukan hal seperti ini” katanya siang tadi. Kata-kata ini mengingatkan saya kepada Laurens teman Belanda saya di hutan-hutan daerah Chatchwork House, Inggris tengah pada summer dua tahun lalu.
Saya terpaksa meninggalkan mereka. Ransel saya berikan kepada penunjuk jalan yang berbalik menemui kami. Karena lebih sering berhenti, napas saya semakin membaik. Namun pinggang semakin sakit.
Di sebuah aliran sungai mati, pergelangan kaki saya mulai kejang. Victoria yang sejak tadi jauh di depan, kembali mencoba menolong saya. Sedikit pijatan di pergelangan kaki membuat saya lebih baik. Ingin rasanya duduk lebih lama, tapi Selma yang berdiri beberapa meter di depan mendengar suara-suara di depan.
Setelah keluar dari kali kering itu, tampaklah sejumlah tenda dan sebuah api unggun dan beberapa ekor kuda. Beberapa anak-anak remaja sedang berkumpul di sekitar api unggun.
Rupanya mereka penunjuk jalan untuk para malae Portugis yang sedang nyenyak di beberapa tenda di sekitar situ. Hari masih gelap memang ketika Base camp kedua terpijak kaki kami. Satu dua ucapan basa basi, beberapa shot kamera dan satu pertanyaan standar kepada para penunjuk jalan: “berapa jauh lagi perjalanan?” Kira-kira lima belas menit kata mereka.
Pengalaman bertanya kepada orang di pedalaman Timor mengatakan kepada saya bahwa lima belas menit bisa berarti kelipatan dua atau tiga dari lima belas. Satu puntung rokok masing-masing terbakar habis dari jemari Victoria dan Selma, satu can coke untuk Victoria dan satu dua percakapan di sekitar api unggun mengakhiri masa bahagia kami di kamp ini.
Dua batang rokok terpaksa diberikan kepada dua orang remaja yang agak besar yang meminta dengan harap. “La bele fuma” dan “saude” [8] begitulah beberapa potong kata bahasa Tetun yang bisa saya mengerti dari ocehan Selma terhadap anak-anak itu. Perjalanan harus dilanjutkan.
Lagi-lagi saya harus ketinggalan di belakang mereka. Kadang mereka menunggu, kadang tidak. Saya meminta mereka maju terus. Terasa mereka melesat begitu cepat ke depan. Beberapa menit mendaki saya hampir menyerah. Entah berapa jauh lagi.
Saat bersadar ke sebuah karang, saya memperhatikan pohon-pohon makin meranggas tanpa daun, lumut makin panjang menggantung. Saya tahu puncak semakin dekat.
Saya paksakan diri berjalan beberapa meter lagi. Langit nampak semakin terang, namun matahari belum juga muncul. Sekali mengangkat kepala terlihat sebuah salib. Saya tahu itu puncak.
Semangat bangkit seketika, namun pinggang tetap tak bisa diajak berkompromi. Semakin ke puncak, semakin nampak belasan sampai puluhan orang bergerombol. Suara percakapan mereka semakin jelas.
Untuk mengelabui rasa malu, tangan yang sejak tadi memegang pinggang saya pindahkan ke kamera. Saya pura-pura mengambil sejumlah shot sambil berjalan perlahan maju. 'Bon dia' saya sampaikan kepada mereka yang duduk di tangga pantung Bunda Maria di puncak. “I make it somehow” kata saya kepada Victoria yang menyambut dengan pelukan dan gelak tawa beberapa orang.
Thanks God I am here now. Aksi foto-foto kemenangan pun dimulai. Berselang beberapa detik, Loro pun sa’e[9] malu-malu di atas permadani putih awan.
Mungkin karena terlalu bergembira, bekal makanan tidak disentuh. Hanya beer dibagikan. Satu kaleng untuk seorang teman Victoria, sesama Irlandia yang baru dikenal dan entah satu lagi untuk saya, Victoria dan Selma. “In Tiger we united!” kata Selma.
Sekitar 30 menit bertengger di puncak, kami harus turun. Sebenarnya saya ingin berlama-lama, mengingat pencapaian ini tak gampang bagi saya. Tapi Victoria kuatir akan keadaan mereka yang tinggal di base camp pertama. Kedengaran mirip slogan politik: kalau sudah naik jangan lupa turun. Walau saya tidak sedang berpolitik, saya memang enggan turun.
Perjalanan turun dilalui dengan lebih banyak foto-foto, maklum hari sudah terang. Jika tidak mengingat keterbatasan daya tampung chip kamera, inginnya rasanya semua hal difoto.
Melewati tenda-tenda di base camp kedua, lutut kanan saya mulai bermasalah. Masalah lutut ini memang masalah lama saya yang saya dapati ketika melintasi bukit-bukit dan lembah di daerah Molo, Timor Barat beberapa tahun silam. “I thought it was much more easier to go down than to climb but it isn’t.”
Beberapa kali saya terjatuh. Belum lagi ditambah kengerian melihat ke bawah, suatu hal yang tak begitu terasa saat mendaki di malam.
Akhirnya saya menemukan kayu yang bisa dijadikan tongkat sekedar membantu tatih-tatih langkah saya menuruni lereng-lereng Ramelau. Matahari semakin menyegat saat separuh jalan ditempuh. Satu dua kali berpapasan orang-orang yang baru melakukan pendakian di pagi hari. “Have a nice climb” sapa saya dalam langkah serupa pendekar bertongkat.
Sekitar pukul sembilan saat saya merapat ke mobil-mobil di base camp pertama. “I climb up with two legs and came down with three” kataku kepada yang lain yang sudah menunggu.
Oleh-oleh foto dari puncak ku pamerkan kepada mereka yang tertinggal di landasan (bukan tinggal landas). Masing-masing meminta bagian.
Beberapa menit kemudian, mobil kami kembali ke pousada. Sarapan pagi tentunya sudah menunggu. Namun ternyata tidak. Kami harus menunggu beberapa saat sebelum kue....dan kopi diantar ke pousada.
Sekitar pukul sebelas mobil pick up putih kami meninggalkan pusat kampung Hatubuilico. Meninggalkan orang-orang kampung yang sedang mengalir ke pusat kampung menyambut kedatangan Presiden Kairala Xanana Gusmao.
Di tengah jalan kami berpapasan iring-iringan mobil sang presiden. Sontak saya melompat dari mobil untuk mengambil foto presiden kebanggaan saya itu, sayang kaca mobilnya agak tertutup. Hanya anaknya melambai dari balik jendela. Langit begitu cerah ketika mobil kami merayap jalan-jalan berbatu sepanjang pegunungan yang kami lalui. Baru saya sadari sebelah kiri kami selalu gunung dan sebelah kanan kami jurang.
Di jalan-jalan ini kemarin saya hanyut dalam lamunan saya. Kini saya terhanyut dalam pandangan saya ke puncak Ramelau yang makin tertinggal jauh di belakang.
Seandainya saya kenal George Aditjondro secara pribadi, mungkin saya akan bercanda: anda menulis tentang Ramelau tapi saya sudah menginjak puncak Ramelau. Ternyata, menaklukkan Ramelau tak dengan sendirinya membuat saya menaklukkan diri sendiri untuk tidak bersombong.
Sebuah kemenangan tak berarti itu sudah selesai. Mungkin itu juga perbandingan yang tepat untuk Timor Leste. Kemerdekaan yang diperoleh diabad–21 ini tak boleh dipakai berpuas-puas layaknya orang menaklukkan gunung. Setelah mendaki, pasti ada jalan menurun yang belum tentu lebih mudah.
Membangun diri sebagai sebuah bangsa tak kalah beratnya dari perjuangan bersenjata. Musuh yang dulu kelihatan, kini semakin kabur, namun bahaya dan resiko tetap sama, seperti halnya jatuh dari lereng sebuah gunung entah siang entah malam.
Mobil pinjaman kami seakan malas beranjak dari lereng-lereng terjal Hatubuilico. Teriakan anak-anak kampung masih juga terdengar, malas terbalas lambaian tangan kami.
Selamat tinggal Ramelau. Selamat tinggal Hatubuilico. Selamat tinggal sejarah dan keagungan. Kalau tak ada yang dikenang kita ketiadaan modal untuk hidup; kalau tak ada yang dilupakan, kita terlalu berbeban untuk maju.
Bidau Masau, Dinihari, 27 Juni 2005.
[1] Judul ini hanya pelesetan dan bukan sequel dari buku George Junus Aditjondro yang berjudul: In the Shadow of Mount Ramelau: The Impact of Indonesian Occupation of East Timor, Leiden. Diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Yayasan HAK dan Fortilos pada tahun 2000 dengan judul : Menyongsong Matahari Terbit di Puncak Ramelau: Dampak Pendudukan Timor Lorosae dan Munculnya Gerakan Pro Timor Lorosae di Indonesia.
[2] Malae adalah sebutan orang Timor untuk orang asing atau segala sesuatu yang berasal dari luar. Kemungkinan berasal dari kata “melayu” yang mengindikasikan kontak-kontak awal orang Timor dengan kebudayaan asing yang dipahami sebagai yang berasal dari Melayu. Malae dapat juga merupakan kata keterangan misalnya kambing di sebut bibi, sedangkan domba yang kemungkinan dikenal lebih kemudian disebut bibi malae. Orang Indonesia pun disebut malae dan lebih luas digunakan terutama setelah pembebasan Timor Leste. Untuk membedakan dengan ras kulit putih, ras Asia seperti Indonesia atau ras Afrika disebut malae metan (malae hitam), sedangkan ras kulit putih di sebut malae muti (malae putih).
[3] Quintal adalah kata Portugis untuk halaman sekitar rumah yang juga digunakan untuk menanam palawija dan tanaman produktif seperti jagung, kentang dan ketela rambat. Kata quintal kemungkinan merujuk kepada seberapa besar ukuran hasil bumi yang dihasilkan saat panen.
[4] Pousada adalah kata Portugis untuk penginapan atau Inn. Di Timor Leste terdapat sejumlah pousada peninggalan jaman Portugis yang di jaman Indonesia dimanfaatkan secara beragam, mulai dari kantor pemerintah, penginapan milik gereja ataupun tempat penyiksaan.
[5] Forças Armadas de Libertaçao Nacional de Timor Leste, Tentara Pembebasan Nasional Timor Leste.
[6] Nestor Paz adalah seorang pastor yang mengangkat senjata melawan penguasa dukungan US di Columbia.
[7] Roti khas Timor.
[8] La bele fuma = Dilarang Merokok, saude=kesehatan. Selma yang kini lancar berbahasa Tetun, mengaku La bele fuma adalah kalimat bahasa Tetun yang pertama ia kenal saat tiba di Timor beberapa tahun lalu. Saya menduga Selma mengkhotbahi anak-anak ini soal bahaya rokok. Tentu saja tak akan mempan karena ia sendiri perokok lumayan berat.
[9] Loro = matahari, Sa’e = naik. Loro sae berarti matahari terbit. Timor Lorosae secara harfiah berarti Timor Matahari terbit atau Timor bagian Timur.
Subscribe to:
Posts (Atom)