Wednesday, June 01, 2011

Mengapa Orang Menjadi Fundamentalis? [revised]


Kata 'fundamentalisme' aslinya digunakan untuk sebuah trend khusus dalam Protestantisme Amerika yang di dalam berhadapan dengan segala adaptasi-adaptasi modern dan liberal dari gereja, mencoba kembali ke dasar-dasar (fundamentals) alkitabiah dari iman Kristen:yaitu kepada dasar-dasar iman yang diinterpretasikan dalam cara yang sangat lepas atau sewenang-wenang.

Dalam perkembangan selanjutnya, sympton fundamentalis ini dan perkembangan -perkembangan yang mirip-mirip seperti gerakan di dalam Protestantisme ini kemudian dapat ditemukan juga di dalam gereja Katholik dan Ortodox Timur. Kemudian kata ini juga telah ditransfer ke dalam kecendrungan-kecendrungan reaksioner dalam Islam dan Yudaisme.

Menurut theolog Protestant dan Katholik asal Jerman, Jurgen Moltman dan Hans Kung, meluasnya fundamentalisme dalam berbagai agama ini menjadi alasan yang cukup untuk melihat dimensi ekumenikal dari masalah ini secara lebih serius dan mendalam. (Moltman dan Kung, Fundamentalism as an Ecumenical Challenge,SCM London, 1992, hl.vii, 106-115).

Fundamentalisme bisa dipandang dari berbagai segi: theologis, psikologi sosial, psikiatrik, sosial. Fundamentalisme dalam setiap agama juga punya karakterisitik tersendiri sesuai dengan perkembangan sejarah dan unsur-unsur yang mempertautkannya. Fundamentalisme Kristen protestan tidak bisa dibahas sama dengan fundamentalisme katholik,Islam atau Yahudi.

Yang menarik adalah bahwa dari segi psikologi sosial fundamentalisme dilihat sebagai konsekwensi dari alienasi atau keterasingan [C.Jaggi and D Krieger, Fundamentalism: A Phenomenon of the Present, Zurich, 1991]. Buku ini membicarakan antara yang dimaksudkan dengan alienasi adalah 'isolasi personal', 'marjinalisasi sosial', 'kehilangan akar etis dan kultural' atau bahkan secara lebih umum kehilangan keberlanjutan historis.


Pengalaman-pengalaman ini kemudian bertemu atau bertabrakan dengan hasrat akan kepastian, dengan hasrat akan kebenaran 'yang sejati', dengan hasrat akan gambaran yang lebih stabil tentang dunia. Dengan hasrat-hasrat ini orang merindukan figur-figur pemimpin yang mengetahui jalan yang benar dan dengan demikian mempunyai hak penuh untuk memerintahkan penolakan total.

Jadi fundamentalisme dimengerti sebagai usaha untuk mengatasi sebuah kegelisahan existensial yang mendalam dan sebuah "kekuatiran akan konflik". Di sini kategori psikologis sperti "regresi" atau konseptualitas 'Ego/Superego' nya kaum Freudian berlaku.

Jika kita ingin melihat fundamentalisme secara lebih kritis, kita tidak bisa menghindar untuk menekankan pentingnya dasar-dasar untuk kehidupan manusia. Kita membutuhkan dasar-dasar untuk bisa hidup secara lebih kreatif. Tanpa keamanan dan perlindungan dari orang tua dan rumah, perkembangan yang sehat dari emosi-emosi dan kapasitas kita menjadi terhambat. Kekuatan fisik, intelektual dan emosional kita didasarkan pada dasar-dasar cinta, perhatian dan kepercayaan (trust).

Hal ini juga berlaku dalam sebuah pengertian yang lebih trans-personal. Komunitas-komunitas, klan-klan dan masyarakat membutuhkan sejarah mereka - dalam hal ini tradisi-tradisi, ritus, pemujaan-pemujaan,- agar dapat exist secara lebih creative dan lebih kondisi yang lebih berimbang dan untuk melihat ke masa depan.

Ada satu dimensi yang lebih jauh yaitu kemampuan atau kepercayaan diri manusia untuk berhadapan dengan ketidakekalan dunia. Ada sebuah peribahasa China berbunyi: "negara dan pemerintahan datang dan pergi tetapi gunung-gunung tetap". Ini adalah sebuah expresi keyakinan akan stabilitas bumi dan waktu. Ekspresi ini juga terdapat dalam Kitab Kejadian 8: 22 : "Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan hujan, siang dan malam".

Keyakinan mendasar ini adalah cara paling alami darai manusia untuk berhadapan dengan masalah yang paling menggelisahkan dari keberadaan manusia, yaitu kematian.

Hidup yang kreatif dalam segala bentuknya dikembangkan di atas dasar keyakinan akan bumi dan waktu ini. Kreatifitas adalah identitas dalam transisi, sebuah pemberian masa lalu dan transfomasinya ke dalam sesuatu yang baru. Masyarakat-masyarakat, kebudayaan-kebudayaan dan agama-agama dan singkatnya semua sistem yang hidup, menunjukkan kehidupan mereka dengan cara memampukan diri untuk penerimaan dan transformasi ini.

Tapi apa jadinya jika kepercayaan fundamental terhadap bumi dan waktu menjadi hilang? Apa jadinya jika sebuah proses traumatik mengaburkan penerimaan kreatif akan masa lalu dan menghalangi transformasi atas apa yang telah diwarisi ke dalam sebuah masa depan yang terbuka?

Bilamana kehancuran dalam penerimaan dan transformasi terjadi, di mana seakan 'dunia telah berakhir' tanpa ada tatanan baru yang muncul -maka reaksi-reaksi fundamentalisme akan bermunculan. Dengan demikian kita memahami fundamentalisme sebagai sebuah reaksi pathologis terhadap pengalaman berakhirnya dunia.

Butuh contoh?

Fundamentalisme Islam di Indonesia adalah contoh yang bagus untuk dibahas dalam kerangka psikologi sosial di atas.

Kita ambil saja contoh FPI atau kelompok-kelompok fundamentalisme Islam yang seakan telah menjadi polisi moral dan mau memaksakan segala aturan menurut ukuran mereka di negara ini. Coba teliti ke dalam organisais mereka, anda akan mendapatkan hard core mereka sebagai orang-orang yang gelisah akan masa depan tetapi sekaligus tidak bisa melihat keberlajutan masa lalu mereka ke masa sekarang. Di alam bawah sadar mereka, mereka merasa Islam sudah gagal, nilai-nilai Islam sedang diserbu oleh nilai modern dan Barat yang mereka anggap kafir sementara mereka tidak bisa menawarkan nilai-nilai Islam untuk diterima secara sukarela oleh semua orang bahkan oleh orang Islam sendiri.Ini konflik yang luar biasa, dan reaksi mereka adalah adalah berusaha menghilangkan konflik itu.

Itulah jawabannya mengapa mereka begitu aggresive dalam tindakan mereka, dan memaksakan nilai-nilai mereka sendiri. Itu jugalah mengapa mereka membentengi diri mereka dengan cara-cara yang artifisial seperti pakaian dan aturan-aturan.

Kalau dilihat komposisi FPI di Jakarta misalnya, kebanyakan adalah kelas bawah dan sedikit kelas menengah. Ada juga sejumlah kalangan atas tapi biasanya special case. Apa artinya ini? artinya memang kelompok inilah yang paling dipinggirkan dalam semua proses modernisasi dan pembangunan yang timpang. Itu jugalah yang menjawab pertanyaan mengapa kelompok fundamentalis ini umumnya muncul dan berkembang pesat di daerah perkotaan. Karena memang isolasi personal, marjinalisasi sosial, kehilangan akar-akar etis dan kultural itu lebih dirasakan dan nampak diperkotaan atau bahkan lebih sering terjadi di perkotaan. Itu juga menjawab pertanyaan mengapa figur prominen dalam FPI adalah Arab [kehilangan ke-Arab-an nya setelah sekian lama di Indonesia], Betawi [mearasa pemilik Jakarta tetapi termajinalisasi dari pembangunan dan modernisasi Jakarta; jadi ingat "Si Doel Anak sekolahan"], preman, tukang parkir, pengangguran dsb.

Tentu ada variabel-variabel lain yang kait mengait dalam menciptakan atau membuat orang menjadi begitu fundamentalis seperti pendidikan, indoktrinasi agama, kekecewaan akan tatanan sosial yang tidak adil dsb. Itu sebabnya tidak semua preman, tukang parkir, penggangguran, Betawi, Arab di Jakarta adalah fundamentalis. Tetapi pada dasarnya fundamentalisme muncul dari perasaan keterasingan dan alienasi, terputusnya akar-akar historis dan ketidakpastian masa depan. Ini lahan yang paling subur untuk para opportunis untuk menyuburkan fundamentalisme.

Orang-orang ini -para fundamentalis - sebenarnya adalah orang-orang yang rindu akan kepastian karean hidup mereka sendiri dipenuhi dengan ketidakpastian. Ada satu dua (mungkin die hard-nya) adalah orang-orang yang punya hasrat untuk 'kebenaran sejati'. Dan biasanya orang-orang ini akan berbalik 360 derajat kalau mereka menemukan apa yang mereka yakini sebagai kebenaran yang bertentangan dengan apa yang mereka pegang sekarang. Orang-orang seperti ini biasanya akan membelakangi atau bahkan melawan orang-orang dan organisasi mereka sendiri. Dalam sejarah salah satu contoh orang seperti ini adalah Rasul Paulus. Dia bukan orang jahat pada dasarnya, dia hanya rang yang ingin menegakkan apa yang dia anggap benar tanpa pengetahuan akann sisi lain dari kebenaran. Dan karena iru begitu ia melihat sisi lain, ia berpaling. Contoh lain dalam sejarah gereja di Indonesia adalah KAM Jusuf Roni yang mirip Paulus juga sngat membencio Kristen tapi kemudian berbalik menjadi Kristen.

Karena perasaan ketidakpastian yang mendalam, orang-orang ini juga sangat mengaungkan figur pemimpin yang kuat dan mereka anggap punya klaim kebenaran. Itu sebabnya mereka tak akan melihat sisi buruk dari apa yang dilakukan pemimpin mereka. Mereka akan menjustifikasi apapun yang dilakukannya dalam kerangka pengetahuan kebenaran yang mereka miliki. Mereka akan sangat gampang memaki, menuduh dan menyalahkan orang lain yang menghalangi jalan mereka untuk memaksakan nilai-nilai mereka.

Sebagai bagian dari masayarakat yang teralienasi, prasangka sosial mereka juga sangat tinggi. Tetapi biasanya unsur agamanya lebih menonjol. Itulah sebabnya mengapa FPI dan kelompok-kelompok fundamentalis selalu menciptakan musuh bersama; kalau bukan Amerika, pasti Barat, atau Kristen atau China .

(to be continued)

Photo Caption:“Live respected or die as a martyr” reads the red-letter motto on the hoods of Front Pembela Islam members. Each year these self-appointed enforcers rally in Jakarta neighborhoods before and during the holy month of Ramadan, intimidating “purveyors of vice” such as bar owners and prostitutes. Last year their leader was jailed for inciting violence.
©2009 James Nachtwey/National Geographic

Domba Sabu, Gula Sabu dan Kapten Cook


Tahukah anda bahwa Kapten Cook yang terkenal itu pernah meminta bekal kepada orang Sabu, dan kalau bukan karena gula Sabu belum tentu ia selamat sampai Batavia kemudian melanjutkan sejumlah expedisi yang membuatnya terkenal itu?

Ini cerita tentang bagaimana Kapten Cook dan awak kapal Endeavor singgah di Sabu pada September 1770 dan kemungkinan asal-usul domba Sabu.

Kalau anda pernah melihat domba di Sabu [still looking for the latin name] dan membandingkannya dengan domba di pulau lain di Nusa Tenggara Timur, seperti domba dari Rote misalnya, anda akan tahu bahwa domba Sabu berbeda ciri fisiknya dari domba-domba dari daerah lain di sekitarnya. Perawakannya lebih besar, bulu-bulunya lebih lebat dan terutama ekornya lebih gempal mirip domba dari Eropa. Pernahkah anda bertanya mengapa demikian?

Secara penamaan bisa dipastikan bahwa domba di Sabu adalah ternak yang hadir kemudian dari manusia di Sabu sebab nama yang digunakan untuk domba adalah kii jawa yang secara harfiah berarti ‘kambing asing’ atau ‘kambing dari luar’. Kecendrungan untuk memberi atribut ‘asing’ kepada entitas yang baru diperkenalkan dari luar memang umum di kalangan kebudayaan timur, misalnya artibut ‘kase’ di Timor. Sehingga di Timor misalnya, anda akan mengenal nama-nama seperti bijae kase [kerbau asing] untuk sapi, fua kase [kacang asing] untuk…, pen kase [jagung], dst. Bahkan nama klan pun ada yang bernama Kase.

Kembali ke domba sabu berekor gempal, kita patut bertanya kira-kira dari manakah asal domba-domba ini. Sementara domba di Rote disebut bibi lopo/bibi lombo, mengartikulasikan nuansa keaslian asal domba-domba itu atau paling tidak memgimplisitkan kehadiran mereka yang telah cukup lama sehingga tidak diberi atribusi ‘asing’ lagi. Sebaliknya, domba di Sabu dikategorikan ‘asing’ oleh orang Sabu.

Dugaan saya akan asal-usul domba Sabu ini seakan terjawab sedikit ketika saya menemukan sebuah buku kumpulan tulisan tua berjudul: To the Spices Islands and Beyond – Travels in Eastern Indonesia, sebuah kumpulan tulisan yang dikompilasi dan diberi pengantar oleh George Miller. [Oxford, Kuala Lumpur, 1996].

Dalam buku itu terdapat sebuah tulisan menyangkut Sabu yang berjudul “Sustenance from dry, isolated Savu”[i] karya Joseph Banks, seorang botanist muda yang turut dalam pelayaran kapal Endeavor yang dinakhodai Kapten Cook. Tulisan itu sebenarnya adalah catatan harian Banks tentang pulau Sabu yang mereka singgahi pada bulan September 1770 karena kehabisan bekal.

Setelah saya melakukan pencarian lewat mesin pencari, ternyata perjalanan ini merupakan pelayaran Kapten James yang pertama yang kemudian dikenal dengan Pejalanan Perdana James Cook (1768-1771) [lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/First_voyage_of_James_Cook]. Memang dalam banyak literature tentang perjalanan itu lebih sering disebut Batavia sebagai salah satu tempat singgah dan Sabu sering dilupakan, -mungkin karena dianggap kecil signifikansi sejarahnya- namun fakta sejarah menyatakan bahwa Endeavor pernah singgah di Sabu karena lasan hidup dan mati: mencari perbekalan.

Dalam pencarian saya selanjutnya saya menemukan bahwa ternyata Banks dan Kapten Cook mempunyai catatan khusus dan lumayan lengkap tentang pulau Sabu. Catatan-catatan Banks itu bisa anda baca di link wikipedia berikut ini: [http://en.wikisource.org/wiki/The_Endeavour_Journal_of_Sir_Joseph_Banks/September_1770] atau di

[http://en.wikisource.org/wiki/The_Endeavour_Journal_of_Sir_Joseph_Banks/Accounts_of_Savu_and_islands_near_Savu]

Joseph Bank yang saat itu baru berusia 27 tahun kemudian menjadi terkenal dan lama menjabat sebagai President of the Royal Society dan pejabat Inggris di Australia. [lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Joseph_Banks]

Namanya bahkan diabadikan sebagai nama sebuah jenis tanaman bunga yang disebut banksia. [lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Banksia]. Dia pulalah yang memperkenalkan acasia, eucalyptus dan putri malu ke Eropa.

Sebagai bontanist, Banks punya perhatian khusus terhadap tetumbuhan dan binatang namun catatannya selama di Sabu memberikan detail dan deskripsi yang akurat tentang situasi ekonomi, sosial dan politik di Sabu pada saat itu.

Baik Cook maupun Banks begitu terpesona dengan keindahan Sabu, terutama detail dari pulau itu yang jarang diperhatikan oleh pengamat yang lain. Kesan ini sangat luar biasa mengingat bahwa mereka tiba di sana pada akhir dari musim kemarau yang panjang.

Banks juga menyebutkan kehadiran seorang Eropa sebelum mereka yaitu Johan Christopr Lange, yang ia sebut sebagai “satu-satunya orang kulit putih yang tinggal di pulau itu”. Banks menyebutkan bahwa Portugislah yang pertama datang ke Sabu namun mereka lebih sering hanya mengirimkan kapal-kapal kecil untuk berdagang dengan pribumi,dan tidak menetap di Sabu. Mereka lebih sering menipu orang Sabu daripada berdagang secara fair dengan mereka.

Belanda kemudian menggantikan Portugis dan Banks menyebut bahwa sekitar sepuluh tahun sebelum kedatangan Endeavor di Sabu, sebuah perjanjian aliansi telah ditandatangani oleh lima orang raja Sabu dan VOC. Konsekwensinya adalah VOC mensuplay raja-raja ini dengan linen dan sutra, peralatan makan, dan segala benda-benda yang mereka inginkan. Semuanya disajikan dalam bentuk hadiah yang dilengkapi dengan guci-guci dan rak-rak minuman keras.

Sebagai balasannya para raja-raja ini hanya melakukan perdagangan dengan VOC. Setiap tahun mensuply beras, jagung, dan calevanses[?] yang dikirim dengan sekoci-sekoci ke Timor. Sebagai akibat dari kesepakatan antara raja-raja Sabu dan VOC tsb, Mr Lange, seorang Portugis India yang nampaknya merupakan wakil dari Lange, dan seorang Belanda India yang bertugas sebagai kepala sekolah dijinkan tinggal di antara orang Sabu. “Mynheer Lange”, begitu sebutan Banks, adalah pejabat VOC di Sabu, yang mempunyai 50 budak berkuda yang setiap dua bulan melakukan tour ke seluruh pulau, mengunjungi para raja-raja dan mensurvei tanaman-tanaman yang mereka peruntukkan bagi VOC.

Banks juga menyebutkan bahwa dalam 3 hari kehadiran mereka di Sabu, mereka bertemu “the Radja A Madocho Lomi Djara”. Menurut James Fox, nama A Madoko Lomi Djara [Ma Doko Lomi Djara] muncul dua kali dalam geneologi kerajaan Seba, namun sangat mungkin ia adalah anak dari Djara Wadu yang menandatangi Kontrak dengan Belanda tahun 1756.

Banks menggambarkan bagaimana A Madocho menjamu mereka dengan “36 jenis makanan atau keranjang-keranjang penuh nasi dan daging babi rebus, 3 mangkuk besar penuh kuah/kaldu daging yang disajikan di atas tikar.”

Mereka dipersilahkan membasuh tangan dalam basket water [haik] yang dipikul seseorang kemudian duduk dalam bentuk linkaran dan makan. Banks menyatakan bahwa kebiasaan di Sabu, yang menjamu makanan tidak akan makan bersama-sama dengan yang dijamu namun jika dicurigai bahwa makanan tersebut telah diracuni maka yang menjamu akan makan terlebih dahulu.

“Kami tidak mencurigai apapun” kata Banks, lalu mereka duduk dan makan dengan lahapnya dan perdana mentri dan Mr Lange pun makan bersama mereka. Anggur yang dibawa orang-orang Inggris pun diedarkan namun sang raja pun menolak minum bersama mereka dengan mengatakan bahwa tuan pesta tak boleh mabuk bersama tamu-tamunya. Mereka makan dengan lahapnya hingga yang tersisa cuma remah-remah yang tak menimbulkan selera lagi.

Banks secara khusus tertarik kepada lontar yang ia sebutkan sebagai penyedia makanan pokok bagi orang Sabu dan untuk dipertukarkan. Banks menyebut lontar dengan nama latin borassus flabellifer namun sekarang disebut sebagai borassus sundaicus.

Antroplog James Fox, di kemudian hari menyebutkan bahwa tanpa catatan dari Banks dan Cook ini, pengetahuan akan Sabu akan sangat sedikit dan terbatas selama hampir seabad setelahnya. [lihat James J. Fox, Harvest of the Palm: ecological change in Eastern Indonesia, Harvard University Press, Cambridge, Mass, 1977. P. 126].

Para awak Endeavor berhasil mendapatkan bekal baru di Sabu dan ketika mereka bertolak ke Batavia mereka membawa bekal berupa sembilan ekor kerbau, enam ekor domba, tiga ekor babi, tiga puluh lusin ayam, beberapa buah limau, beberapa buah kelapa, lusinan telur, sedikit bawang dan ratusan gallon ‘palm syrup’. Bank menyebut bekal itu “cukup untuk membawa kami ke Batavia” dan bahkan syrop itu bahkan bisa untuk jangka waktu yang lebih lama lagi.

Yang menarik adalah sebuah bagian dalam jurnal Banks yang menyatakan bahwa Raja Madocho Lomi Djara meminta seekor domba Inggris yang katanya tinggal satu-satunya dan domba itu diberikan kepada sang raja:

“..The king express a desire of having an English sheep, we had one left which was presented to him. An English dog was the asked for and my greyhound presented to him. Mynheer Lange then hinted that a spying glass would be acceptable and was immediately presented with one.”

Dari sini kita tahu bahwa seekor domba dari Inggris dan seekor anjing greyhound jelas pernah ada di Sabu sejak bulan September 1770. Bukan tak mungkin domba terakhir di kapal Endeavor yang dihadiahkan kepada Raja Madocho Lomi Djara itu kemudian dikawinkan dengan domba yang sudah ada di Sabu dan hasilnya adalah domba Sabu sekarang yang berekor gempal dan berbulu lebih lebat dari domba-domba yang ada di Rote atau di Timor.

Di Sabu sendiri sudah ada domba, sebegaimana disebutkan dalam catatan Banks bahwa mereka mendapat bekal enam ekor domba lagi, namun kenyataan bahwa sang raja tertarik dengan domba Inggris ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang lain yang pada domba itu. Mungkin saja domba itu kemudian dikawinkan dengan domba Sabu yang lain yang keturunannya bisa kita lihat sekarang. Mungkin saja. [***]

Photo Caption: Rumah di Sabu pada saat kedatangan Endeavor. Gambar ini dibuat oleh Sydney Parkinson, juru gambar Joseph Banks, yang sekarang merupakan koleksi dari British Library.Gambar ini juga dipakai James Fox dalam bukunya Harvest of the Palm. Fox mengkritik ketidakakuratan penggambaran di mana orang memanjat lontar dengan memikul haik di pundak yang menurutnya tak mungkin terjadi. Biasanya orang membawa haik tapi diikat di pinggang.

Oh Ana Lote, Oh Sarisandu




Oh Sarisandu, oh ta'e ana Lote,
Sasandu haik sedang memanggil;
Dari padang-padang di Mamaluk dan mamar-mamar di Baa Dale
Dari kebun-kebun di Daeurandale sampai sawah-sawah di Lole
Dari Faifua do Ledosu ke Delamuri do Andaiko
Di tepi-tepi Danau Tua dan di lereng-lereng Lakamola;
Di atas bukit-bukit di Nusa Diu dan di tepi pasir putih di Nemberala
Dari pohon-pohon lebah di Sotimori ke rimba Kokolok


Padi dan ladang telah pergi dan mayang-mayang lontar mulai mengering
Dan engkau engkau harus pergi dan aku harus menunggu
Namun pulanglah ketika padi-padi di ladang berbisik dan menghijau bersama rumput liar dan kawanan ternak
karena aku akan tetap di sini,
di bawah terik matahari dan di bawah rindang beringin dan lontar
Oh Sarisandu, oh ana Lote, betapa aku mencintaimu

Dan jika engkau datang ketika mayang lontar mulai mengering
Dan aku telah mati, sebagaimana layaknya aku
Datanglah ke pusara di mana aku tertidur
Duduklah dan nyanyikanlah sosodak bagiku
Karena aku akan mendengarnya
Walau lembut pijakanmu di atas tanah
Dirikanlah sebuah tutus sederhana bagiku
di mana anak-anak gembala akan duduk mendendangkan sarinade tentang tanah air:
"Lete kara tada, fo dae ramado
Nunu kara londa fo piak ramdema"

Maka semua mimpiku akan menjadi hangat dan manis
Sehangat susu mama yang melahirkan aku
semanis tua matak yang disadap ayahku
Jika engkau tak gagal mengatakan padaku bahwa kau mencintaiku
Aku akan tidur dengan damai sampai engkau datang kepadaku
Dan aku pasti tidur dengan tenang sampai engkau pulang kepadaku
Oh Ana Lote, oh Sarisandu, betapa aku mencintaimu

Ketika anak-anak gembala menggiring kawanan dombanya melintas
Aku tak mendengarnya
Ketika rombongan foti hus menggemuruh di pusaraku
Aku takkan mendengarnya
Ketika sapi-sapi benggala milik bangsawan kaya itu menjejal
Aku pun tak mendengar
Namun bila ujung selimutmu menyentuh rumput-rumput di atas pusaraku
Aku akan mendengarnya
Oh Sarisandu, oh Ana Lote, betapa aku mencintaimu

BSD Tangerang, 29 April 2011



Penjelasan istilah:

-Ana Lote/ta'e ana Lote: Anak Rote
-Sarisandu: Nama laki-laki Rote dalam mithologi Rote tetanng Sasandu
-Sasandu: alat musik tradisional Rote
-Sasandu haik: Sasandu yang wadahnya terbuat dari daun lontar.
-Faifua do Ledosou: nama lain kerajaan Ringgou, kerajaan di wilayah paling timur pulau Rote
-Delamuri do Andaiko: nama lain Kerajaan Dela, kerajaan di wilayah paling barat pulau Rote.
- Sosodak: nyanyian traditional Rote yang biasa dinyanyikan mengiringi sasandu atau mengiringi gong dan tambur.
-Tutus: tugu peringatan untuk mengenang seseorang yang meninggal
-tua mata: nira lontar yang baru disadap, untuk membedakannya dari tua nasu yaitu nira yang telah dimasak.
-Foti hus: salah satu ritus traditional yang hampir punah, bagian utama ritus ini adalah lomba pacuan kuda
-"Lete kala tada fo dae lama do, nunu kala londa fo piak lamdema" adalah penggalan syair dari lagu Au sangaa fali neu Nusa Lote [Aku ingin pulang ke nusa Rote]. Terjemahannya adalah: Bukit-bukit terpele, dan tanah menjauh; [negeri dimana] pohon-pohon beringin bergelantungan dan tebing-tebing meninggi"
Credit foto: Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia

Ditipu kemiskinan dan ditipu kerakusan


Kalau anda berhadapan dengan kemiskinan, kemelaratan dan penderitaan serta pada saat yang sama anda juga berhadapan dengan pencari untung, kerakusan dan kapitalisme dan keduanya penipu, anda memilih ditipu oleh yang mana?

Di Jakarta, anda bisa bertemu orang miskin melebih-lebihkan penderitaanya, bersandiwara dan bahkan menipu untuk mendapatkan apa yang mereka mau.

Tetapi di Jakarta juga anda akan bertemu dengan orang kaya, perusahaan atau organisasi kaya yang melebih-lebihkan harga dari pelayanan jasa dan produknya untuk mendapatkan keuntungan besar.

Kemiskinnan dan kerakusan bisa punya trik yang mirip untuk mendapatkan apa yang mereka mau.

Hanya saja, kemiskinan melakukanya karena lapar dan menderita sedangkan kapitalisme melakukannya karena rakus dan keinginan mencari untung.


Saya akan sangat menyesal dan mungkin menangis sejadi-jadinya jika saya mengeraskan hati saya terhadap seorang ibu yang duduk bersama anaknya di pinggir jalan menandahkan tangan dan ternyata apa yang dia minta dengan memelas itu bahkan tidak cukup untuk makan dua kali. Belum lagi dia harus menyetor apa yang didapatnya kepada preman yang menguasai wilayah itu

Dan saya akan sangat marah dan mungkin memaki jika apa yang saya beli kelihatan begitu mahal di tubuh saya tetapi ternyata harganya jauh di atas kepatutan. Bahkan mungkin lebih dari sepatuh gaji pelayan yang melayani saya saat membeli

Oh Tuhan betapa kerasnya hati manusia sehingga orang harus menipu untuk mendapatkan sesuap nasi.

Ampunilah kami ya Tuhan, jikalau hidup membuat kami bagaikan majikan-majikan untuk Lazarus yang menantikan remah-remah dari meja tuannya.

Memang tidak semua orang senang jika ditipu, tetapi ditipu orang miskin kita tidak akan menjadi miskin, namun ditipu kapitalisme kita bisa menjadi semiskin-miskinnya.

Kita tak perlu menjadi kaya untuk menolong yang miskin dan menderita; bahkan kita mungkin punya penderitaan dan kemiskinan sendiri.

Kita tak perlu menjadi kaya untuk menolong yang miskin; karena yang dibutuhkan untuk kemiskinan bukan hanya harta melainkan perhatian. Orang miskin adalah orang yang kesepian dan ditinggalkan.

Karena itu seringkali hanya mereka yang datang dari periuk kemiskinan dan penderitaan yang sama yang dapat merasakan apa yang oarng miskin rasakan

*Untuk seorang ibu yang duduk bersama anaknya di jembatan penyebrangan di depan Ratu Plaza, Jalan Sudirman, Jakarta.

Serpong, 10 Mei 2011

Friday, April 22, 2011

Apa arti kebangkitan Yesus bagimu?

Hari ini ingatlah bahwa Yesus bangkit

Ia bangkit pada hari minggu dan kita memperingatinya sebagai hari Tuhan.

Dan Yesus hidup di hatiku, secara matematis sederhana itu berarti apa yang mati padaku dapat juga hidup kembali.

Ketika ada yang mati dariku, aku butuh tak lebih dari seorang juruselamat untuk membangkitkan aku. Ketika sukacitaku mati, Yesus membangkitkannya. Ketika harapanku akan masa depan mati, Yesus membangkitkannya. Ketika rasa percaya diri dalam diriku mati, Yesus membangkitkannya. Ketika semua cita dan masa depan ku seperti layu dan perlahan mati, Yesus ada di sana membangkitku. Ketika seluruh dunia seperti meninggalkanku dan aku mau mati rasanya, Yesus ada di sana menopangku. Ketika kehidupan membuatku tak berdaya dan seakan semua mimpiku hancur berkeping, Yesus ada di sana bersamaku, bangkit bersamaku.

Apakah lagi yang mati dalam engkau? Jika engkau mengenal Yesus, paskah adalah hari yang amat baik untuk mengenang apa yang mati dalam dirimu. Dan hari minggu adalah hari yang baik untuk mengingat bahwa apa yang mati dalammu dapat dibangkitkan.

Amin. selamat Paskah. semua sudah lewat.


Still working in late night at Palmerah office, even on Easter day,

-- 45 minutes before Easter 2011


Sunday, April 17, 2011

Lelaki miskin dan pekerja pabrik

Diam-diam pekerja pabrik itu mengambil pecahan limapuluhan ribuan yang tersisa di dompetnya, ditaruhnya ke dalam genggaman laki-laki kurus dan lusuh itu.

"Belilah makan untuk anak-anakmu dan istrimu, istirahatlah sedikit, biar besok bisa bekerja lagi," bisiknya kepada lelaki yang sedari tadi menjaga tiga anaknya bermain-main di lantai gerbong. Istrinya duduk duduk, nampak begitu lelah seperti suaminya.

Pekerja pabrik itu segera berlalu karena tak sanggup menatap mata laki-laki miskin itu dan ketiga anaknya yang masih kecil...tetapi lelaki itu mengejarnya dan bertanya: "kenapa bapak memberi saya sebanyak ini?"

Sejenak terdiam ia menjawab: "karena engkau tidak meminta. aku telah mendapatlkan lebih dari cukup, apa yang tidak kuminta dari Allahku."

Saat ia bergegas di kerumunan orang di stasiun itu, ia terisak, menghapus air mata dari pipinya, sambil menutup kepalanya dengan penutup kepala jacketnya.

Lelaki kurus itu pun meneteskan air mata di bagian lain di gerbong yang sedang berlalu meninggalkan stasiun Palmerah.....


--Palmerah, 1 Feb, 2011.

Hujan siang ini

Hujan siang ini
Engkau dan ibumu pergi
ke timur keduanya, ke mana seharusnya akupun pulang
Jauh di atas awan kau dan ibumu terbang
di mana matahari selalu bersinar
dan mendung adalah keindahan

Hujan siang ini
Di sini, di terminal tua ini
aku duduk bersama segala kekisruhan Bandar udara ibukota
Seminggu begitu cepat rasanya
dan aku tak bisa menahan waktu
atau merombak jadwal kehidupan

Hujan siang ini
Aku jauh dari rumah
dan aku tak bisa ke mana-mana
Engkau dan ibumu akan tiba dalam waktu empat jam
Empat jam yang hanya bisa kudapat setahun sekali
Aku bisa saja menelponmu dan ibumu setiap saat
tapi itu tak sama dengan bagaimana engkau menarik tanganku tanpa kata-kata
memintaku bermain bersamamu

Hujan siang ini
Terminal tua ini selalu bersamaku
Tapi aku tak mungkin melompat ke atas jet plane
selaiknya sehari-hari aku melompat ke atas kereta tua
aku di jalanku sendiri siang ini
dan aku sangat merindukan orang-orang terkasih

hujan siang ini
Ibumu bilang selepas chek-in
kau terus mengulang kalimat “cali papa, cali papa”
Papa tak akan pulang malam ini sayang,
tidurlah di pelukan ibumu dan jangan nantikan papa

Hujan siang ini
Bob Schneider mengalunkan irama darah muda tentang Tokyo
tapi ku ingat Kupang,
Kupang "is not far enough away, to where I wanna be, today"
Bob Marley mengingat Babylon dalam irama religious Rastafarian
tapi hatiku di Kupang
“One bright morning when my work is over, I will fly away home”

Serpong, March 20, 2011

Saijah dan Adinda

Aku tak tahu di mana aku akan mati
Aku melihat samudera luas di pantai selatan ketika datang
Ke sana dengan ayahku, untuk membuat garam ;

Bila ku mati di tengah lautan, dan tubuhku dilempar ke air dalam,
Ikan hiu berebutan datang ;
Berenang mengelilingi mayatku, dan bertanya : “siapa antara kita
akan melulur tubuh yang turun nun di dalam air ?”-
Aku tak akan mendengarnya.

Aku tak tahu di mana aku akan mati
Kulihat terbakar rumah Pak Ansu, dibakarnya sendiri karena
ia mata gelap ;

Monday, March 28, 2011

Australian’s Stolz wins, local hero Rory finishes second

Matheos Viktor Messakh, The Jakarta Post, Karawaci | Mon, 03/28/2011 1:50 AM
Surprise, surprise: Indonesian Rory Hie reacts during the final round of the Indonesia PGA Championship at Imperial Klub Golf in Karawaci, Tangerang, on Sunday. JP/matheos V. Messakh 
Surprise, surprise: Indonesian Rory Hie reacts during the final round of the Indonesia PGA Championship at Imperial Klub Golf in Karawaci, Tangerang, on Sunday. [Courtesy of OneAsia]

Australian Andre Stolz, who came out of retirement two years ago, recorded an emotional triumph in the Indonesia PGA Championship at Imperial Klub Golf at Karawaci on Sunday.

Indonesian Rory Hie carded a 72 to finish alone in second place one shot behind Stolz.

The 40-year-old Stolz fired a final round four-under-par 68 for a winning total of 14-under-par 274 to win US$180,000 in prize money while overnight leader Rory pocketed US$102,000, in his biggest take ever.

Rory, playing in the final pairing behind Stolz, birdied the last two holes and lost his chance of winning after bogeying the 10th, double bogeying the 11th and bogeying the 12th.

“I really thought this was going to be my week. I prepared so hard. I am proud of the way I finished the round and this final day has been a great learning experience,” said Rory, who claimed the International Championship at the Imperial in 2008 on the ASEAN PGA Tour just months after turning pro.

“It’s bittersweet. I gave my best to win but I think that’s all I have. It’s not my biggest win but it is the biggest check I have ever had,” Rory said.

“I’m very thankful for what my dad has done for me since I was young. I owe everything to my dad,” Rory said, referring to his father and caddy, Tommy Hie.

Rory played for the University of Southern California and at one point was ranked the sixth best amateur in the world, leaving after two years to turn pro.

Culture Tourism Minister Jero Wacik hailed Rory as a future golf champion.

“We are proud that the Indonesia PGA Championship has been a success and we are also proud that we had a player that finished as a runner-up. He is just 23-years-old so there is still a lot of time to go. This is just a delayed victory for him,” Jero said.

“Over the last three days, TV coverage has always mentioned Indonesia because Rory was among the leaders. This rarely happens at any international golf championship — and this one was under PGA sanction.”

“President Susilo Bambang Yudhoyono, when he heard that Rory was the leader [Saturday], expected that Rory would finished in at least the top 10 [Sunday], but fantastically this young man finished second,” Jero said.

Sweet come back: Australian Andre Stolz and his wife, who caddied for him, enjoy a celebratory embrace after the final round of the Indonesia PGA Championship at Imperial Klub Golf in Karawaci, Tangerang, on Sunday. JP/matheos V. MessakhSweet come back: Australian Andre Stolz and his wife, who caddied for him, enjoy a celebratory embrace after the final round of the Indonesia PGA Championship at Imperial Klub Golf in Karawaci, Tangerang, on Sunday. [Courtesy of OneAsia]

Stolz was one of his country’s finest players before a wrist problem had a profound effect on his career

He won titles at the US PGA Tour, the Nationwide Tour and the Japan Tour plus tasted victory four times on the PGA Tour of Australasia.

However, in 2005 a nagging wrist injury caused by wear and tear forced him into retirement for nearly three years. He gradually started to play again and rejoined the Tour in Australia in 2008.

New Zealander Gareth Paddison and Park Eun-shin from Korea finished one stroke further back in the OneAsia season-opening event.

Stolz won the Victorian PGA Championship in 2009 but his win this week, worth a cool US$180,000, emphatically announced his return to the top tier.

“A couple of years ago I thought I would never play again and now I am standing here with a trophy for a US$1million event. It will take some time to sink in,” Stolz, accompanied by his wife and caddy Cathy, said.

Thailand’s Thaworn Wiratchant finished fifth after shooting a 70. He thrilled the crowds by holing his second shot for an eagle on the 17th.

China’s Liang Wenchong, the reigning OneAsia Order of Merit champion, ended in a tie for 28th place after closing with a 76.

Sunday, December 12, 2010

‘It’s all Chinese to me’, but the rest is great

Matheos Viktor Messakh, The Jakarta Post | Tue, 11/16/2010 9:53 AM | Sports
A | A | A |

Ask for directions or help from the Guangzhou 2010 Asian Games volunteers and you will never get a direct answer. Most of the time you will receive the reply: “wait a minute”, and the person you addressed will go off to find someone from their team that can speak better English.

Although the language barrier is a small problem — it sometimes is frustrating, especially if you in a hurry. After all, there are 600,000 volunteers at the Guangzhou 2010 Asian Games and Asian Para Games scattered on every corner of the city and in the neighboring towns to provide help for foreign delegates, journalists and spectators.

“For the first two days I found it very difficult but it got better after that,” said 20-year-old Liu Weihuan, who is a member of a press work room at the Nansha Gymnasium, the stage for the wushu competition.

A boat that attracts people from all walks of life

Matheos Viktor Messakh, The Jakarta Post, Guangzhou, China | Sun, 11/21/2010 2:40 PM | Sports
A | A | A |

While many professional athletes struggle to find their way into the limelight at international multi-event sporting competitions, such as the current Guangzhou Asian Games, teams of fantastic amateur boat racers are now unable to avoid publicity.

Civil servants, police officers, soldiers, nurses, firemen, fishermen, housewives, teachers and students all joined the colorful Asian Games dragon boat race competition, which made its Asiad debut on Tuesday.

Indonesian policeman Silo said he has had no difficulties joining the national team because his superiors were supportive and granted him training leave.

“If there is no training camp, I am a police officer as usual, and there is no special treatment for me,” said the 25-year-old first brigadier officer who works as a training instructor in Central Kalimantan.

“But I’m very grateful because my superiors support me, and they will have no objection if there is a call for me from the National Sports Council [KONI].”

For Silo, dragon boat racing has the same principles as police work. “Its like a police brigade, one for all and all for one,” Silo said.

The Indonesian men’s team consists of policemen, a marine, several civil servants and university students. Sixteen of the 22-strong squad are new members, while the rest are members of the previous team that competed in several Southeast Asian (SEA) Games and the Bali Asian Beach Games.

Silo’s teammate, civil servant Didin Rusdiana, said he discovered dragon boat racing by accident when university students from Jakarta came to train in his home town near Bandung a few years back. He was hoping that his dragon boat racing efforts would help the new Asian Games sport gain global exposure as it chases a berth in the Olympics.

Japan’s men’s dragon boat team consists of staff from Uohashi Hospital in Aioi, and despite borrowing boats to train and only hitting the water once or twice a month, there is nothing amateur about this crew’s mindset when it comes to competition.

“Our team is all nurses, and in most people’s eyes seems to be weaker than athletes from other teams,” captain Takamasa Matsuno told the Asiad News service.

The Japanese nurses finished first in the 500-meter minor final for a ranking of seventh, and second in the 1,000-meter minor final to take eighth in the event.

The squad is a member of a 10-year-old dragon boat club that won a third straight national open championship in July to qualify for Guangzhou.

Takamasa said they told their patients that they were planning on competing in the Asiad. “They were very supportive and cheered for me. My boss also supported me, so I was able to train indoors in the morning and evenings.”

The Macao team has another dragon boat story. The team is made up of firemen.

“Even many of full-time athletes didn’t get the chance to come here, but we made it. I really feel very lucky,” 31-year-old Macao fireman Chang Wa Ieng told the Asiad Daily, the China Daily supplement for Asian Games.

Chou Pi-Chieh, a 29-year-old high school teacher from Chinese Taipei, whose team competed for the first time, said most of his teammates were students, most in college and some still in high school.

“We broke a paddle during the heat and didn’t have a reserve in the boat, and a lot of our rowers are young and lack experience at such a high-profile event. We can do a lot better,” Pi-Chieh said.

Dragon boat racing, which has its ancient roots in southern China, was added to the Asian program along with kabbadi, sepaktakraw, wushu and the traditional Asian board game of go (weiqi).

Dragon boat racing was revived as a competitive sport in 1976 in Hong Kong. It has been contested worldwide since the International Dragon Boat Federation was formed in 1991.

For the 2014 Incheon program, the Incheon organizers have proposed baseball, bowling, kabaddi, sepaktakraw, softball and squash.

The Olympic Council of Asia would like to see cricket included due to high spectator interest and TV ratings, and karate because of its Asian roots and global popularity. The decision will be made during the next executive board meeting in Muscat, Oman.

Securing the Guangzhou showcase

Matheos Viktor Messakh, The Jakarta Post, Guangzhou, China | Sun, 11/21/2010 2:41 PM | Sports

An Indonesian journalist unintentionally left his ID card at the main press room and went to the toilet outside.

He was stopped by a security guard when he was about to exit the toilet, and was escorted to the news room to retrieve his ID card.

That was only one little story about how tight the security arrangement has been during the 16th Guangzhou Asian Games.

The local police chief revealed Thursday that the Asian Games security arrangement comprised a four level security line: community security, neighboring area security, torch relay security and venue security.

The police estimated that over 800,000 people have taken part in community security.

“We believe a peaceful and harmonious society is essential to the safety of all sports teams, technical officials, team officials and spectators,” He Guangping, deputy director general of the Guangdong provincial public security department, said at a press conference Thursday.

Since last April the police had launched a campaign for game security called “Social Security for a Safe Asian Games” in which they applied advanced information technology in inter-district and multi-force crack downs against crime.

Three security circles had been mapped out with the sports venues at the center, a circle around Guangdong province, and a circle around host city Guangzhou and co-host cities Foshan, Dongguan and Shanwei.

Since Oct. 10, the police also tightened supervision of road traffic, water traffic, air traffic and rail links by setting up 56 check points along the provincial circle, 76 check points along the city circle, 26 points along waterways and 24 points along rail links. A total of over 3,600 policemen and 7,400 security staff are deployed at these check points.

As of last Tuesday, highway checkpoints had pulled over 2,734,000 vehicles, interviewed more than five million passengers and nabbed “1,740 criminal suspects and 207 wanted criminals.” Police also confiscated 1,979,000 fireworks and 65,000 kilograms of dangerous chemicals.

Security teams have also been deployed at each venue and every residential area.

Physical isolation and technical protection facilities have been installed at all venue and competition areas. “We have a well-equipped nuclear biochemical detection team, professional teams responsible for technical protection, venue security checks, human and vehicle checks, water security checks, an explosives removal team and a special group with explosive detective dogs,” said Guangping.

In the wake of a high-rise inferno that killed 53 people in Shanghai last week, more than 600 fire inspectors have been deployed at the venues, the Asian Games Village and hotels to identify loopholes and remove any possible fire threats to security.

Guangping claimed that the security plan was based on practices adopted by the Beijing Olympics and the 60 anniversary celebrations of the founding of the People Republic of China, both of which were in line with the relevant rules of the Asian Games and the Olympics.

“We believe we can deliver not only a safe Asian Games, but a friendly one. The safety of events
in all venues will remain our priority, and we will deploy the police force to the most needed areas to work jointly with the communities,” he said.

For the Nov. 12 opening ceremony alone up to 100,000 security personnel were on full alert in Guangzhou, Foshan, Dongguan and Shanwei. “Among them, 40,000 personnel were deployed around the Haixinsha Island, the site of the opening. Despite the unprecedented challenges, there have so far been no major security incidents at these games, thanks to arduous preparation,” He Guangping said.
ws

Guangzhou praised for perfect preparation

Matheos Viktor Messakh, The Jakarta Post | Mon, 11/15/2010 11:45 AM | Sports

While Indonesia has been busy debating how much money should be spent and where the various sporting events should be held for the South-east Asian (SEA) Games, the Chinese province of Guangzhou began preparing for the 16th Asian Games six years in advance.

Guangzhou, the richest province in China, has spent 13.6 billion Yuan (US$2.04 billion) on the Asian Games and the Asian Para Games, slightly lower than the 2006 Asian Games, which cost host Doha $2.8 billion.

The money was used to build 12 new stadiums, to upgrade 58 existing venues and to build support facilities for the event.

Instead of building stadiums only in a few regions, the arenas have been arranged around the downtown and suburban areas of the city.

“At first we thought of building the stadiums in a concentrated area. But we changed our mind because we want to let people in different parts of the city enjoy the legacy of the Asian Games, for years to come,” 16th Asian Games (GAGOC) organizing committee secretary-general Zhang Guangning told China Daily.

An Asian Games Town is built in an area of 2.73 square kilometers, which comprise eight functional areas including Athlete Village, Media Village and Main Media Center, all of which were completed by Aug. 2010.

As the games host the biggest number of sports in the history of the Asian Games, including 28 Olympic sports and 14 non-Olympic sports, the organizers have organized 150 medical teams, 3,700 vehicles and a team of 60,000 volunteers.

A total of 4,280 technical officials were also appointed, of which 1,911 are international officials. Among the internationals, 506 are Chinese nationals.

As last minute preparations have tarnished the image of many countries in the past, including the recent India Commonwealth Games, the Guangzhou administration has been meticulous throughout the entire preparation process. Since Guangzhou won the bid to host the 2010 games in July 2004, the administration has been dedicated to improving water and air quality, dwelling conditions and transportation in the city.

At the beginning of this month the administration began providing free subway commutes and bus rides for the public, including on a new line from the Baiyun Airport to the downtown area.

However, when it became clear these transportation modes had become too crowded as a result of the policy — passenger volume hit 17.45 million per day — the free policy was revoked and replaced with a 150-yuan subsidy for each family in Guangzhou.

The Guangzhou Games are somewhat focused on the sustainable development and post-games use of facilities, a topic that became a hot issues for the Beijing Olympic Games, deputy GAGOC secretary-general Xu Ruisheng said.

“After six years of preparation, everything is ready for these games in Guangzhou,” Xu Ruisheng said Wednesday, ahead of the spectacular opening ceremony on Friday evening, adding that the 16th Asian Games had progressed through many stages.

Indeed, the Friday night opening ceremony was evidence that the organizing committee had done very well in their preparations, which a 14-month-long rehearsal schedule for the opening act.

At the 380 million Yuan ceremony at Haixinsha (meaning “sand in the heart of the river”), a boat-shaped shoal in the Pearl River sat surrounded by residential buildings and skyscrapers, including the 610-meter high Canton Tower.

With the concept of “taking the Pearl River as the stage and taking the city as the background”, the site for the opening ceremony was open, unlike others that have been held in enclosed stadiums.

Unlike a traditional parade, delegations from every country made their entrance via boat. A total of 45 pleasure boats, featuring landmarks from the event’s 45 participating countries, embarked on a 9.3 kilometer cruise on the Pearl River to the main venue, Haixinsha.

Fireworks exploded from the base of the city’s new iconic landmark, Guangzhou Tower, making the tower look like a blossoming Kapok tree, which is regarded as Guangzhou’s official floral emblem. The fireworks were set off at 960 sites throughout Guangzhou, including Haixinsha. Thousands of fireworks exploded around the Guangzhou Tower, and more than 40,000 projectiles were fired while 580 officials monitored the display.

Chief fireworks designer Christophe Bertoneau also played a major part in the opening and closing ceremonies of the 2004 Athens Olympic Games.

The organizing committee said the fireworks were “low-carbon” and environmentally friendly. “We have applied to the Guinness World Book of Records for fireworks,” said fireworks headquarter chief Zhao Weiping.

The same wushu athletes who dazzled onlookers at the opening of the 2008 Beijing Olympic stole the show again on Friday night, flying almost 80 meters above ground on steel wires.

The 160 “flying teens”, who were divided into eight groups, used their bodies to form various shapes, including mountains, fish, seagulls and flowers against a changing backdrop provided by huge LED screens for what amounted to a breathtaking 10-minute performance.

In contrast, a smaller group of 60 performed in Beijing by circling a globe representing the earth to the accompaniment of a 1,000-person drum assembly.

“It was unique, and the organizing committee was perfect. I tried to find something wrong with the ceremony but I could not. I am happy and appreciate what they have done for us,” said Iran team official Hassan Teimourtash.

IOC President Jacques Rogge praised the city. “Guangzhou definitely has the skill to [host the Olympics],” he told reporters Saturday. “Guangzhou has the expertise and experience from these games.”


Wednesday, November 24, 2010

Santia brings husband birthday gift, eyes London Olympics

Matheos Viktor Messakh, The Jakarta Post, Guangzhou, China | Wed, 11/24/2010 11:15 AM

Despite winning another silver for Indonesia at the Women’s Individual Road Race at Guangzhou Triathlon Venue on Tuesday, Indonesian cyclist Santia Tri Kusuma says her next target is to bring back a medal from the 2012 London Olympics.

“I hope I go to London for the 2012 Olympics, and I’ll try my best to win a medal,” she said after the 100-kilometer race at Pan Yu District of Guangzhou.

Santia crossed the finish line in two hours 47 minutes 46.52 seconds behind Hsiao Mei Yu of Taiwan who snatched the gold medal with 2:47:46.12, while China’s Zhao Na took bronze with 2:47:46.63.

“This is a birthday gift for my husband [Indonesian cyclist Rochmat Nugraha], which will fall tomorrow,” said the 29-year-old.

“I am very happy because this event is not my favorite. I was expected to win a medal in track but I failed. So it is kind of a revenge for me. Moreover, it was quite hard for me to pull out of the pack and only in the last 300 meters was I able to sprint,” she said.

The 2007 Manila SEA Games double gold medalist said that the race was not so difficult as the course was fairly flat and not very hilly, but there was a small corner approaching the finish, which may have cause a bit of trouble for her.

“My compatriot Tonton [Susanto] fell there yesterday but luckily I didn’t,” she explained.

Starting with race number 31, Santia was 23rd of 28 cyclists in the first 20 kilometers of the five-lap race with 34 minutes 59.64, dropping behind to 26th in the second 20 kilometers with one hour seven minutes 59.96 seconds, but advanced to 22 in the third lap with 1:38:21.89 and pressed forward to 21st in the fourth lap with 2:12:31.49.

Santia started the final sprint in the very front, ahead of 2006 Doha Asian Games silver medalist Zhao Na, but in the final 100 meters, Hsiao Mei Yu accelerated hard down the right side of the road, catching Zhao Na and Santia by surprise.

Hsiao passed Zhao, who was looking at the rider to the left, and maintained her sprint to cross the line four bike-lengths ahead of Santia.

Pre-race favorite Natalya Stefanskaya of Kazakhstan placed fourth, while You Jina of Korea was one place behind her in fifth, while Santia’s compatriot Yanthi Fuchianty was ninth with 2:47:48.35.

Hsiao adds this gold to the bronze medal she won in the women’s 500-meter Time Trial last Saturday.

Hsiao’s gold is the first medal for Taiwan in Road Cycling in the history of the Asian Games.

Hsiao, a member of Hong Kong’s Giant Pro Cycling club, is also the fifth female from Taiwan to win a medal of each color at the Asian Games, and also the fifth person to win a medal in two different sports disciplines at the 2010 Asian Games. All five previous athletes have won their medals in Road Track Cycling.

Tuesday, November 23, 2010

Local legend inspires mascots and emblem

The Jakarta Post | Tue, 11/23/2010 12:16 PM

If we look carefully at the Asian Games emblem, is seems to be a simple flame, but the rising torch-like curves actually outline the Five Celestial Goats, a famous Guangzhou landmark.

The emblem is indeed designed to symbolizing the dynamic athletic flare of the Games, but it also represents Guangzhou in many ways.

The design of both the 16th Asian Games emblem and its mascots was inspired by a legend about the city of Guangzhou materialized in a huge statue in the heart of the city — the Sculpture of the Five Rams.

As the legend goes, a long time ago the farm lands in Guangzhou ran dry. Crops could not be grown and a famine struck the people. They could do nothing but pray to the heavens for good luck. One day, a heavenly melody suddenly rang out and five angels came down from the heavens, each wearing different colored coats. The angels arrived riding on goats, and each goat carried bundles of rice with their teeth. The immortals gave the rice to the people of Guangzhou, and promised that the land would soon be free of famine.

The angels then rose up to the clouds and gradually disappeared. The five goats they left behind turned into stone. From that time onward Guangzhou reaped bumper harvests of grain every year and became the most prosperous city in south China. The story has been passed down from generation to generation and has rendered Guangzhou the title “The Ram City”.

The Sculpture of the Five Rams, located within the 868,000 square meter recreational and cultural Yuexiu Park, was created in 1959 by three famous Chinese sculptors; Ying Jichang, Kong Fanwei and Chen Benzhong. The Yuexiu Park itself is a historic scenic spot in the city, constructed around the year 1380 during the Hongwu period of the Ming Dynasty.

The sculpture is made of 53 cubic meters of granite, including the base, and stands over 10 meters tall. The heads of the rams weigh two tons each, and the two-meter horns weigh over 500 kilograms.

The sculpture is surrounded by verdant woods and the nearby Nanxiu Lake glistens with silvery ripples and picturesque reflections.

Locals regard the statute as the city’s emblem. In 1989, more stones carvings in commemorating this moving legend expanded the Five Rams Scenic Area into today’s Five Rams Celestial Court.

The five goats, which together are known as Le Yangyang, have been made into the five cute and sporty official mascots of the 16th Asian Games.

Each of the five goats has a different color coinciding the colors of the five Olympic rings, thereby embodying the Olympic spirit at the Asian Games. The names of the five goats are A Xiang, A He, A Ru, A Yi and Le Yangyang, which when spoken together form the Chinese phrase “Xiang He Ru Yi Le Yangyang”, meaning “Peace, Harmony and Great Happiness, with everything going as you wish”.

Both the emblem and the mascot are the result of a long and tight competition.

By June 2007, a total of 812 mascots proposals had been received by the Guangzhou Asian Games Organizing Committee (GAGOC), including submissions from the US, Germany, Canada, Australia, Taiwan and Hong Kong. About 100 entries were short-listed, and on Dec. 2007 the five goats were selected by GAGOC as the basic concept for the Asian Games mascot.

Even before being made official, the mascot, together with Beijing Olympic Games Fuwa and Paralympics Games mascot Funiu Lele, was recognized with the Best Sports Cartoon prize at the first China International Cartoon and Animation Festival and Award Ceremony and again at the 5th Golden Dragon Original Cartoon and Animation Contest on Sept. 28, 2008.

In April 2010, the five goats concept was approved by GAGOC as the official mascot for the games.

“This corresponds with the concept of the 16th Asian Games — “Thrilling Games, Harmonious Asia”, the organizing committee said in a statement.

The competition for the emblem started in Sept. 2006 when the GAGOC invited several companies and a postgraduate from the Guangzhou Academy of Fine Arts to participate in the design competition, asking them to submit designs for consideration.

Some 100 designs were collected. After repeated modification and screening rounds, the piece by Guangzhou-based designer Zhang Qiang and his design team of Zhongjia Design Co. Ltd. [including Zhang Yi, Yang Jingsong, Hatoli Hikahiko, Li Chenjia and Liang Yihui] won the competition.

“When you put the five names of the mascots together, they represent the hopes of local people that the Games will bring peace, auspiciousness and happiness to the people of Asia,” said GAGOC publicity director Luo Jingjun, as quoted by the SEA Games official website.

— JP/Matheos Viktor Messakh

Fun Fact and features of Le Yangyang

The five colors of the mascots are identical with the colors of the Olympic Rings. “It is to imply that the Guangzhou 2010 Asian Games inherits and carries forward the Olympics spirit.”

The blue “A Xiang” symbolizes the meandering and flowing Pearl River as well as the cordial character and the open-mindedness of Guangzhou people.

The black “A He” symbolizes the long history of Lingnan culture and the profound historical and cultural heritage of the ancient city.

The red “A Ru” symbolizes the city’s floral emblem, Kapok.

The green “A Yi” symbolizes Baiyun Mountain.

The yellow “Le Yangyang” is identical with the colors of rice ears and symbolizes harvest and joy.