Friday, November 25, 2011

Aku mengingat guru-guruku



Sekolah di Rote, tahun tidak diketahui. Sumber: James Fox, Harvest of the Palm, hal. 133
Kecil perawakannya,
Ramah dan selalu tersenyum
Aku masih ingat senyum dan suaranya
Suka mengajak kami menyanyi
Ia pandai bercerita
Sebuah cerita dari sebuah buku bergambar
tentang burung-burung di atas sebuah pohon besar
tak pernah kulupakan sampai sekarang


Selalu ingin kucari buku itu
Tetapi belum jua kutemukan
Ia suka membuat kami berlomba membaca di kelas
Pak Dopen namanya, aku sudah lupa nama depannya
Dia guru pertamaku di kelas satu SD
di sebuah kampung, di pulau paling selatan negara ini
Entah di mana dia sekarang

Ia seorang ibu yang ramah
Aku tahu dia sayang kepadaku
Ia tahu kelebihan dan kelemahanku
Jam pelajaran membaca ia begitu bangga padaku
Jam matematika, ia tersenyum seakan mengerti
Menunggu sampai aku selesai
di saat hampir seisi kelas sudah selesai
Ibu Thene, aku tahu dia sangat baik padaku
dari caranya memperlakukanku

Dia galak
Seisi sekolah takut kepadanya
Aku juga, tetapi aku berusaha mengerjakan semua tugasku
Membaca dan mengikuti pelajarannya dengan seksama
Mungkin karena itu aku selalu mendapat nilai baik darinya
Puluhan tahun kemudian aku tak mungkin bicara bahasa Inggris
Tanpa sekali terlintas di benakku Martinus Suban
Keras, sistematis, namun tahu apa yang dilakukan

Dia ada dalam lintasan hidupku
Ketika aku sangat kacau
Aku merasa diperlakukan tidak adil oleh sekolah
Aku protes, walau dengan cara yang salah
Sering bolos, dan segala macam kenakalan yang dilakukan anak SMA
Tak ada guru yang benar di mataku saat itu
Namun sebuah tempelengan kecil dengan dua jari di pipiku
Tidak keras, namun tak akan pernah kulupakan sampai sekarang
Aku tak marah, aku malu sekali waktu itu
Malu bukan karena dipukul secara keras, tetapi karena disentuh pealn dengan dua jari
Sentuhan dua jari  itu ternyata kekuatannya jauh lebih besar
Dari tamparan keras lima jari penuh amarah
Ia membuka mataku sampai bertahun-tahun
Sampai sekarang aku tetap malu kalau mengingatnya
Frans Sowo nama guru itu

Ia cerdas dan konsisten
Kadang sinikal namun lucu
Ia melucu tanpa tertawa
Analisisnya terhadap persoalan kekinian selalu membuat tertawa
Aku tahu apa yang ia mau dari mahasiswa
Aku tak pernah punya buku yang ia wajibkan bagi kami
Namun sesi tanya jawab tak pernah kusia-siakan
Alhasil dia tak pernah tahu apakah aku punya buku itu atau tidak
Ia membenci mereka yang tahu setengah-setengah
Baginya lebih baik tidak tahu
daripada tahu separuh-separuh
Ia tahu batasan pengetahuannya
Namun ia bukan guru berkacamata kuda
Wawasannya luas, seluas konsistensi berpikirnya
Sekuat ketahanan intelektualnya
Andreas Anaguru Yewangoe namanya
Ujilah ia maka engkau akan tahu ia semurni pikirannya

Ada banyak guru dalam hidupku
Kakekku seorang guru dan ibuku seorang guru
Kritis namun tak pernah mengeluh
Sama memperlakukan anak sendiri dan anak lain
Aku ingat wajah-wajah mereka sekarang
Sampai kapanpun akan kuingat
Mereka adalah orang-orang dalam perjalanan hidupku

Oh, ada seorang guru yang tak mengajar di kelasku
Tapi aku bisa membaca karenanya
Bahkan sebelum aku menyentuh bangku sekolah
Magdalena Lenggu, adik ibuku
Ti’i nona begitu biasa kupanggil
di rumah nenek, dalam keadaan hamil besar, ia mengajarku membaca
Terima kasih ti’i nona, terima kasih semua guruku
Kalian adalah wajah-wajah yang tak mungkin aku lupakan

Serpong, 25 November

Selamat hari guru

 Keterangan foto: Sekolah di Rote, tahun tidak diketahui. Sumber: James Fox, Harvest of the Palm, hal. 133

Wednesday, November 23, 2011

Selamat Hari Ayah, papa....

Aku dan papa di Bandara Sukarno-Hatta, saat papa mengunjungi kami untuk terkahir kalinya.
Selama hampir 37 tahun hidupku, ia tak pernah sekalipun memegang tangaku mengajak bermain bola seperti ayah lain memperlakukan anak-anaknya. Ketika aku masih kecil, aku malah takut kepadanya. Aku pun pernah menanggap dia bukan ayahku, karena aku tinggal bersama kakek nenekku dan aku memanggil dia “bu Min” artinya kakak Min.

Memang aku tahu bahwa ia ayahku, dari menguping percakapan orang-orang dewasa, namun secara mental aku lebih siap memanggil papa dan mama kepada kakek dan nenekku. Aku ingat ia pernah satu kali datang menjenguk ku di Rote, aku tak punya rasa apa-apa terhadapnya. Mungkin karena aku masih terlalu kecil, belum juga SD saat itu. Tapi aku ingat ia memberikanku sebuah sisir aluminum yang punya kaitan seperti bullpen. Aku menjadikan sisir itu mobil-mobilan.

Saat di Rote itulah hampir setiap liburan aku dibawa ke kota yang bernama Kupang untuk menengok “bu dan susi” di Kupang. Anak-anak lain mungkin berlibur ke rumah nenek dan kakek di desa, aku mengunjungi “kakak perempuan besar” ku yang menikah dengan “Om Min Messakh” di kota.

Aku pindah ke kota sekitar kelas 3 SD, tinggal bersamanya,  ibuku dan saudara-saudaraku. Suatu lompatan yang sangat besar dalam hidupku. Dari kehidupan seorang anak yang dimanjakan kakek neneknya ke kehidupan sebuah keluarga dimana sang ayah menerapkan disiplin yang ketat kepada enam orang anak laki-lakinya. Aku ingat aku menangis tiap malam di tempat tidurku mengingat kakek dan nenek. apalagi kalau aku merasa disakiti, aku ingin pulang ke Rote.
Sikap papa yang keras dan tegas lebih sering kusalah mengerti. Ia selalu memperlakukan kami secara sama. Satu salah semua kena hukuman.

Jangan pernah membayangkan ia mengosongkan sakunya untuk kami tidur di pangkuannya seperi anak-anak lain, jangan pernah berharap ia mengantar atau menjemput kami dari sekolah setiap hari, membawa kami jalan-jalan atau bermain permainan bodoh anak-anak.  Sangat mahal ia memberi pujian kepada kami. Jangan pernah berharap dia ada di tepi tempat tidurmu ketika kamu sakit, atau membacakan dongeng kesukaanmu sebelum tidur. Jangan juga mengharapkan kue atau hadiah ulang tahun darinya. Satu-satunya kemewahan bagi kami, itupun hanya ketika masih SD saja, adalah baju baru menjelang natal dan tahun baru: Seragam kebesaran enam orang anak laki-laki.

Ia hanya tak tanggung-tanggung kalau kami meminta buku dan peralatan sekolah. Aku ingat ia datang sendiri ke asrama tempat aku tinggal saat kuliah, lengkap dengan pakaian seragam pegawai negerinya, mengantarkan fotocopyan leksikon Yunani yang hampir setebal 3 Alkitab. Aku memintanya memfotocopy buku itu karena aku tak punya uang. Ia  mengantarkannya sendiri walupun tak kuminta. Kalau aku meminta barang lain tak mungkin dia mengantarkannya. Buku memang makanan kami sejak kecil. Ia selalu membelikan kami buku walaupun buku itu belum tentu kami sukai, ia akan menyimpannya di rumah sampai satu saat kami membuka dan membacanya.

Aku pernah marah dan mengujinya, karena aku berpikir apakah ia akan pernah membelikan aku barang lain selain buku? Saat selesai membeli sebuah buku di sebuah toko buku di Kupang, aku memintanya membelikan aku baju. Ia membelikannya, satu saja sesuai permintaanku. Setidaknya itulah sekali aku ingat membelikanku baju secara khusus kepadaku. Ia tak pernah memberi lebih dari apa yang kami minta.

Ada penyesalan yang takkan pernah hilang di hatiku bahwa aku tak sempat memberinya kebahagiaan di hari tuanya, menyenangkannya selagi aku mampu. Tapi aku juga tahu bahwa sebesar apapun usaha kita untuk membalas kasih orang tua, takkan sekali-kali pernah terbalaskan, sekaya apapun engkau, sebesar apapun pemberianmu.

Di saat dia sakit keras di rumah sakit dan aku datang menjenguknya, anak istriku tidak kubawa karena terburu-buru. Aku membawakannya sebuah topi cowboy kesukaannya yang kubelikan dari Jeju Island, Korea Selatan. Ia malah mengomentari jam tanganku. “bagus” katanya. Tak pernah dia memuji seperti itu dan akau tahu bahwa ia ingin memintanya tapi malu mengatakannya. Akupun pura-pura tidak mengubris karena tak terpikir olehku kalau ia akan pergi selamanya beberapa minggu kemudian. Aku berpikir, aku masih bisa membelikannya yang lebih baik dari yang kupunya sekarang. Namun ternyata hidup berkata lain, bukan jam tanganku yang kuberikan kepadanya melainkan cicinnya yang aku pakai sekarang sebagai kenangan akannya.

Tapi aku bisa saja terus menceritakan sejuta kenangan manis, tapi cukuplah cerita-cerita di atas. Mungkin ia tak pernah mengatakan sekalipun ia mencintai kami, mungkin dia tak pernah mengantarkan kami ke sekolah minggu atau ke sekolah, mungkin ia tak pernah mengajak kami bermain, dan melakukan hal lain yang lazim dilakukan ayah dan anak; tapi hidupnya selama bersama kami telah membuktikan segalanya. Dalam waktu 37 tahun aku tak pernah ragu bahwa ia membanggakanku dan saudara-saudaraku. Bahwa ia tak pernah pilih kasih terhadap kami berenam bahwa ia sungguh mencintai ibuku.

Aku percaya sedalam-dalam sampai saat ini bahwa, dia mencintai kami sebagai batu karang yang teguh. Dia tak pernah berlaku sebagai layaknya ayah-ayah lain kepada anak-anaknya karena memang dia bukan begitu. Setiap orang mencintai dan mengekspresikan cinta dengan caranya sendiri. Tergantung latar belakang hidupnya. Dia datang dari jaman yang berbeda, dari dunia yang berbeda, bahkan kalau boleh dikata dari keluarga yang berbeda. Sulung dari 11 bersaudara dia telah mandiri sejak kecil. Sejak SMP dia sudah bersekolah jauh dari rumah, sejak SMA dia merantau ke Kupang, menumpang di rumah orang.

Sikapnya keras, bahkan cenderung kaku. Tapi aku tak pernah meragukan bahwa jauh di dalam lubuk hatinya, ia sangat menyayangi kami. Tentu saja kami pernah protes, verbal maupun unverbal, tapi itu tak akan merubahnya. “Saat kita kecil, orang tualah yang mengerti kita, saat kita dewasa kitalah yang harus memahami orang tua kita,” kataku kepada adik-adiku kalau mereka protes.

Aku percaya ia mencintai kami lebih dari apapun sampai akhir hayatnya. Sampai akhir hidupnya ia tetap Benyamin Messakh yang kami kenal. Tak berubah sedikitpun, terhadap kami maupun terhadap orang lain. Saat kami mengantarkannya ke liang lahat dengan pakaian adat Rote kebesaran kami, kakak sulungku berkata: “beta kira dia su pensiun jadi sonde laku-laku lai, orang su lupa sang dia. Tapi ini hari beta tahu orang masih sayang dia.”

Ia mungkin tak terkenal, engkau tak akan melihatnya di televisi. Tapi ia adalah pahlawan bagiku. Teman-temanya memanggilnya Min, orang-orang memanggilnya Om Min atau Bu  Min, ibuku memanggil “bu” saja. Aku memanggilnya Papa. Selamat hari Ayah, papa!

Serpong, 20 Juni 2011



Monday, November 21, 2011

Apuse bukan Garuda


Kalau malam ini mereka kalah, biasa saja. jangan sekali-kali keluarkan kebiasaan Indonesia mu itu dengan menyalahkan mereka karena mereka sudah terlalu banyak berkorban. 
Bukan hanya di lapangan berukuran 110 x 75 meter itu, tetapi di tanah seluas 420.540 km² itu banyak yang sudah mereka korbankan untuk Indonesia, bahkan lagu yang kalian nyanyikan di lapangan sepakbola dengan fasih adalah perampasan dari lagu mereka "APUSE"....
Mulai dari Biak sampe Merauke, dari Raja Ampat sampe Tanah Merah, satu saat akan berkibar Bintang Kejora dan bergema "Hai Tanahku Papua"..