Monday, January 28, 2013

PNS adalah Profesi Mulia

Sumpah Jabatan. (Sumber: fosgambir.blogspot.com)
“PNS itu profesi ka?” tulis adik saya seorang PNS di status facebooknya. Saya tak tahu apa latar belakang ia menulis status itu tapi saya merespon: “lalu apa?”. Kemudian kakak sulung saya merespon juga: “Tergantung, kalau masuk, mengisi absen dan pulang maka jangan mengaku itu profesi. Tapi kalau kerja sungguh-sungguh baru boleh mengaku itu profesi”.

Tapi ini sebenarnya bukan urusan kakak beradik semata. Ini urusan fundamental jati diri manusia Indonesia sekarang. Sudah sejak jaman kakek Max Weber istilah profesi ini menjadi bahasan. Pada tahun 1917, Max Weber atas undangan the Association of Free Students memberikan kuliah “Science as Profession“ di Munich, yang kemudian diterbitkan pada tahun 1919, setahun sebelum ia meninggal. [1]

Thema “vocation” atau “calling” memang memegang peran central dalam karya-karya Weber terutama di dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Seseorang dapat digambarkan sebagai mempunyai vocation (Jerman: beruf) jika individu tersebut mempunyai rasa tujuan yang kuat (strong sense of purpose) akan pekerjaannya. Argumen sentral dalam The Protestant Ethic ialah bahwa gagasan tentang panggilan pertama-tama berkembang dalam Protestantisme dan kemudian menjadi bagian dari semangat kapitalisme. Dengan kata lain, semula panggilan itu mempunyai makna relijius kemudian kehilangan makna relijiusnya.
[sumber:salingsilang.com]

Dalam The Protestant Ethic Weber menguraikan bahwa menurut kaum Protestan, sebuah panggilan merepresentasikan “serangkaian tugas yang disediakan oleh Allah” yang harus dipenuhi (PE. 79). Beruf menjadi sebuah pengertian sekuler ketika dipandang sebagai “sebuah kewajiban yang seharusnya dirasakan seseorang terhadap isi dari aktifitas profesionalnya, tanpa memandang dimanapun kewajiban itu itu terkandung, atau lebih khusus lagi tanpa memandang bagaimanapun tampaknya di permukaan sebagai sebuah pemanfaatan dari kuasa-kuasa personalnya, atau bahkan hanya pemanfaatan dari harta bendanya.” Weber berargumen bahwa pengertian dari “tugas seseorang di dalam sebuah panggilan adalah kharakter mendasar etika sosial dari budaya kapitalistik, dan dengan demikian adalah basis fundamental dari budaya kapitalistik.” (PE.79)

Dengan melihat kerja sebagai panggilan, kaum Protestan telah membantu untuk memunculkan kapitalisme modern dengan menciptakan sebuah gaya hidup yang mengandung semangat kapitalisme baru.

Singkatnya, asal usul konsep panggilan (beruf), menurut Weber, berasal dari tugas-tugas relijius yang diatur oleh Allah kemudian diperluas oleh Marthin Luther ke dunia sekuler melalui terjemahan Alkitabnya. (Sirach II:20-21, PE, 79, 204.) Menurut Harvey Goldman, walaupun beruf awalnya berarti “panggilan”, sekarang berarti “pekerjaan” atau “profesi”.[2]

Menurut Merriam-Webster online, kata profession mempunyai beberapa arti antara lain: (1) the act of taking the vows of a religious community, (2) an act of openly declaring or publicly claiming a belief, faith, or opinion : protestation, (3) an avowed religious faith; (4) a : a calling; requiring specialized knowledge and often long and intensive academic preparation; b : a principal calling, vocation, or employment, c : the whole body of persons engaged in a calling.

Kata profession yang mulai dikenal sekitar abad 13 Masehi ini berasal dari bahasa Middle English: professioun, dari Anglo-French: profession, dari Latin: profession-, professio, atau dari  profitēri yang berarti deklarasi publik.

Dari uraian di atas bisa ditarik sedikit kesimpulan bahwa apapun yang kita lakukan adalah profesi, sejauh kita memandang itu sebagai tugas yang diserahkan oleh Allah kepada kita. Apa yang kita lakukan bukan  sekedar “pekerjaan” tapi “panggilan” Allah bagi kita untuk melanjutkan missiNya di dunia. Bagi semua orang Kristen, pekerjaa adalah panggilan. Dengan melakukan pekerjaan kita dengan baik berarti kita telah mendeklerasikan kepada publik bahwa kita adalah utusan Allah dalam pekerjaan kita. Kita dipanggil oleh Allah untuk melaksanakan amat agung memberitakan keselamatan dan kasihnya kepada dunia dimana kita bekerja. Tak heran kata profesi berhubungan dengan kata prophet yang berarti nabi. Kita seharusnya menjadi nabi dalam pekerjaan kita, memberikan kebenaran dan melanjutkan kasih Allah. 

Dari kata profesi lahir pula kata "profesional". Menjadi seorang profesional bukan hanya berhubungan dengan kecakapan (capacity) atau keahliannya (skill), tetapi terutama berhubungan dengan kesungguhan (motive)  menjalankan apa yang baik dan benar menurut ukuran nilai yang dipegang oleh sang profesional itu.

Persoalannya, apakah nilai kerja itu berbeda atau terpisah dari nilai moral atau religius yang kita pegang? Ada yang mungkin memandangnya terpisah?

Ada yang memandang nilai kerjanya adalah pekerjaannya itu sendiri, tidak lebih tidak kurang. Nilai lain diluar dipandang bukan bagian dari nilai dalam pekerjaannya. Karena itu tak heran ada orang yang bisa memisahkan dengan jelas antara dunia kerjanya dan dunia pribadinya.

Contoh yang paling ekstrim adalah: pembunuh bayaran yang sekaligus seorang ayah yang baik. Atau pelacur profesional, pemain film porno sekaligus ibu atau ayah yang baik di rumah. Contoh yang kurang ekstrim tapi umum terjadi adalah: PNS yang curang tapi sekaligus majelis gereja yang rajin. Bisnisman yang curang tapi sekaligus donatur sosial yang murah hati.

Bagi orang-orang ini, nilai kerja dipandang sebagai intrinsik dalam pekerjaan itu dan tak ada hubungannya dengan nilai yang lain, bahkan dengan nilai agama yang mereka anut. Di tempat kerja menindas orang, di tempat ibadah duduk paling depan. Dengan kata lain: "Kalau mau jadi pengacara, jadilah pengacara yang hebat yang kalau bisa menangkan semua kasus yang dibela tanpa peduli nilai lain di luar dunia kepengacaraan." Mereka tak akan peduli dengan airmata janda atau anak yatim yang digusur gubuknya. Yang penting adalah memenangkan perkara dan mendapat nama sebagai pengacara hebat. Atau dengan kata lain: "kalau mau jadi seniman, jadilah seniman yang berkarya secara hebat tanpa peduli nilai diluar dunia seni." dst.

Tapi apakah benar nilai-nilai yang ada dalam diri manusia itu bisa dipilah-pilah seperti itu? Bukankah sering terjadi konflik nilai? Banyak orang bisa membuka mata lebar-lebar terhadap nilai yang satu tapi menutup mata terhadap nilai yang lain. Mungkin ada yang sehebat itu memilah nilai dalam hidupnya, yang  bisa sangat piawai membuat clear-cut antara nilai yang satu dengan nilai yang lain, tapi banyak juga yang sebenarnya menipu orang lain dan menipu diri sendiri.

Di lain pihak, ada juga yang memandang nilai kerja seseorang tak boleh dipisahkan dari nilai yang lain seperti nilai agama yang dipegang. Dengan kata lain: "Kalau menjadi pengacara, jadilah pengacara Kristen yang hebat, yang mengasah kemampuan kepengacaraan dengan paripurna tetapi tetap mendasarkan semuanya di atas nilai kekristenan".

Menurut pandangan ini, nilai profesi tak independen dan terisolasi dari nilai-nilai lain yang dianut. Orang tak bisa menjadi pengacara yang jahat sekaligus menjadi anggota gereja yang baik. Orang tak bisa menjadi PNS yang korup sekaligus menjadi anggota majelis jemaat yang baik. Itu kemunafikan namanya. Menjadi profesional berarti menjadi mampu dan terlatih dalam pekerjaan sekaligus menjunjung nilai kerja yang baik dan pada saat yang bersamaan menjunjung nilai dasar moral dan agama yang dianut. Itulah profesionalisme yang utuh. Kita tinggal memilih apakah ingin menjunjung profesionalisme dalam pengertian tehnis dan prosedur semata, dalam pengertian dunia kerja semata, atau profesionalisme dalam pengertian intergritas yang utuh sebagai manusia yang beragama: yang cakap dalam kerja sekaligus menjunjung nilai-nilai agama dan moral. Lagu sekolah minggu mengingatkan kita: "Di dalam dunia, ada dua jalan, lebar dan sempit, mana kau pilih."

Jadi ada dua type manusia pekerja dalam memandang nilai kerja mereka: pertama, yang tidur nyenyak dengan segala kecurangan mereka karena mereka bisa merasionalisasi perbuatan mereka, dan kedua, yang tidak bisa tidur malam-malam berhadapan dengan konflik nilai. Ada yang bangga dengan keberhasilan yang didapatkan dengan kecurangan, ada yang memilih menjadi kalah dan tidak menjadi apa-apa, memilih menjadi miskin demi sebuah kebenaran yang mungkin tak terlihat. Syukurlah kalau masih ada yang punya nurani kemanusiaan dan bukan semangat kaku profesionalisme atau bahkan keberhasilan yang dimanipulasi. 
[sumber:padangekspres.co.id]

Kembali ke pertanyaan adik saya di atas: “apakah PNS itu profesi?”. Jawabnya tentu saja PNS itu profesi. Karena dengan menjadi PNS orang menjalankan tugas untuk melayani kepentingan orang banyak. Tetapi pertanyaannya adalah, apakah makna profesi itu ditempatkan dalam makna relijius sebagai “panggilan” Allah justru sebagai sekedar “pekerjaan” saja, tergantung kepada siapa yang melakoninya. 

Apalagi jika status sebagai pegawai negeri itu didapatkan dengan cara yang kurang terpuji seperti menyogok, mengambil jatah dan posisi orang lain dsb. Apa yang bisa dibanggakan dari profesi seperti itu? Apa yang bisa dibanggakan ketika seumur hidup menghidupi keluarga dengan sebuah pekerjaan yang didapatkan secara tidak terpuji? Kita semua tahu bagaimana ribuan orang akan antri dalam pintu loket penerimaan jika lowongan menjadi PNS dibuka. Tes PNS pun harus dilakukan di stadion sepakbola atau lapangan terbuka. Belum lagi banyak joki. Belum lagi banyak main bawah tangan dengan par pengambil keputusan. Itu semua sekana menjadi rahasia umum bagi kita. Kita sudah maklum kalau menjadi PNS berarti membayar, bukan karena seleksi kemampuan. Kita sudah tahu tarif standar dan tarif tambahan jika ingin menjadi PNS. Itu sudah biasa dan tak ada yang akan malu membicarakannya. Separah itulah permainan kotor dalam rekrutmen PNS dan separah itu jugalah moralitas kita menanggapinya. Kecurangan dan permainan kotor tergambar di wajah banyak orang sampai tidak ada yang malu lagi. 

Lebih buruk lagi,  ketika diangkat menjadi PNS melakukan berbagai pekerjaan tidak terpuji. Apa yang didapatkan dengan kecurangan, bukan dengan kemampuan (merit) sangat mungkin akan dimanfaatkan secara salah pula. Jangan heran banyak yang tidak capable dalam menjalankan tugasnya. Hukum mekanis berlaku: garbage in, garbage out. Kalau sampah yang dimasukan dalam proses sebuah mesin, maka sampah pula yang akan keluar. Syukur-syukur kalau keluarnya emas. Tidak heran beredar di internet lelucon yang menyepelekan PNS misalnya lelucon soal penyakit-penyakit yang sering mendera PNS sbb:

Kudis = Kurang disiplin
TBC = Tidak Bisa Computer
Asma = Asal Mengisi Absen
Kram = Kurang Terampil
Asam Urat = Asal sampai kantor terus tidur
Ginjal = Gaji ingin naik tapi kerjanya lamban
Pucat = Pulang Cepat,
Magh = Makan Gaji Buta
Tipes  = Tim Pengejar Sertifikasi

Sebuah joke tidak lahir dari dunia hampa. Dan karena itu kita akan tersenyum mendengarnya, karena kita pasti pernah melihatnya di sana-sini, jika tidak di suatu situasi sekaligus.
[Sumber: intisari-online.com]

Banyak PNS sangat berdedikasi dan bekerja keras, banyak yang tak mempedulikan apa yang dilakukan sesamanya dan tekun mengerjakan apa yang menjadi tugasnya. Banyak orang bangga menjadi PNS dan menjalani tugas sebagai PNS dengan baik dan benar, dengan semangat dan pengabdian yang benar. 

Namun banyak juga yang memulai karir sebagai PNS dengan cara yang tidak benar dan mengakhirinya pun dengan cara yang tidak benar. “What comes around, goes around” kata peribahasa. Padahal ketika menjadi pejabat publik misalnya PNS disumpah dengan kitab suci. Tidak takutkah mereka akan sumpah yang mereka ucapkan? Atau tidak sungguh-sungguh mereka mengucapkan sumpah? Apapun yang terjadi, mereka telah membuka mulut mereka tanpa paksa dibawah kitab suci. Resikonya akan mereka tanggung sendiri.

Jika anda ingin menjadi PNS atau menginginkan anak anda menjadi PNS, lalu ada yang meminta sogokan akankah anda mengikuti permintaannya? Inginkah anda memulai karir anda yang mungkin akan berlangsung selama sisa hidup anda dengan kecurangan pada awalnya? Pikirkanlah itu.



[1] http://www.science-softcon.de/gkhartmann/714-ex-weber-93-40126-w.pdf [access 28 Januari 2013]; Richard Swedberg,Ola Agevall, The Max Weber Dictionary: Key Words and Central Concepts. California: Stanford University Press, 2005: hal. 2