Monday, February 18, 2013

Kisah Nyata Bocah Yatim Petualang Asal Sabu

Bas Wie duduk  di ban DC3 pada tahun 1992 (cowbird.com)
Kisah ini terjadi tahun 1946, ketika seorang anak berusia 12 tahun melakukan aksi nekad menyelinap ke dalam kompartement roda pesawat C-47 milik Angkatan Udara Belanda yang akan berangkat dari Kupang ke Darwin. Pada tahun itu sebuah kontingen khusus militer Australia yang disebut Tim Force sedang berada di Kupang, Timor dalam rangka sebuah operasi pembersihan pasca perang dunia Kedua.

Bas Wie, anak itu, adalah seorang anak yatim yang meliwati masa sulit pendudukan Jepang dan akhirnya bekerja sebagai pekerja kasar pada dapur bandara Kupang waktu itu. Tak ada yang menginginkan anak Sabu ini.

Namun ia juga mengingat masa-masa indah sebagai seorang anak bekerja di dapur bandara itu dimana para prajurit Australia biasa memberinya gula-gula, daging, membawanya di jeep atau truck mereka atau bahkan mendapat bola dari mereka. Sebuah perhatian yang dibutuhkan seorang anak yang berusia sekitar 12 tahun.

Pada satu malam di bulan Agustus 1946 saat ia sedang merawat memar di perutnya,–karena ia sering ditendang oleh koki bandara, ia mendengar sebuah percakapan di hall bandara bahwa pesawat Angkatan Udara Belanda C-47 yang sedang parkir di luar akan berangkat ke Australia. Ia mencoba menyelinap ke pesawat tersebut tapi pintu pesawat terkunci. Saat mengintari pesawat mencari tempat bersembunyi ia menemukan dua rongga nacelle yang menutup ban pesawat jika pesawat telah tinggal landas. Ia memanjat, berjongkok di atas salah satu rongga itu, berharap tidak ditemukan oleh petugas.

Beberapa menit kemudian para crew kembali dan pesawat itu pun berangkat lagi. Saat pesawat menyapu landasan pacu, mimpi buruk Bas dimulai. Di dekatanya pipa knalpot menyemburkan api orange. Pendingin baling-baling menghantam baju kemeja tipisnya, tapi kemungkinan ini menyelamatkannya dari asap mesin. Berjuang dalam kepanikan, ia merayap ke satu-satunya tempat di mana ia bisa selamat - sebuah ruang berukuran 10 x 20 inchi antara tangki bahan bakar dan pipa knalpot.

Dalam keadaan panik ia melingkar dirinya, ban pesawat yang mulai masuk menghantam dirinya dan sebuah besi memotong bahunya menyebabkan luka besar. Berdarah, hangus oleh api dan kedinginan oleh prop pencuci, untungnya ia kehilangan kesadaran.  Selama tiga jam tubuhnya terjepit dalam struk itu dan bahkan tubuhnya tidak jatuh ketiga ban keluar lagi saat pesawat mendarat. Ketika para crew menemukannya ia “tergantung di sana” dan tampaknya hampir mati.

Pada tahun 2004 saat di wawancarai Murray McLaughlin dari Australian Broadcasting Corporation (ABC), Bas Wie mengaku bahkan tak tahu ke mana pesawat itu akan berangkat. “I didn’t know there was any other country out there, really, at my age, you know,” katanya.

“Nobody looking, I just climb up there and hang on,” Bas menjelaskan bagaimana ia bisa naik ke roda pesawat. “They took off and the wheel start to come up and I’m running out of room, the room is getting smaller and smaller — nothing there. And I was was trying to scream and I thought it a waste of time because they can’t hear me anyway.”

Menurut pilot Angkatan Udara Belanda, Jan Sjouw, yang menerbangkan pesawat DC3 itu, mereka mengalami masalah selama penerbangan. Pemanas kabin tidak akan bekerja tapi ia terus melaju dengan pesawatnya. Menurut Jan, yang kemudian bertemu kembali dengan Bas di tahun 1978, sebelum mendarat di Darwin pesawat ini harus menunggu giliran untuk mendarat. Roda pesawat telah diturunkan sebelum waktunya pada ketinggian sekitar 1500 kaki. Untunglah anak ini tak jatuh. 

Hari telah gelap ketika pesawat C-47 itu mendarat di landasan RAAF (Royal Australian Air Force)] di Darwin. Petugas jaga malam itu Jim Fleming mengecek pesawat yang singgah itu.

“I just put the torch up and had a look and there was a body, pushed up against the bulk head,” kata Jim Fleming yang sekarang adalah pensiunan Vice Marshal Angkatan Udara. “He’d been burnt very badly on one side around his back from the exhaust of the aeroplane where he was, and frozen on the other side. But he was completely unconscious. His eyes had rolled back so they were two white orbs looking at us, and I thought he was dead.”

Dalam keadaan tak sadarkan diri, sebagian tubuhnya terbakar dan luka besar menganga, Bas dilarikan ke rumah sakit. Selama kurang lebih tiga bulan para dokter dan perawat di Rumah sakit Darwin merawat anak yang kemudian dikenal oleh semua orang dengan “the Kupang Kid.”

Namun, selamat dari maut di roda pesawat bukan akhir dari semua duka si anak yatim ini. Kepastian tinggalnya di Australia menjadi persoalan. Pemerintah Australia saat itu yang mempunyai kebijakan “keep Australia white” yang membatasi imigran Asia, segera mengumumkan bahwa segera setelah anak ini sembuh ia akan dikirim pulang ke Kupang. Warga Darwin membombardir Mentri Imigrasi dengan protes. “A kid with guts like that,” kata salah satu pemrotes, “needs encouragement.” Karena tekanan ini, pemerintah memberikan bocah ini sertifikat pengeculaian selama setahun yang disebut Permit of Entry. Sertifikat yang dikeluarkan oleh Departemen Imigrasi ini harus diperbaharui tiap tahun dan kapan saja bisa dibatalkan oleh Kementrian Imigrasi.

Nasib Bas tergantung pada tangan Mentri Imigrasi saat itu Arthur Calwell. Walaupun kemudian Calwell dikenal sebagai arsitek dari program migrasi pemerintah Australia pasca perang, Calwell punya reputasi sebagai kelompok garis keras dalam parlemen Australia karena kegigihannya untuk mendeportasi orang Indonesia yang mencari suaka di Australia selama perang.

Rupanya ketika Bas berada di rumah sakit, Administratur Darwin saat itu Arthur R Driver telah bernegosiasi dengan Mentri Calwell agar Bas tetap diperbolehkan tinggal di Darwin. Calwell setuju asalkan Bas berada dibawah pengawasan Driver. Driver sendiri memberinya tinggal di sebuah rumah penginapan milik pemerintah (Goverment House) dan ia disekolahkan. Sebagai balasanya, Bas bekerja di sekitar kediaman resmi sang administratur dan setiap hari Natal ia menghadiahi sang administratur dengan sebuah miniatur kapal laut yang ia ukir sendiri.


“I was looked after like their own child, kids, and to me they like my own parents — very good”, kata Bas mengenang masa-masa bekerja di rumah Driver.

Bas kemudian juga bekerja pada Eric Izod pemilik Izod Motor dan ia membawar sewa perumahan milik pemerintah itu dengan gajinya.

Keberanian bocah 12 tahun dari Kupang ini menjadi headline di berbagai media saat itu, bahkan sampai beberapa tahun setelah kejadian itu. Pada tgl 20 Juli 1951 ketika Arthur R Driver telah meninggal, koran Northen Standard melaporkan tentang Bas yang diperkirakan berusia 16 tahun pada saat itu. Karena ketiadaan dokumen, usianya ditentukan dengan perkiraan.

Majalah Time pun melaporkan tentang kisah ini pada edisi 7 Juli 1958. Pada tahun 1978, Bas dan keluarganya menjadi topik utama dalam program TV This Is Your Life.

Ketika Northen Standard melaporkan tentang Bas di tahun 1952 sehubungan dengan ketidakpastian tinggalnya, ia saat itu telah bekerja pada toko milik RAAF. Ketidakpastian tinggalnya Bas ini menjadi topik di Australia dan Arsip Nasional Australia sekarang menyimpan ratusan halaman dokumen berkaitan dengan kasus Bas ini. Sejumlah dokumen ini, terutama pemberitaan koran, bisa diakses secara online.


Pada saat terjadi pergantian administratur, sepasang suami istri dari Darwin mengadopsi Bas. Orang Inggris yang mengadopsinya itu menikah dengan seorang perempuan native Australia dari Larrakia bernama Bertha Cubillo. Bertha adalah keturunan campuran Aboriginal dan Filipina. Ia kemudian mendapat pekerjaan sebagai klerk pada Commonwealth Works Department. Di sanalah pada usia 24 tahun ia bertemu seorang gadis cantik dari Perth bernama Margaret. Mereka bertemu pertama kali pada bulan Februari 1956 ketika Margaret bekerja sebagai seorang junior draftwoman pada bagian surat-surat masuk pada the Department of Works and Housing.

Kupang Kid dan istrinya Margaret (www.ntnews.com.au)
"He brought my mail to my desk - personal delivery," Kata Margaret. "I suppose it was a bit like love at first sight."

Setelah 18 bulan berpacaran, keduanya menikah di sebuah Gereja Katholik di Smith Street di mana Bas pernah bekerja sebagai seorang anak altar. Upacara pernikahan di gereja kecil ini, diikuti oleh resepsi terang bulan di halaman belakang rumah seorang kerabat di Fannie Bay.

Beberapa bulan setelah pernikahan mereka, tepatnya pada bulan July 1958, saat majalah Time melaporkan tentang Bas, sebuah keberuntungan lagi menghampiri hidup pemuda ini: ia akhirnya menerima permanent residence yang telah lama ia tunggu. Penerimaan ini merupakan sesuatu yang sangat langka dalam kebijakan imigrasi Australia saat itu yang sangat anti Asia. The Kupang Kid akhirnya menerima surat-surat naturalisasinya.  "We're proud," kata salah seorang pejabat seperti yang dilaporkan majalah Time, "to have him as an Australian."


Bas dan istrinya kini telah pensiun dan mereka mempunyai lima anak dan telah mendapatkan tujuh orang cucu. Pada ulang tahun perkawinan mereka yang ke 70 pada tanggal 8 Desember 2007, wartawan Australia Daniel Bourchier menulis tentang pasangan ini dengan judul : "Kupang Kid marks a marriage half century."
Sejarah hidup Bas Wie kini tertulis dalam sejarah Northern Territory. Cerita hidupnya adalah cerita seorang survivor yang hebat. Seperti katanya istrinya, Margaret: "He had a certain amount of determination to do something he set his mind on, and a bit of a gambling spirit, to take a risk."

Anak laki-laki Bas, Trevor, mengenang bagaimana Bas menjawab jika orang menanyakan luka besar di punggungnya. Trevor mengingat di tahun 1960s di mana Darwin adalah tempat yang enak untuk bermain bola sambil bertelanjang dada.


Saat bermain di lapangan Trevor biasa mendengar anak-anak bertanya, “Mr Wie, Mr Wie. What's that mark on your back?"

"Oh, a butterfly landed there.", adalah jawaban satu-satunya jawaban yang biasa ia berikan, kenang Trevor.
“That's Dad for you” kenang Trevor. “Hit by a spinning wheel. Blessed by fortunes. Cooked on one side, frozen on the other. Always magnanimous.”
“I never heard him ever say one negative thing about anybody. Good people fought for him to be able to stay in Darwin.”

Menurut Trevor sikap Bas ini adalah bagian dari penghargaan Bas terhadap orang-orang baik yang telah berani melawan kebijakan 'Keep Australia White' pada masa itu untuk membela ayahnya agar tidak dideportasi.  

Ya, hanya mereka yang pernah merasakan kemurahan Allah yang begitu nyata dan besarlah yang selalu mensyukuri apa yang mereka punya tanpa mengeluh. Benar, sebuah kupu-kupu telah hinggap di pundakmu om Bas, dan itulah yang telah membuatmu menjadi seorang ayah, suami, kakek yang membanggakan. “Always magnanimous” seperti kata anakmu. 

[Dirangkum dari berbagai sumber]