Saturday, January 26, 2013

Rumah di sebuah sudut jalan


Pagi, 26 Januari 2010 kakak tertuaku menelpon: “At, papa su sonde ada lai, kasi kuat hati ko pulang su.” Dunia seakan tidak ada lagi bagiku. Diriku pun seakan bukan aku lagi. Istriku memelukku dan aku menangis berjam-jam. Kami menangis sambil memandang  anak kami yang baru hampir berumur satu tahun. Menangis di sebuah negeri asing di mana tidak ada yang akan mengerti tangisanmu.

Di sebuah pavillon di mana anak kami Tiadea Radakaran Isaiah lahir. Tiadea Radakaran adalah sebuah nama Rote yang berarti "bersandar dan berharap pada Tuhan". Sebuah nama yang indah yang diberikan oleh kakeknya. Dan karena itu aku harus kuat. Harus kuat untuk bisa pulang. Kutenangkan diriku seakan tak terjadi apa-apa, keluar membeli apa yang perlu untuk kubawa pulang ke rumah.

Ya pulang. Pulang ke sebuah rumah tua di sebuah kampung  yang indah. Di rumah di mana seorang laki-laki berperawakan kecil biasa bersuara dengan suaranya yang tegas namun hangat: “anak-anak, siap ke sekolah”. Di sebuah rumah dimana ia mengawasi kami memberi makan ayam-ayam, babi piaraan kami. Di rumah tua di mana ada kalanya protes tidak ditoleransi. Tapi ada saatnya kasih di atas segalanya. Di rumah tua itu, laki-laki itu berpaling padaku kalau ia ingin menyetrika bajunya, menyemir sepatunya atau minta dipijatkan kakinya. Di ruang tamu rumah itulah laki-laki itu akan bergiliran membaca sebuah koran bersama anak-anaknya. 

Di sebuah rumah tua di mana bunyi gong Rote menjadi kebangggan. Di sebuah rumah tua di sudut jalan dimana disiplin tidak punya mata. Di sebuah rumah dimana kerabat datang silih berganti, namun hukum tetap sama. Di rumah itulah, perabotan di sebuah meja makan tua selalu bergemerincing karena enam orang anak laki-laki kampung duduk di sekitar meja makan tua. Bersama ibu mereka dan seorang laki-laki bersarung, membaca Alkitab, bergilir berdoa sebelum makan malam.

Ke rumah di sudut jalan itulah, aku akan selalu pulang walau sebentar saja. Di kala senja, akan kudengar suara laki-laki itu memanggil anak-anaknya duduk disebuah meja makan tua. Ia memimpin doa atau kadang ia menunjuk salah seorang di antara mereka untuk berdoa. Di meja itulah segala macam cerita muncul. Mulai dari "sayur pintar", cerita pekerjaan, sampai keputusan tentang sekolah. Ke rumah itulah aku akan selalu pulang. Rumah sebagaimana sejatinya.

Leiden, 26 Januari 2013

Friday, January 25, 2013

Hari ini Tiga Tahun yang Lalu

Benjamin Messakh
Lahir: Oebatu, Pulau Rote, 6 Juli 1946
Meninggal: Batuplat, Kupang, 26 Januari 2010

HARI ini tiga tahun lalu
Tiada kata perpisahan bagiku
Tiada yang mendengar tangisku di negeri asing
Langit membisu pada doaku
Engkau pergi untuk selamanya
Dan aku tidak ada di sampingmu
Sekedar membisikan aku sayang padamu

Aku memang telah mengambil jalanku sendiri
Namun aku masih bagian dari duniamu
Kepada siapa aku berpaling untuk bertanya
Jika hidup menjadi tak masuk akal
Hari itu takkan pernah kulupakan
Aku tak sepenuhnya aku lagi
Sakitnya masih sama kini

Adalah engkau jika aku berpaling ke cermin
Adalah engkau jika aku melihat tapak hidupku
Adalah engkau ketika aku melihat anak-anakku
Aku memang bukanlah yang terbaik
Bersalah dalam pengabaian
Tapi engkau tahu papa tersayang,
Aku hormat dan kagum padamu

Engkau yang mengajarkan aku segalanya
Engku yang membuat jari ini tak pernah lelah menulis
Engkaulah semangat aku mengambil resiko hidup
Engkau alasan aku bangga akan siapa aku
Engkaulah topangan ku tengadahkan kepala
Engkaulah keberanian aku melanglangbuana
Engkaulah alasan orang menganggukkan kepala kepadaku

Engkau memang tak pernah berhenti
Tak ada yang bisa menghentikanmu
Pun jika kuminta akulah yang mengepal jemariku
Menggantikan kepalanmu yang dimakan usia
Namun engkau tak akan berhenti
Karena engkau pejuang sejati, sejak dalam kandungan ibumu
Engkaulah Benjamin yang sulung 

Engkau mungkin berpikir aku tak melihat
Atau mengira aku tak mendengar
Pelajaran kehidupan yang kau ajarkan kepadaku
Tapi aku mengingat setiap kata, papa
Mungkin engkau berpikir aku tak menyimak 
dan kita berdua berbeda haluan
Tapi aku menyimpan semuanya
Tertulis dalam hatiku

Tanpa engkau aku bukan laki-laki yang sekarang
Engkau membangun dasar yang kuat
tak ada yang bisa mengambilnya dariku
Aku hidup dengan nilai-nilaimu
dan aku bangga jadi anakmu
Jadi inilah aku, anak laki-lakimu
Puku dou-mu yang berterima kasih padamu

Hari itu, engkau pulang 
Hari itu akulah yang tersesat 
Jauh dari rumah, jauh dari kehangatan kasihmu
Jauh bukan karena bentangan laut
Jauh bukan karena luasnya daratan
Jauh karena aku tak menemukan jalan pulang
Jauh karena pulangku tak akan sama lagi
Jauh karena pulangku
adalah pulang seorang anak yatim

Inikah harganya kembara di jalan iman?
Inikah hidup dalam tenda dimana patoknya siap dicabut kapanpun?
Inikah pengembaraan tanpa akhir?
Inikah jalannya mengharapkan janji kudus?
Aku tak tahu dan tak ingin menjawabnya
Karena satu hari nanti akupun akan mengerti
Engkau akan datang menjemput aku
Seperti ayahmu datang menjemput engkau
Karena engkau mencintaiku.

Serpong, 25 Januari 2012; Leiden, 25 Januari 2013

Dulu, enam orang bocah biasa duduk di sekeliling meja makan, bersama papa dan mama. Kini, enam orang laki-laki dewasa menemani mama di pinggir peti jenazah papa. Selamat jalan, sampai ketemu lagi.


Monday, January 21, 2013

Gerson Poyk: "Masa kecilku adalah kuda tunggang, tambur gembala, jalan setapak yang berliku, rumah lalang bepagar batu"

Gerson Poyk [PTKarya Unipress]

SAAT menerima Southeast Asian Write Award di Bangkok pada tahun 1989, ia mengenakan pakaian adat Rote lengkap dengan ti’ilangga. Sebagai seorang pemenang dari Indonesia, ia ingin menunjukkan bahwa ia adalah orang Rote. Hal yang sama ia lakukan ketika menghadiri Konferensi tentang Nationalism and Ethnicity in Southeast Asia. 

Dialah Gerson Poyk, satu diantara sedikit sastrawan Indonesia dari Nusa Tenggara Timur, dan satu di antara beberapa sastrawan Indonesia yang pernah memenangkan award pretigious untuk para sastrawan Asia Tenggara. Karya-karyanya sudah banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa dan banyak sudah telaah ilmiah tentang karya-karyanya di dalam maupun luar negeri. Novelnya Sang Guru, adalah satu dari tiga novel Indonesia yang pernah memenangkan SEA Write Award. Dua novel yang lain adalah Ladang Perminus karya Ramadhan K.H. dan Bekisar Merah karya Ahmad Tohari. Saat saya mencoba mencari di katalog Universitas Leiden, Negeri Belanda ternyata sebagian besar  karyanya ada disana, juga karya orang lain tentang dirinya.

Kritikus sastra Indonesia berkebangsaan Belanda A. Teeuw menggolongkannya ke dalam Angkatan Terbaru, yaitu generasi sastrawan Indonesia di era 1950-an yang sangat peduli dengan aspek regional dalam karya sastra mereka. Generasi sastrawan ini adalah generasi pertama sastrawan Indonesia yang terdidik dalam sejarah sebagai warga negara Indonesia dalam bahasa dan budaya Indonesia. Mereka tetap menjaga daerah mereka sebagai “rumah” mereka sambil pada saat yang sama menjadi orang Indonesia. Aspek-aspek regional dapat ditelusuri di dalam karya-karya mereka dalam pengertian “daerah”, sastra untuk wilayah daerah. [need citation] Walaupun Paus Sastra Indonesia H.B.Jassin menggolongkan Gerson Poyk ke dalam Angkatan 66, tapi Ernst Kratz, menggolongkan Gerson Poyk ke Angkatan 1950-an karena karya-karyanya telah muncul pada tahun 1950-an.[1]

Lahir di Namodale, Ba’a, pulau Rote pada 16 Juni 1931. Ibunya bernama Yuliana Manu dari klan Nalefeo di Thie. Ayahnya Johanes Laurens Poyk seorang mantan tentara Angkatan Laut Kerajaan Belanda yang pernah juga menulis artikel dan puisi.

Walaupun Gerson dilahirkan di Rote, ia tidak pernah dibesarkan di Rote. Ia lahir saat ayahnya bekerja sebagai mantri Belanda di Ba'a. Karena krisis ekonomi yang sebut orang saat itu zaman meleset (malaise) maka ayahnya diberhentikan sementara. Sang ayah kemudian memboyong istrinya, Gerson, dan Dina kakak perempuan Gerson dari perkawinan ibunya sebelumnya ke kampung ayahnya di Ringgou. Di sana mereka bertani menanam tembakau untuk dijual. Tak berapa lama, ayahnya dipekerjakan lagi, sebagai mantri di Bilba, di Rote Timur, kemudian di Pulau Semau, di Langgaliru di Sumba dan kemudian ke Bajawa.

Hanya sebentar ia dibawa ke Rote setelah sebuah kesalahan membuat ayahnya dipecat sebagai pegawai Belanda di Bajawa. Masa kecilnya lebih banyak dihabiskan di beberapa tempat Flores, terutama di Ruteng, kemudian ia mengikuti ayahnya ke Alor, bersekolah di SoE dan Surabaya dan memulai karir kerjanya sebagai guru di Ternate. Inilah yang juga membentuk dirinya dan terpancar dalam karya-karyanya. Kehidupan keluarganya yang berpindah-pindah dan naik turun karir ayahnya serta kehidupan keluarganya terangkum apik dalam tragedy dan komedi karya-karyanya.

Dalam tulisannya Nostalgia Flobamora ia menceritkan dengan apik kenangan masa kecil dan masa remajanya sampai ia bersekolah di Surabaya. Cara berceritanya lugas dan enak, kadang kita dibuat tertawa, kadang harus menahan napas bahkan menitikkan air mata.

Ayah dan Ibu Gerson

Darah pertualangan rupanya turun dari ayahnya. Ayahnya memasuki sekolah "angka loro" di Rote namun sebelum menamatkan sekolahnya ia sudah ingin merantau. Kakek dari Gerson akhirnya menjual beberapa ekor kambing untuk mengirim ayah Gerson ke Kupang. Di Kupang ia tinggal bersama guru Lanu, yang juga berasal dari kampung ayahnya. Karena kakeknya tak mampu mengirim uang tiap bulan maka ayahnya disebut sebagai "anak piara" dari keluarga Lanu. Gerson menulis:
"Biasanya anak yang dipiara oleh orang Rote yang bergaji, bekerja serabutan mulai dari mencari kayu bakar, memikul air mandi dan minum, mencuci piring, momong anak majikan dan sebagainya. Imbalannya adalah makan, pakai dan tidur gratis dan di atas segalanya, anak piara itu dimasukkan ke sekolah. Itulah cara penduduk sebuah pulau yang mayoritas penduduknya tidak punya uang kontan, memajukan generasi mudanya."
Belum sempat rampung pendidikan ayahnya, seorang guru dari Rote bernama guru They pindah ke Takalar dan mengajak serta ayahnya yang saat itu duduk di kelas terakhir sekolah gubernemen atau sekolah 'angka loro". Di Takalar tugas ayahnya adalah membantu urusan rumah tangga sang guru sambil bersekolah. "Ia hars berlari pulang ke rumah untuk masak nasi, sayur dan ikan sehingga guru They pulang, makanan hangat-hangat sudah tersedia," kenang Gerson akan cerita ayahnya. 

Setelah tamat ayahnya langsung mendapatkan pekerjaans sebagai kepala halte stasiun kereta api yang menghubungkan Makassar dan Takalar, tapi kemudian ia masuk Sekolah Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Setelah menamatkan sekolah ia ditugaskan di atas Kapal Perang Sumba. Namun ayahnya di pecat karena suka berkelahi. Setelah itu ia bekerja lagi di pabrik binatu besar milik seorang Belanda. Lagi-lagi ia dipecat lantaran menghanguskan pakaian putih-putih sang meneer.

Ayah Gerson kemudian pulang ke Rote. Tak lama kemudian ia mendapatkan pekerjaan sebagai mantri rumah sakit (verpleger) dan menikah dengan seorang perempuan Rote. Namun karena keduanya tidak mempunyai anak, sang istri mengijinkan ayah Gerson menikah lagi. Kemudian ayah Gerson menikah dengan ibu Gerson yang sebelumnya menikah dengan seorang raja Thie. Dalam Nostalgia Flobamora ia menulis:
"Setelah bercerai dengannya, ayahku kawin dengan ibuku dan lahirlah aku, pada suatu subuh tanggal 16 Juni 1931, di sebuah rumah di tepi pantai, tidak jauh dari mercusuar satu-satunya di pulau Rote."
Suami pertama ibu Gerson adalah seorang raja dari kerajaan Thie yang dibuang oleh Belanda ke Sumbawa dan Flores, karena terlibat dalam perang dengan kerajaan tetangga Dengka. Sang raja itu kemudian menikah lagi di tempat pembuangannya walaupun dari perkawinan mereka telah lahir dua orang anak, Benjamin B. Messakh dan Mariana Messakh. Setelah ditinggal suaminya, ibu Gerson menikah lagi dengan raja berikutnya bernama Thobias Messakh, dan melahirkan dua orang anak yaitu Dina dan Benyamin. Raja itu meninggal tiba-tiba, sehingga ibu Gerson akhirnya menikah dengan ayah Gerson. Dari perkawinan itu lahirlah Gerson dan adik perempuannya. 
“Di pulau Rote, tepatnya di Nusak (Kerajaan) Ti ada empat saudara tiriku yang memakai nama marga (fam) Messakh. Si sulung bernama Benjamin B. Messakh, nomor dua bernama Mariana Messakh, yang ketiga bernama Dina Messakh dan keempat bernama Benyamin Messakh. Nenekku dari ibu memang dari keluarga Messakh, kawin dengan ayah ibuku dari keluarga Manu yang tergabung dalam leo (suku-suku) Nalefeo yang pada gilirannya sub subsuku Nalefeo masih berkerabat dengan suku-suku Ndanafeo, Todafeo dan Mesafeo. Semua leo tersebut menurut adat Rote menyediakan isteri-isteri bagi para raja di kerajaan Ti (ejaan Belanda Thie).
Aku dilahirkan di pulau Rote seperti halnya keempat kakakku dan adikku lahir di pulau Semau, sebuah kecil di depan teluk Kupang. Semua itu aku dengar dari ibuku. Ibuku juga bercerita bahwa kakekku dari pihak ayah adalah seorang temukung besar kepala beberapa desa yang terkenal karena memperoleh beberapa bintang dari pemerintah karena jasanya selama tiga puluh tahun mengumpulkan pajak dan satu sen pun tidak dikorup”.[2]
Ayah Gerson kemudian dipindahkan ke Sumba, memimpin klinik di sebuah dusun bernama Langgaliru, terletak diantara Waingapu dan Waikabubak. Kemudian ayah Gerson dipindahkan lagi ke Bajawa, Kabupaten Ngada, untuk menjabat sebagai kepala rumah klinik kabupaten (hoofdt mantri) di sana. Saat pindah ke Sumba dan Flores, ayahnya memboyong serta Dina, saudara Gerson dari lain ayah, sedangkan Benyamin besar, Benyamin kecil dan Mariana tinggal bersama kakek-nenek mereka di Rote.

Masa Kecil di Bajawa

Gerson memulai pendidikan formalnya di HIS kemudian dilanjutkan SD di Bajawa. Tentang Bajawa ia menulis:
"Bajawa, sebuahkota kecil di Kabupaten Ngada (Pulau Flores) adalah kota kesadaran pertama seorang anak kecil yang lahir di pulau Rote."
"Kota Bajawa di masa kecilku terdiri dari sebuah tangsi polisi, sebuah rumahsakit, sebuah Sekolah Rakyat, sebuah Gereja Katolik yang indah dan besar sekaligus rumah-rumah untuk pastor dan suster dan beberapa rumah pembesar pemerintah serta beberapa toko milik orang Tionghoa dan sebuah pasar terbuka (lapangan). Lapangan rumputnya hijau subur terpotong rapi, mungkin oleh orang-orang strapan (narapidana). Aku tak ingat di mana letak penjara, kecuali jalan menuju kuburan karena rumah dinas kami nomor dua dari pojok jalanan menuju tempat itu."
"Ayahku seorang mantri yang mengepalai rumah sakit di kabupaten itu. Masa itu dokter tinggal di ibukota keresidenan (di Endeh) dan sekali-sekali ia datang mengunjungi rumahsakit yang dipimpin oleh ayahku."
Keluarganya kemudian pindah ke Ruteng, Kabupaten Manggarai, dimana ia menamatkan SD di sana tahun 1945. Keluarga kemudian pindah lagi ke Maumere, Kabupaten Sikka. Sejumlah karya sastranya mengandung unsur masa kecilnya ini antara lain Pati Wolo (1988) yang secara ironi menceritakan sebuah mahluk berkaki satu dan berkuku seperti kuda yang merupakan legenda yang akrab di telinganya ketika ia tinggal di Manggarai.

Gerson memang piawai menceritakan masa kecilnya. Ia menyebut "naluri melarikan diri" atau "naluri menyelamatkan diri" adalah bawaan masa kecilnya yang tak pernah hilang. Di masa kecil, naluri ini tidak membawa akibat, tetapi ketika dewas naluri melarikan diri ini membuatnya membuatnya menemui serba kesulitan dan kelucuan hidup. "Penuh tragedy dan komik", katanya.

Tentang pertama kali masuk sekolah, misalnya, ia menulis:
"Suatu pagi aku berontak mati-matian karena ibu ingin membawaku ke sekolah. Ibu menggendong aku di pinggangnya dan aku menangis terus, menangis terus meronta-ronta sampai ke sekolah... Sampai disana aku berhenti menangis karena aku melihat banyak anak-anak sebayaku.
Aku turun dari pinggang ibu dan guru menyambutku, mengangkat tanganku lewat kepala, menyuruh aku meraba telingaku. Sudah itu aku didaftarkan sebagai murid kelas satu tetapi boleh pulang. Sekolah baru mulai besoknya. Aku berkeliling sekolah itu. Aku melihat ada beberapa kantong terbuat dari anyaman daun pandan, berisi sesuatu, tergantung di tembok sekolah, di pohon dan di tiang lonceng.
...aku memanjat tiang lonceng tetapi tiba-tiba aku memanjat tiang lonceng untuk melihat apa yang berada dalam kresek anyaman daun pandan itu. Aku merogoh salah satu kantong dan ternyata isinya jagung kering goreng yang kerasnya seperti batu. Tetapi rahang anak Bajawa dapat menghancurkannya. Anak-anak yang membawa jagung goreng kering (tanpa minyak) itu datang dari kampung yang jauh. Makan pagi mereka dari jagung, ubi dan sebagainya, begitu juga makan siang mereka. Tak ada satu pun yang membawa uang jajan.
Pulang ke rumah, entah bagaimana, aku malas ke sekolah. Ibuku membongkar aku dari keasyikan nyenyak pagi, menyuruh aku mandi tetapi aku menolak semuanya. Aku menangis sejadi-jadinya menolak ke sekolah. Setelah menakut-nakuti aku dengan oto-pos (mobil pos) dan tuan inspektur Belanda, barulah aku mau berjalan bersama ibu ke sekolah. Anak-anak kelas satu telah duduk tenang-tenang di kelas. Ibu langsung mengantarkan aku ke dalam kelas lalu guru mendudukkan aku di bangku paling depan.
Begitu ibuku keluar, sang guru (Tuan Riberu) yang kulitnya hitam membelalakkan matanya kepadaku lalu menggerutu. Jantungku berdebur ketakutan tetapi mataku melihat ke jendela dan ada sedikit rencana kilat muncul di benakku. Kalau dia menyeringai dan bangun mendekatiku, bangun dari kursinya dan menerkam aku maka aku akan lari ke jendela dan melompat lalu lari ke rumah dan takkan kembali lagi selama-lamanya, selama-lamanya! Hanya itu yang kuingat benar ketika masuk sekolah di Bajawa." 
Konteks sosial dari karya-karyanya juga diuraikan dengan gamblang. Ia misalnya menggambarkan stratifikasi sosial masyarakat Hindia Belanda di Flores secara deskriptif jernih menurut kacamata seorang bocah:
"Di Bajawa, seperti juga di semua kabupaten di Flores, kontrolir dan aspiran kontrolir, kemudian inspektur, semuanya Belanda. Di bawah mereka seperti klerk dan Bestuur Assisten adalah orang Rote. Kepala tangsi polisi juga seorang yang berasal dari Rote. Dia pamanku, To’o Hormu. Celakanya, opas-opasnya pun berasala dari Rote. Pakaian opas seperti polisi, memakai kelewang panjang dan topi bambu. Kumisnya terputar bagaikan tanduk kecil di bibirnya."
Di Flores karir ayahnya melejit dan diangkat menjadi hoofdt mantri, namun sebuah tragedy menimpa. Ayahnya berselingkuh dengan seorang perempuan Jawa, istri seorang polisi. Saudara perempuan ayahnya sendiri, yang adalah istri seorang kepala tangsi polisi di Bajawa, melaporkan hal itu dan ayahnya dipecat. Ibu Gerson sangat marah kepada ipar perempuannya yang melaporkan suaminya sehingga ia menggigit telinga iparnya itu. Gerson tak tahu apa-apa soal kejadian itu, ia hanya tahu ketika mereka telah keluar dari rumah dinas mereka dan menumpang pada kerabat di kota Ende.
"Pada suatu malam aku dan adikku dibangunkan lalu dibawa ke mobil dan begitu bangun tidur aku, adikku dan ibuku telah berada di sebuah rumah berlantai tanah dikota pelabuhan Endeh. Ayahku tidak kelihatan ketika aku bangun pagi. Rumah itu terletak di seberang jalan dari rumah Bung Karno, di kampung Tiang Radio... Tidak lama kemudian ayahku kembali, membawa uang logam cukup banyak dan ibu belanja makanan yang cukup enak seperti halnya di Bajawa.
Rumah itu milik seorang bernama Manafe, asal Rote. Begitu ayahku muncul ia membawa kami ke sebuah rumah di samping katedral, di kaki bukit kecil, di sebelah kuburan Tionghoa. Malam pertama telingaku disengat kalajengking sehingga aku terkaing-kaing menangis memecah kesunyian.
Kemudian ayah menggali sebidang tanah lereng, meratakannya dan membangun sebuah gubuk. Maka kami lega memiliki rumah sendiri, tanpa menumpang di rumah orang. Semuanya dibuat oleh tangan ayah. Aku ingat, ia juga membuat sebuah kursi malas lalu duduklah dia sambil makan sirih.
Kemudian ayah menghilang lagi. Aku dengar cerita ibu tentang pekerjaan ayah. Pekerjaan baru. Ayah tidak lagi menjadi Hoofd Mantri. Ayah mengikuti Tuan Lauwoie, seorang pembela perkara."
Hidup berubah begitu cepat. Dari anak pegawai menjadi anak pembela perkara amatiran. Namun Gerson ingat bahwa setiap hari ia bisa makan. Hanya satu kali, ingatnya bahwa ia dan saudara-suadaranya tidur malam setelah mengunyah cuma kue bendera.
"Aku masih ingat, uang yang ditinggalkan ayah terbatas sehingga pada suatu malam ibu memanggil adikku dan aku untuk makan malam. Di sebuah dulang tersedia beberapa potong kue bendera dan teh manis. Kami mengunyah kue itu lalu minum teh manis dan tidur lelap karena lelah bermain sehari suntuk. Sungguh, sebuah kenangan yang halus mengiris jiwaku."
Di Endeh, Gerson masuk sekolah Protestan, dan seingatnya ia tidak pernah belajar berhitung dan membaca, hanya solmisasi. Ia ingat gurunya adalah Pendeta Samuel Muda, ayah dari Laksamana Samuel Muda, pahlawan Laut Aru. Ia juga ingat bagaimana ibunya mengajarkan membuat rampai untuk ditaburkan ke laut :
"Ibu berkata, bunga rampai itu dikirim kepada nenek, kepada paman dan sebagainya. Lalu kami bertiga ke jembatan laut menghamburkannya ke laut. Peristiwa itu sangat mengesankan aku. Terasa sangat indah. Terasa bunga itu akan sampai ke suatu tempat rahasia tempat Mama Be’a (Nenek) dan Papa Be’a (kakek) dan sanak saudara bermukim. Ibu telah mengajarkan aku tentang bahasa kerja menanami kebun dan simbol-simbol cinta kasih kepada yang berada di seberangsana , di dalam dan dibalik kehidupan nyata dan fana ini."
Pulang ke Rote

Karena beban hidup semakin berat, Gerson dan adiknya Matilda dibawa oleh ibunya pulang ke Rote, sementara ayahnya tetap berusaha sebagai pengacara amatiran di Flores. Gerson mengingat bagaimana mereka pulang:
"Tiba-tiba saja, kami bertiga...telah berada di atas sebuah kapal yang berlayar dari Endeh menuju Rote dan Kupang. Aku ingat betul, di kapal kami makan nasi dan ikan asin goreng sepuas-puasnya. Sehabis makan, masih ada tersisa banyak ikan dan nasi. Ibu tidak membuangnya. Aku mengikuti ibu ke atas dek dan membawa nasi itu lalu dijemurnya. Itulah yang kuingat, bagaimana seorang ibu diterpa tekanan hidup, menjaga baik-baik nasi pemberian Tuhan. Seterusnya entah jadi apa nasi itu, aku tak ingat lagi. Aku hanya ingat bahwa kami turun di pelabuhan Ba’a dan menginap di rumah seorang sanak yang aku tak ingat siapa namanya."
Setibanya di Rote, mereka dijemput oleh abang tertua dari lain ayah, Benyamin J. Messakh. Mereka dibawa ke Oetefu dengan kuda. Ingatan Gerson sangat vivid dan detail, ia ingat hal-hal kecil yang menjadi bumbu cerita-ceritanya. Saat tiba di Oetefu ia menulis:
"Beberapa tanteku menyambut aku dengan ciuman sedang yang satu lagi yang dipanggil Te’o Pokek (Tante Buta) meraba-raba aku mulai dari kaki sampai ke kepala. Kemudian aku dibawa ke rumah utama sebuah rumah panggung dan diberi uang logam beberapa keping lalu membiarkan aku tidur siang di sebuah ranjang berseprei putih dan berkelambu. Aku sendiri yang tidur di rumah itu. Kamar-kamarnya kosong. [...]
Begitu bangun sore, aku sendirian di rumah panggung itu. Kakak Usi, Susi Mariana entah di mana. Aku berdiri di beranda depan memandang pohon kelapa dan lontar. Bunyi burung tekukur dan udara panas sore hari membuat aku rindu pada ibu. Maka kerinduan itu membuat aku menangis sendiri, sambil memanggil-manggil, "mama... mama...” Mama tak menjawab, mama tidak muncul-muncul walaupun abang sulungku telah berkuda ke Ba’a yang jaraknya dua puluhlima kilometer.
Tiba-tiba terpikir atau teringat, kata guru Sekolah Minggu, bahwa apa yang kita minta dari Tuhan maka Tuhan akan memenuhi permintaan kita. Aku pun menutup mata dan berdoa kepad Tuhan. "Tuhan, saya minta mama saya cepat datang. Saya kesepian. Tuhan, saya minta kalau saya membuka mata maka mama saya sudah ada di depan saya,” begitulah doaku. Sungguh lucu. Sia-sia. Naif. Begitu aku membuka mata ibu tiada.
Akan tetapi aku sama sekali tidak mengomeli Tuhan. Aku bergerak entah ke mana, lupa, tidak teringat oleh khazanah kenangan masa kecilku. Terlalu banyak detik dan jam yang kulupakan. Aku hanya ingat, tiba-tiba saja ibuku dan adikku datang dibawa oleh abangku dan oleh Tuhan. Aku ingat, kami bertiga ditempatkan di rumah besar di samping kiri rumah utama di kamar depan yang berdinding setengah sehingga pandangan ke halaman tidak terhalang."
Tidak lama kemudian ibu Gerson membawa mereka pindah ke Oekahendak, sebuah dusun kecil yang terdiri dari tiga buah rumah dan sebuah mata air kecil. Disana mereka bergabung dengan kedua kakaknya, Dina dan Min kecil yang tinggal bersama papa to’o (saudara ibu)nya dan te’o Fia kakak perempuan ibunya yang tidak menikah.

Deskripsi Gerson tentang orang-orangpun sangat jelas, kadang membuat kita tersenyum karena ia memakai kacamata anak-anak saat menuliskannya. Tentang saudara laki-laki ibunya yang ia panggil papa to'o dan beberapa kerabat lain ia menulis: 
"Aku masih ingat wajah Papa To’o, pamanku. Kulitnya kuning seperti ibuku. Badannya kekar. Wajahnya ganteng seperti wajah Hemingway. Ia sangat eksentrik. Sangat eksentrik bagi penduduk sekitarnya karena ia suka memaki dengan bahasa jorok.
Aku sayang betul pada Papa To’o pamanku. Ia suka tertawa keras memperlihatkan giginya yang bagus. Paling kurang senyumnya yang ramah. Pakaiannya celana pendek dan baju tangan pendek. Ia tidak memakai sepatu atau sandal. Aku ingat sekali pada Te’o Fia, tanteku yang tidak banyak bicara tetapi selalu sibuk, menumbuk padi, memberi makan ternak dan sibuk di sawah dan ladang.
Abangku Benyamin (Min Kecil) tak pernah diam. Hampir tiap hari ia pulang membawa tekukur, burung pipit dan udang kecil. Aku sibuk membakar burung-burung itu untuk dimakan. Abangku Benyamin adalah tarsan kecil, spartan. Dia pelempar tepat.
Jika mau makan daging tekukur yang merupakan wabah bagi tanaman padi dan kacang ijo. Min Kecil tinggal memungut batu dan melemparkan ke kerumunan tekukur itu. Lemparannya sangat kuat. Batu yang meluncur sampai berbunyi, mendesing membelah udara. Tekukur yang mati lebih dari satu ekor. Aku sangat gembira bila abangku membawa setumpuk tekukur. Dia lalu mencabut bulunya, membuang usus dan kotorannya dan mencucinya kemudian membubuhkan garam dan memanggang burung itu di halaman.
Kalau tidak tekukur, dia membawa sekeranjang burung pipit yang paruhnya merah dan kuat. Aku mengunyah pipit panggang itu. Dagingnya, tulangnya, sampai ke kepalanya yang berisi otak. Enak sekali dimakan dengan nasi. Ketika musim hujan tiba, parit kecil yang berasal dari mata air itu meluap. Air dipakai untuk mengaliri sawah di sekitarnya."
Dia tidak takut pada ular berbisa. Pada suatu hari, kami, anak-anak yang lebih kecil darinya sedang mengerubungi dan menonton seekor ular ijo yang berbisa, melingkar di ketiak akar pohon kesambi sambil memagut-magut. Tiba-tiba abangku muncul. “Mundur, mundur, mundur,” katanya lalu meraup leher ular itu dan melenggang pergi."
Gerson juga ingat sekolah tempat abangnya Min Kecil bersekolah yaitu Tudameda. 
"Sekolah itu terbuat dari bebak (pelepah gebang) yang bercelah-celah mudah diintip dari luar dan dari dalam. Atapnya terdiri dari daun lontar. Tampaknya seperti kandang kambing, tetapi dari sekolah itu beberapa sarjana dan orang terkenal Indonesia lahir dan bekerja di luar pulau, terutama di Jawa, tak pulang-pulang membangun kampungnya."
Ketika Gerson mengunjungi Rote di tahun 1997, lokasi sekolah itu sudah jadi kebun. Menurutnya dulu di seberang Jalan Raya Sirtu, ada rumah Guru Pah, famili ibunya, seorang maestro senandu biola. Adik guru Pah, Eduard Pah juga adalah seorang guru, dan maestro sesandu biola. Eduard Pah ini mendapat Anugerah Seni dari pemerintah RepublikIndonesia dan profil tentang seniman ini dimuat di The New York Times. Satu-satunya seniman musik Rote yang mendapat publisitas internasional lewat New York Times. Jarang juga seniman Indonesia dipublikasi lewat sebuah artikel yang dimuat di koran internasional itu. 

Dari Oekahendak, Gerson dititipkan kepada famili di Lalukoen. Sebagai anak-anak, Gerson tak mengerti mengapa ibunya meninggalkannya di keluarga itu, ia menangis dan meronta sejadi-jadinya saat itu, namun kemudian ia punya rasionalisasi sendiri:
"Sampai sekarang, aku berpikir, mungin usiaku sudah mencapai usia sekolah sehingga ibu mau menitipkan aku di rumah famili yang dekat dengan sekolah, sekaligus meringankan beban saudara-saudaranya yang telah menampung kakak perempuanku, kakak lelakiku dan adik perempuanku serta ibuku sendiri. Soalnya paman dan saudara ibu hanya hidup dari kebun dan sawah serta sejumlah pohon lontar dan binatang ternak. Biasanya mereka minum gula dan sayuran serta ikan serta daging sekadarnya, tidak biasa masak nasi setiap hari seperti orangkota . Setiap hari aku harus makan nasi, sayur, daging burung dan sebagainya. Aku tidak seperti kakak-kakakku dan ibuku. Barangkali karena itu."
Kemudian ibunya menitipkannya lagi ke rumah pendeta Hidalilo, seorang pendeta yang berasal dari Sabu. Pendeta ini tinggal di Tudameda, "di rumah yang di depannya ada kolam berair kuning". Gerson mengenang bagaimana ia dititipkan di situ: 
"Aku senang sekali bermain dengan anak-anak itu di bawah benderang lampu tekan sehingga ketika ditanya apakah aku mau tinggal di rumah itu, aku mengangguk setuju.... Malam itu seingatku; ibu tidak membawa tas pakaian. Ibu melepaskan aku dengan pakaian di badan. Seingatku tidak ada acara makan pagi sebelum berangkat ke sekolah. Aku masih ingat pada suatu malam Ibu Pendeta membagi-bagikan biskuit. Juga masih segar dalam ingatan Ibu Pendeta membawa kami untuk mandi di sungai. Aku masih ingat pula pada suatu malam, ketika Mama Nyora Hidalilo (istri pendeta dan guru dipanggil nyora) membagi-bagi nasi dan lauk, kepada tiap anak ia bertanya mau tambah atau tidak. Anak-anak pendeta mengatakan tidak sedangkan aku mau tambah. Aku lihat nasiku hanya setengah dari nasi anak-anak yang tak mau tambah. Kami hanya makan sekali, makan malam. Tampaknya gaji pendeta itu kecil sedangkan kami hampir sepuluh orang di rumah itu."
Selama tinggal dengan keluarga pendeta ini, Gerson ingat seorang tokoh unik masa kecilnya bernama Karaba, seorang pemarah nanum tak pernah marah kepada Gerson. Gerson suka duduk di depan Karaba yang sedang mengupas kelapa tua dan memungut serpihan kelapa untuk dimasukkan ke dalam mulutnya. Karaba tidak marah. Saat bermain-main sendirian di sekitar gedung sekolah, Gerson pernah usil mengambil sebuah lidi dan menusukannya ke celah dinding sekolah yang terbuat dari pelepah gewang itu. Ternyata mengenai pantat Karaba. Karaba mengejar dan melemparnya saat itu, namun kemudian baik lagi. Ia malah menyalahkan temannya yang lain, seorang anak angkat pendeta juga yang dibawa dari Sabu, Nara. Gerson mengenang kata-kata Karaba kepadanya: 
""Bapa Pendeta sudah mengutuk si Nara karena ia menulis-nulisi Kitab Suci," kata Karaba. Sejak itu aku takut sekali dikutuk oleh Bapa Pendeta, terutama takut dimarahi Tuhan kalau salah memegang atau menyia-nyiakan Kitab Suci. Sampai aku bersekolah di Sekolah Standar, kalau aku melihat lembaran Kitab Suci yang tersobek dan terbuang, aku memungutnya dan menyimpannya baik-baik. Aku selalu mengingat anak itu. Si Karaba itu." 
Karaba ini kemudian masuk Heiho dan setelah usai Perang Dunia kedua sempat berpapasan dengan Gerson di Kupang, dalam barisan Heiho.
"Badannya tambah hitam dan kurus, tinggi. Aku menegurnya dan dia membalas teguranku sambil berjalan terapung-apung, lurus, dagu terangkat. Aku memandang punggungnya ketika ia menjauh, sambil menarik napas dan desah nostalgia."
Dijemput Sang Ayah

Di rumah pendeta Hidalilo itulah kerinduan seorang anak akan ayahnya terbayar. Sang ayah datang menjemput anak-anaknya yang sudah lama berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain karena kesalahan yang ia buat sendiri.
"Tiba-tiba, pada suatu hari ketika aku berjalan menunduk menuju kolam kemarau kuning kesayanganku, ada sesosok tubuh di depanku. ”Papa!” seruku bahagia. Aku disuruh berdiri menunggu di jalan dan ayahku masuk ke dalam untuk memberitahukan bahwa aku diambil kembali. Tidak lama kemudian ayah keluar dan kami berjalan meninggalkan rumah pendeta itu tanpa tas pakaian, kecuali baju monyet di badan. Walaupun aku sendiri tidak bertemu dengan pendeta dan istrinya untuk mengucapkan terima kasih, walaupun tidak ada acara perpisahan, aku masih ingat jasa keluarga pendeta itu memberi tumpangan, tempat tidur dan makanan untuk beberapa lamanya. Kepada orang-orang yang ditemuinya di Oekahendak, ayah menceritakan kesedihannya melihat anaknya yang sudah hitam tak terurus dan pakaiannya yang cuma satu melekat di badan, tidak pernah dicuci."
Usaha ayah Gerson untuk menjadi peng
acara amatiran macet. Lalu ia menjual rumahnya di Ende dan barang-barangnya agar bisa mendapatkan ongkos kapal untuk menemui anak-anaknya. "Untung, naluri kebapakannya menggerakkan dia mencari anak-anaknya yang terombang-ambing di bawah kepak ibu yang kurang berdaya," kenang Gerson. Bagi Gerson, pengalaman masa kecil ini adalah sumber kepekaannya yang dituangkan dalam karya-karyanya.
"Pengalaman seorang anak sepertiku sangat menyedihkan, mengharukan dan semuanya menjadi sumber kepekaan, sumber inspirasi ketika aku menjadi dewasa. Tidak dapat disangkal pengalaman menjadi bahanbaku untuk kesusasteraanku, untuk karya-karyaku, baik berupa prosa maupun puisi dan lain-lain. Aku memasuki kesusasteraanIndonesia melalui puisi. Sajak-sajak pertamaku dimuat di koran dan majalah Surabaya kemudian Mimbar Indonesia, Jakarta yang ditulis tahun 1955 ketika aku duduk di bangku Sekolah Guru Atas Kristen di Jalan Pringadi, Bubutan, Surabaya, dan ketika mengikuti International Writing Program, sebuah program creative writing di bawah bimbingan Prof. Paul Engle, Ph.D (penyair) di Iowa University, Iowa City, Amerika Serikat."
Bagi Gerson, masa kecilnya telah berubah menjad

i puisi. Ia menulis sebuah sajak ketika pengalaman masa kecilnya telah mengendap jauh dalam jiwanya. Masa kecil baginya "adalah kuda tunggang, tambur gembala, jalan setapak yang berliku, rumah lalang bepagar batu." Tentang masa kecilnya ia menulis sebuah puisi:
Gambar Keluarga

Begini kuda tunggang dan dadaku diterik tangis padang
lewat jalan liku menuju rumah lalang berpagar batu 
bila dulu aku datang aku tak tahu ciumanmu tengik tersaar
bibirmu yang hambar memperdengarkan tambur gembala
pandanganmu mengharu usia dewasa sejak itu m
engobar
dalam mataku bundar segar seorang anak yang belum sadar 
kau tinggalkan aku bermain di tepi kolam kemarau kuning
tak sampai sesiang yang indah berenang rian
dengan hidup telanjang memandang kuda tunggang yang tegap 
airnya makin kering mengabur ke bibir nasib kemarau
aku pulang ke rumah lalang berpagar bagu, lingkar kasih yang buntu
nyenyak malam membenam dalam lapar dalam lupa masa kanak kelakar, 
dan sindiran yang menyembur senja kemarau kuning
sebagai tuntutan atas budi yang tumbuh menjadi hutan
belum terbayar oleh anak yang lapar mengejar belalang
hingga sekali kelak aku berdiri di atas nyanyian hidup yang manis 
kau datang kembali dengan bawaan beserba
untung aku belum lesu terpenggal oleh dosa dan hilang sesal

Gerson Poyk  [SP/Ignatius Liliek
Gerson mengakui bahwa kepekaannya memang adalah bagian dari masa kecilnya. Ia menulis: "Terasa oleh si kecil itu (si aku puitis itu) bahwa pandangan yang mengharukan dia di masa dewasa nanti telah bertumbuh, telah mengobar dalam mata seorang anak kecil yang belum sadar akan segi-segi hambar dalam kehidupannya." Tafsiran terhadap sajak di atas yang ia tulis sekitar tahun 1965 ini patut dikutip secara langsung:
"Ayahku (kau) telah meninggalkan aku bermain di tepi kolam kemarau kuning, hanya sebentar berenang riang dengan hidup telanjang memandang kuda tunggang yang tegap. Air di kolam tempat aku bermain makin kering, mengabur ke bibir nasib kemarau lalu aku pun pulang ke rumah lalang berpagar batu, lingkar kasih yang buntu, lalu tidur dalam lapar dalam lupa masa kanak. Bagaimana pun, kehidupan ini penuh dengan kelakar dan sindiran dan ini merupakan hutang budi yang belum bisa dibayar oleh seorang anak kecil yang lapar mengejar belalang. Kelak semuanya akan terbayar bila telah sampai pada nyanyian hidup yang manis.Ayahku datang dengan bawaan beserba. Beruntunglah, aku belum terkapar…"
Gerson mengakui bahwa gambaran tentang kehidupannya di Rote, tentang pohon-pohon kom dan kosambi, tentang jalan sirtu, tentang orang-orang menjadi inspirasi dalam cerpen-cerpen dan novelnya, terutama novel Meredam Dendam.

Setelah ayahnya menjemput mereka di Tudameda, mereka pindah ke Ba'a, di mana mereka "menumpang di sebuah rumah dekat jembatan Lete Langgak, di pinggir jalan, di kaki bukit yang gundul." Pada suatu hari mereka pindah ke sebuah rumah di punggung bukit dan ayah Gerson meninggalkan mereka ke Ringgou. Setelah beberapa lama sang ayah pulang membawa seekor kerbau. Kerbau itu dibawa ke rumah jagal dan mereka punya banyak uang dan daging. Gerson mengatakan ibunya pintar memasak sebab di masa gadisnya ia tinggal dengan keluarga domine (pendeta) Belanda bernama Domine de Vries.

Setelah menjual daging kerbau itu, ayah Gerson membangun sebuah gubuk darurat di pinggir jalan dekat Gerej Menggelama. Tak lama setelah itu ayahnya berangkat ke Kupang lagi untuk mencari pekerjaan. Gerson ingat benar waktu itu bulan Desember. "Aku ingat betul karena pernah merayakan Natal ketika ayah tiada. Hadiah Natalku hanya sebuah buku tulis tipis karena setoranku juga kecil," katanya.

Ketika sang ayah berada di Kupang, datang seorang nenek dari Sabu yang tinggal di Ba’a ke gubuk mereka  dan meramal dengan daun sirih.
"Ia menggenggam-genggam daun sirih di tangannya kemudian melemparkannya ke atas tikar. Daun sirih yang terlepas dari gengamannya terbuka, bergerak pelan-pelan dan diam. Lalu ia berkata, ”Bapak kalian sudah mendapat pekerjaan di Kupang,” katanya. Aku dan adikku bahagia sekali. Sudah tentu ibuku juga. Aku sudah lupa nama nenek asal Pulau Sabu itu. Menurut cerita nenek itu, ia pernah meninggal (berapa lama, aku tak ingat lagi) dan di surga ia melihat banyak sekali makanan yang dibuang sia-sia oleh manusia."
Benar, ayahnya mendapat pekerjaan di perusahaan Singer Sewing Machine, buatan Amerika. Pada saat yang bersamaan kakak sulung Gerson, Benyamin J. Messakh lulus dalam tes masuk tentara.
"Kami bahagia karena itu. Ibu pun mengikhlaskan anak tertuanya masuk tentara. Kami mengantarkannya ke pelabuhan. Ia naik kapal, berlayar menuju Jawa dan akan masuk sekolah militer (KNIL) di Purworejo."
Ke Kupang dan ke Flores lagi, kali ini Ruteng

Sehabis merayakan natal, ibu Gerson membawa keempat anaknya menyusul sang ayah di Kupang. Hanya kakaknya Mariana yang tinggal di Rote. Di Kupang ayahnya telah menyewa sebuah kamar di rumah keluarga Pandy di Fatufeto. Gerson masukkelas satu Volksschool (Sekolah Rakyat tiga tahun) di Bonipoi dan abangnya Min Kecil duduk di kelas empat Vervolkschool (Sekolah Standar) di Desa Airmata.

Tak lama kemudian ayahnya dipindahkan ke Ruteng, ibukota Manggarai. Di sana, Min Kecil dimasukkan ke Sekolah Standar. Di seluruh Onderafdeling (kabupaten) Manggarai, ada puluhan Sekolah Rakyat tiga tahun namun hanya ada satu Sekolah Standar yang cuma terdiri dari kelas empat dan kelas lima . Dari sana anak-anak yang lulus dapat masuk seminari dan sekolah guru yang disebut Normal School. Gerson dimasukkan ke  sebuah sekolah Belanda swasta yang dipimpin oleh Meneer Suprapto yang beristrikan seorang wanita Bangsawan Rote bernama Maria Giri. Tentang Maria Giri ini, Gerson menuliskannya dalam karyanya Maria Giri, Bunga Kecil dari Padang Sabana, dalam antologi Baktiku Pada Pertiwi. Namun tak lama kemudian sekolah liar itu bubar karena Suprapto ditahan Belanda. Gerson dimasukkan Ke Sekolah Rendah tiga tahun, duduk di kelas dua.

Namun nestapa lain menghampiri. Ayah Gerson divonis 3 tahun penjara karena uang perusahaan tekor seratus gulden. Gerson mendengar kabar ini dari ibunya ketika ia baru saja pulang sekolah:
"Aku diam. Murung. Gelombang duka dalam batinku membikin aku diam. Aku sedih tetapi apa mau dikata. Ibu memasak nasi dan ikan untukku lalu aku makan. Entah di mana saudara-saudaraku. Aku ingat aku makan sendiri di meja kecil di kamar depan yang telah kosong.
Sejumlah mesin jahit yang tersisa sudah diangkut entah ke mana. ...membuat aku tambah sedih dan berusaha seumur hidup untuk merejam dendamku. Jika dendam itu timbul, aku berusaha sekuat tenaga batinku untuk menghancurkannya. Pengalaman (sensasi) absurd di rumah itu melahirkan novelku Merejam Dendam."
Setelah ayahnya dipenjara, mereka berpindah dari satu rumah ke rumah yang lain. Awalnya di rumah seseorang, di mana Gerson dan saudara-saudaranya masih bisa bersekolah. Kemudian mereka ditampung di rumah seorang janda. Dari situ mereka pindah lagi ke sebuah pondok ilalang berlantai tanah yang terdiri atas dua kamar. Sejak di rumah kedua Min, Gerson dan adiknya sudah putus sekolah. 

Aku ingat di pondok itu kami masih bisa makan teratur karena sumbangan beras dari orang-orang yang prihatin pada kami. Di antaranya seorang polisi profesional yang kami sapa dengan Bung Meler (Meuller).

Abangnya Min termasuk anak yang pintar dan Kepala Standar School datang mencarinya namun ia telah menghilang ke kampung Karot untuk menjaga kuda-kuda pacuan di sebuah panggung pacuan kuda. Tidak lama kemudian, ia terkenal sebagai joki ulung. 
"Kudanya yang ditunggangnya selalu menang dan begitu menang, ia berdiri di atas punggung kuda. Ketika penonton bertepuk tangan, ia terjatuh dari punggung kuda tetapi tidak sampai terlempar ke tanah. Ia hanya tergantung di leher kuda ketika kuda sedang berlari kencang. Jadi tiga kejutan sekaligus dilakukannya. Pertama, kudanya nomor satu. Kedua, berdiri di punggung kuda tanpa pelana. Ketiga, anak yang putus sekolah di kelas empat Sekolah Rakyat (Standardschool) itu, tergantung seperti monyet di leher kuda."
Dalam keadaan mesra dalam penderitaan hidup bersama ibu dan ketiga saudaranya tanpa ayah, datang seorang pegawai kantor pos, seorang klerk yang bernama David Kaha, melamar kakaknya Dina. Gerson marah betul dan ia mengungkapkan kemarahannya dalam cara anak-anak. Ia pergi ke sekolah tanpa makan pagi. Pulang sekolah, ia melempar mangga muda dan mengunyahnya, menelan sekenyang-kenyangnya. Kemudian ia memanjat murbai dan terong belanda yang pohonnya tinggi. Di rumah, ketika kakaknya Dina berada di dapur, ia lalu masuk ke kolong tempat tidur dan tidur di lantai tanah.
"Perbuatan demikian konyol itu kulakukan sebagai protes. Aku tak setuju kalau kakakku kawin dengan klerk itu. Tidak. Ketika kakakku memanggil aku dengan suara lembut, membujukku, barulah aku keluar dari kolong tempat tidur kemudian mengunyah makanan yang diberikannya. Akan tetapi tiba-tiba ia si klerk itu datang lagi. Aku keluar, bermain di halaman tetapi tiba-tiba aku memungut sebuah batu besar dan kulempar ke pintu. Gedebuk! Seisi rumah berteriak memanggil namaku. Mereka menegurku.
Kalau sekarang kulihat para cucu kakakku Dina yang kini telah menjadi sarjana dan dosen, aku tersenyum sendiri. Akan tetapi memang aku sedih dan marah betul ketika kakakku kawin dengan klerk itu. Sedih bercampur marah. Aku tetap konsisten dengan ketidaksetujuanku ketika diajak ke rumahnya. Hanya abangku Min dan adikku Nona yang ikut dengan kakak Dina ke rumahnya."
Setelah Dina menikah, seorang guru Injil asal Rote, om Malole, memberikan sebidang tanah di Hambal kepada mereka. Lalu Gerson dan ibunya pindah ke sebuah pondok di tanah kebun itu. Raja Manggarai yang beragama Katolik memberikan kawasan Hombal untuk para pendatang yang pada umumnya Protestan. Guru Injil Malole menjadi koordinator. Hanya ia dan ibunya yang tinggal di kebun itu, di sebuah gubuk milik om Tampati, seorang polisi yang berasal dari Manado .
"Kami pindah ke pondok itu hanya dengan beberapa ikat jagung kering yang ibu peroleh entah dari mana. Tanpa minyak aku goreng jagung itu. Kerasnya seperti batu tetapi gigi-ku kuat bak tang layaknya sehingga butir-butir jagung itu hancur dan memasuki perutku, kemudian aku menuju tabung bambu betung yang besar yang tergantung di tiang berisi air yang diambil dari mata air bening di tepi kebun. Aku mengangkat dasar bambu itu ke atas dan airnya muncul di mulut bambu lalu aku meminum air yang tak dimasak itu sepuas-puasnya.
Ibuku mengontrol anak-anaknya yang tinggal di rumah gedongan sedangkan aku tinggal sendiri di gubukku sambil bernyanyi-nyanyi dan membaca buku riwayat hidup Napoleon. Malam-malam ibu pulang ke pondok ilalang kami."
Untuk membersihkan ilalang dan semak di kebun itu, seorang kakek dari desa Tenda serta anaknya Karaeng Ramut membantu mereka.  Bapak tua itu, yang biasa dipanggil Ema Tu'a, anaknya Karaeng Ramut dan seorang anak perempuannya yang lain kemudian menjadi teman baik bagi Gerson dan ibunya. Mereka bahkan membantu menanam padi tanpa bayaran. Ayah Gerson pun kadang pulang membantu mengerjakan kebun dan kembali ke penjara pada sore harinya. Jika padi, jagung dan singkong mulai menghijau, Gerson menjadi 'baby sitter' dua orang gadis kecil. Seorang sudah bisa berjalan dan seorang masih merangkak. Tahun 1979 Gerson ke Ruteng dan bertemu Karaeng Ramut. 
"Dia langsung bertanya mengenai ibu dan ketika aku mengatakan ibu sudah meninggal, matanya berkaca-kaca, diam se-saat lalu berkata, "Ibu mengajar saya memasak sayur". Karaeng Ramut, masih sehat, awet muda, karena banyak makan sayur."
Gerson juga bertemu dengan kedua balita kecil yang ia jagai di tahun 1997. Keduanya sudah menjadi ibu guru. Malah keduanya sudah menjadi kepala sekolah. 
"Kedua gadis Rote itu kawin dengan orang baik-baik sehingga dapat mempunyai rumah besar, semuanya, semua lantainya terdiri atas keramik putih, jendela dan pin-tu kayu jati dan sudah punya anak dan cucu tetapi aku tak akan menceritakan pengalamanku kepada keduanya. Biarlah mereka bahagia. Aku tidak akan menyanyikan lagu duka mereka. Mereka tak tahu bahwa aku seorang yang tidak punya rumah, pekerjaan tetap, mobil dan harta lainnya. Mereka berdua hanya tahu bahwa aku seorang pengarang dan wartawan freelance."
Di tengah serba kesederhanaan di Ruteng ini pulalah, Gerson menyaksikan kedatangan bala tentara Jepang. Saat konvoi tentara Jepang tiba, semua berlutut dan menyembah. Gerson merasakan ada yang dilemparkan kepadanya dan ia mengira itu bom. Ia gemetaran dan berdoa agar bom itu tidak meledak. Ternyata setelah konvoi lewat, yang dikira bom itu adalah biskuit dan permen dan anak-anak berebutan.
"Tentara Jepang yang gundul-gundul itu masih muda-muda. Topi mereka seperti topi yang banyak dijual di toko-toko sekarang tetapi di kiri kanan dan belakang topi ada pita-pita lebar bergantungan. Mereka berhenti di samping pasar. Di tepi kebun kopi yang rimbun. Ada yang turun lalu langsung menimba air parit dan memasak nasi dan sebagainya. Aku diberikan uang Jepang logam dari aluminium. Puas menonton tentara gundul yang pendek-pendek itu, kami anak-anak berjalan ke rumah kontrolir (bupati Belanda) yang kulihat kedua tangannya sudah diikatkan ke tiang bendera mulai dari pagi sampai malam. Aku terharu, aku tidak bisa mengerti, bagaimana sehingga keadaan begitu berbalik seratus delapan puluh derajat."
Ayahnya hanya beberapa bulan di penjara. Menurut Gerson, mungkin karena perusahaan Singer Sewing Machine adalah perusahaan Amerika, musuh Jepang. Gerson kemudian disekolahkan lagi. Di sekolah ini banyak cerita dikenang Gerson termasuk kenakalan masa kecilnya menjatuhkan kacamata guru sehingga dipukul sampai kepalanya pecah, membasahi baju anak perempuan, berkelahi, membuat pesawat terbang dari kayu waru, menonton stomwalls, menonton pertunjukkan jalanan dst. Namun satu ingatan yang tak pernah ia lupakan adalah guru kelas lima, Tuan Sintus de Rodriques, seorang Larantuqueros (orang Larantuka). Tentang guru Sintus ia mengenang: 
"Selain senang pada pelajaran berhitung terutama hitungan-hitungan yang hanya memakai angka, tanpa kata-kata, untuk pertama kali aku mendapat ‘hadiah sastra’. Aku membuat sebuah esei di batu tulis. Ia membacanya. Tiba-tiba ia menyuruh kami diam dan ia membacakan eseiku di depan kelas. Rasanya dialah, Guru Sintus itulah yang mengantarkankan aku menjadi seorang sastrawan Indonesia. Aku selalu mengingatnya sehingga berita kematiannya di Jakarta karena sakit, sangat menyedihkan aku karena aku ingin sekali bertemu dengannya untuk memberitahukan bahwa aku telah menjadi seorang sastrawan di negeri ini."
Seorang guru yang lain yang juga diingatnya adalah guru kelas enam bernama Tuan Tjangkung, asli Manggarai. Di kelas enam, pertama kali Gerson mendapat pelajaran sejarah. Sejarah tempo dulu Manggarai diceritakan dengan bahasa yang sangat menarik, kata Gerson. Gerson masih ingat cerita guru itu tentang sopi: 
"Dahulu, orang Manggarai tidak mengenal sopi atau arak.” Lalu datang seorang raja dari Pulau Rote, yaitu raja kerajaan Ti. Raja Ti ini, dibantu oleh opas Feosau, juga orang dari Rote, membuat periuk tanah yang besar, lalu menyuling tuak dari sirup aren."
Gerson juga ingat seorang adik kelas "yang badannya bundar boncel" dan pintar bermain bola. Anak itu adalah Ben Mboi yang kemudian menjadi gubernur NTT. 
Di tahun 1945, ketika Jepang kalah, kelas enam dibubarkan dan tinggal dua kelas saja seperti Sekolah Standar sebelum Jepang. Gerson tak pernah menerima ijasah SD, hanya sepotong surat tulisan tangan yang ditandatangani Tuan Tjangkung bahwa dirinya sudah menamatkan Sekolah Rendah enam tahun. Menurut Gerson, sejak ayahnya keluar penjara, mereka berpindah-pindah temapt tinggal sebanyak enam kali. Kali keenam mereka menempati rumah sendiri di dekat Mataair Mabumuku.

Ayah Gerson kemudian bekerja pada Tsubono. Sebagai anak-anak Gerson ingat mereka berkelimpahan makanan. Ia ingat seorang pencuri baik hati yang ia sebut 'Robin Hood' bernama Daniel Jacob, atau anak kecil yang meraup susu bubuk dan memasukkan ke dalam mulutnya. Anak itu adalah Adi Bu Amalo yang kemudian menjadi Walikota Kupang. Ia juga mengingat para Heiho ke rumahnya membawa sekitar 20 kg bongkah perak dari Reo yang dibom Sekutu, namun ibunya kemudian mengembalikan perak-perak itu karea begitu logam mulia itu di simpan di rumah, petir dan halilintar menyambar pohon bambu di samping rumah mereka. Ia juga ingat adiknya membuang intan yang belum diasah dalam sebuah amplop ke sungai karena dikira sampah. Ia juga bercerita tentang para jugun ianfu yang banyak dibawa dari Jawa. Atau hadiah sepeda dari seorang tentara Jepang kepada abangnya Min Kecil. Gerson rupanya sangat mengagumi abangnya yang selama pendudukan Jepang tinggal dengan para tentara Jepang:
"Selama tinggal dengan opsir Jepang itu pada suatu hari orang melihat abangku membawa truk Jepang. Karena kecil ia menaruh bantal besar pantatnya. Akan tetapi yang paling nakal adalah pada suatu sore ketika ia sedang berkeliling kota di atas kudanya yang menderap lembut (tel). Tiba-tiba, ketika ia melewati depan kompleks yogun ianfu, ada seorang perempuan cantik menahannya dan meminta dibonceng. Ketika itu akusedang berdiri di deplan toko Tionghoa.
Aku lihat kudanya memacu kencang (halop) dan perempuan yang berbadan tinggi itu memeluk erat anak kecil Benyamin yang memboncengnya. Bajunya melayang sehingga pahanya yang pucat menjadi tontonan banyak manusia di tokok itu. Perempuan itu menangis, meringis-ringis, berteriak, "Sudah, Min, sudah, Min, cukup, pantat saya luka sakit," tetapi si Benja (panggilan ibuku ketika marah padanya) terus memacu kuda itu sambil tertawa-tawa."
Pada kesempatan lain ia bercerita tentang kebengalan kakaknya, mencuri anjing untuk dibuat RW atau membual bahwa ia adalah turunan bangsawan Manggarai. Gerson memang mengagumi kakaknya itu yang disebutnya Spartan atau Tarzan kecil:
"Abangku, mungkin karena dia joki ulung di seluruh Manggarai maka banyak orang yang mengaguminya, menyebut-nyebut namanya. Di antara yang mengaguminya itu adalah seorang gadis kuning bening. Nama gadis itu aku lupa. Keduanya bersahabat akrab, sebutlah berpacaran. Akan tetapi pada suatu malam, ketika purnama raya, aku lihat ada makhluk berselubung kain kalas (tenunan Manggarai) yang berjalan. Tubuhnya satu tetapi kakinya empat. Dua hitam, satu putih. Pastilah itu abangku Benyamin dan pacar putihnya."
Tentang cita-cita masa kecilnya Gerson mengaku tak pernah bermimpi menjadi penulis atau wartawan. Ia memang suka membaca tapi tak pernah terpikir menjadi penulis, ia malah ingin menjadi sopir atau menjadi aktor. Semua berangkat dari pengalaman masa kecilnya menonton stomwalls dan sandiwara keliling: 
"Aku selalu asyik menonton stomwals. Besi yang besar itu menggiling jalan raya dan aku berkata kepada diriku, bahwa kalau aku besar aku ingin jadi sopir kendaraan besi. Memang banyak hal yang menarik di kota Ruteng. Begitu banyak permainan dan perbutan yang menyengkan. Permainan-permainan seperti membuat kuda dari pelepah pisang lalu berlari, tidak melontarkan aku ke masa depan. Aku tidak ingin menjadi joki. Membuat perahu, mobil-mobil dari kulit jeruk Bali, tidak melontarkan aku ke cita-cita untuk menjadi montir. Begitu pula ketika aku membuat kapal terbang. Tidak ada impian untuk menjadi montir pesawat terbang, kecuali bermimpi indah untuk menjadi pilot. ...Biasanya kalau aku sedang bermain bola di lapangan, ada saja kertas koran atau sobekan beberapa halaman buku yang terbang ke tengah lapangan. Aku segera berhenti, membongkok lalu membaca. Tetapi aku tidak pernah ingin menjadi pengarang buku atau wartawan. Impianku hanyalah yang dua itu. Menjadi sopir stomwals yang beratnya entah berapa ton itu dan kemudian menjadi bintang panggung. Menjadi aktor. Keinginanku hampir tercapai ketika duduk di kelas tiga sekolah Guru Atas di Surabaya. Aku menjadi terbaik pada festival Seni Drama di tahun 1956. Aku ingat Jetty Sumali, kakak Tatiek Maliyati Sihombing menjadi sutradara terbaik. Grup teater mereka menjadai pemenang pertama. Tapi akhirnya aku tidak menjadi aktor. Aku menghadapi pekerjaan yang lebih berat daripada sopir stomwals. Aku menjadi pengarang cerpen, dan novel-novel. Aku membaca setiap hari, menulis setiap hari. Ini lebih berat daripada menjadi sopir stomwals."
Semua kenangan Gerson seperti tersimpan rapi dalam ingatannya, termasuk perkelahiannya dengan anak polisi yang membuat ayahnya anak itu marah, bersama ayahnya berjualan parang untuk mendapatkan padi di  tempat bernama Cancar, menjadi pedagang keliling (papalele) selepas SR, atau cinta monyetnya dengan putri raja Manggarai.  Ia juga ingat cerita sebuah desa yang disebut paling bersih karena semua rumah punya kakus. Seorang bangsawan bernama Kraeng Mboi yang disebut Mantri Kakus Mboi sangat rajin meneliti kakus, jika kurang bersih pemiliknya akan kena bogem. 
"Dia memakai gala yang panjang dan menusuk-nusuk tinja di dasar kakus. Kalau tinjanya kurang tebal, dia panggil pemiliknya lalu tos, bogem mentah dikirim ke tubuh pemilik itu. Rakyat tidak dendam karena sadar bangsawan Manggarai itu bekerja keras untuk menghindarkan rakyat dari El Maut, dari penyakit."
Ayah Gerson kemudian diangkat lagi menjadi pegawai negeri Negara Indonesia Timur (NIT) dan di pindahkan ke Maumere. Sebelum berangkat ayahnya membuat bunga rampai lalu disebarkan di sebuah perempatan sambil berkata, ”Selamat Tinggal Kota Penderitaan!”.

Gerson mengingat dengan detail 'perjalanan' hidupnya. Menurutnya mereka meninggalkan Ruteng dengan sebuah truk, menginap semalam di rumah iparnya David Kaha yang sudah pindah lebih dahulu ke Bajawa. Besoknya truk meneruskan perjalanan ke Endeh dan tiba di kota itu malam hari. Mereka menumpang di rumah om Eka dan besoknya meneruskan perjalanan ke Maumere. 
"Malam hari tiba di Nita, kami dibawa ke ‘hutan’ kelapa dan dalam hutan kelapa itu ada desa buatan Jepang yang disebut Weru Oret. Ada kantor pos, ada rumah-rumah darurat dan kami dibawa ke rumah yang pernah didiami perwira tinggi Jepang. Rumah itu didiami oleh Commies Loudoe yang akan menjadi bos ayahku. Di situ telah ada klerk Blantaran de Rosarie menempati satu kamar, tidur di atas tikar. Dua keluarga satu kamar, termasuk Paul Leiloh. Setiap hari para pegawai dibawa dengan truk dari Weru Oret ke kota pelabuhan dan perkantoran Kabupaten Sikka, Maumere."
Tak berapa lama rumah para pegawai pemerintah selesai dibangun dan mereka pindah ke Maumere di mana mereka tinggal persis di belakang rumah Raja Sikka. Di Maumere inilah ia mengikuti kursus tertulis jarak jauh bahasa Inggris dan stenografi dari Surabaya setelah membaca sebuah prospektus yang dibawah ayahnya dari kantor. Ayahnya memang menginginkannya menjadi wartawan, menyetujui idenya dan membiayainya.
Abangnya Benyamin juga menemukan keasikan baru sehingga ia tak pulang-pulang. Di sebelah utara Seminari Ledalero ada tumpukan mobil-mobil dan tank-tank dan peswat bekas peninggalan Jepang. 
"Di samping tumpukan bekas mesin perang Jepang itu, ada pohon-pohon mangga, pisang dan singkong. Ada juga barak yang atapnya masih bagus. Di sanalah abangku tinggal bersama ular, tikus dan serangga lainnya. Ia membuat api unggun, membakar ubi, merebus air dengan topi-topi baja. Bukan saja air tetapi singkong, nasi dan jagung direbus dengan topi-topi yang pemakainya sudah menjadi debu dan tulang. Berkali-kali aku mengomeli dia, pulang, pulang, tetapi ia tak mau pulang. Ia tak mau memberatkan ekonomi ibu. Pertanyaan makan apa yang kulontarkan ia menunjuk pohon-pohon mangga yang besar, buahnya bermatangan dan berjatuhan. Ia menunjuk pisang, singkong dan kelapa!"
Tidak lama kemudian Benjamin, yang kemudian menjadi polisi ini, muncul dengan pakaian baru dan bungkusan onderdil truk-truk untuk dibawa ke toko Tionghoa yang memesannya. Pedagang Tionghoa mulai sibuk menghidupkan ekonomi dengan truk pengangkut kopra, truk tua yang membutuhkan onderdil. Benjamin telah menemukan barang bekas yang bisa diumpamakan sebagai tambang emas. "Tinggal di timbunan mobil bekas, membuat dia menjadi montir," kenang Gerson.
Di Maumere ini pulalah untuk pertama kalinya Gerson tahu kalau ayahnya bisa menulis, setelah memergok ayanya menulis puisi dalam bahasa Latin. 
"Tiba-tiba ayahku sibuk. Di malam hari, ia duduk di meja kamar depan, membakar lampu taplak, mengambil botol tinta dan pena serta kertas dan kamus lalu menulis berjam-jam sampai larut malam. Di hari minggu pun, karena Mumere tak ada gereja Protestan, maka ayah tak keluar. Ia menulis terus, menulis terus. Ketika aku mencuri-curi membacanya ketika ayah pergi, aku lihat ada sebuah sajak panjang berjudul Te Deum Laudamus. Entah apa artinya dalam bahasa Latin."
Sajak itu kemudian dikirimkan ke tabloid Bentara di Endeh, namun tidak dimuat. Saat pemimpin redaksi tabloid itu mampir ke Maumere ia menyempatkan diri mencari ayah Gerson di kantor kontrolir dan mengatakan bahwa sajak atau lebih tepat disebut syair karya ayahnya itu terlalu berat dan tidak cocok untuk pembaca Flores yang belum bisa mencerna dengan baik karya yang demikian. Atasan ayahnya, Commies Loudu sendiri pernah berkata tentang tulisan ayahnya pada seorang tamu di rumahnya dan aku mendengarkannya. "Dulu, sebelum perang, Nani menulis sebuah artikel berjudul Allah, Manusia, dan Wet. Wah, Belanda-Belanda baca artikel itu dan mereka marah," kata Gerson menirukan Commies Loudu.

Kalabahi, SoE dan Surabaya

Dari Maumere, ayah Gerson kemudian dipindahkan ke Alor pada tahun 1948. Untuk ke Alor, mereka harus ke Kupang dulu. Ketika mendengar mereka sedang berada di Kupang, kakak tirinya Mariana datang menengok mereka ke Kupang. Ayahnya memutuskan untuk membawa Mariana ke Alor. Ia mencoba meminjam uang sana-sini untuk biaya Mariana ke Alor namun gagal. Ia mencoba menjual sebuah weker ke toko-toko China namun gagal juga. Akhirnya ia mendapat pinjaman dari keluarga Joosten. "Maka berlayarlah kami bersama kakak perempuanku yang telah lama berpisah dengan ibunya, dengan ibu kami."
Di Alor, Gerson yang sudah tidak bersekolah empat tahun, iseng bertanya kepada satu-satunya guru di sebuah sekolah yang disebut Opleiding Voor Volksonderwijzer (OVVO). Ia diterima hanya dengan persetujuan lisan dari sang guru, Tuan Sirituka. OVVO adalah Sekolah Guru Desa dua tahun di Kalabahi. Di kelas ia paling tua, untunglah badannya kecil jadi tak terlalu kelihatan. Ia tidak malu, sambil mengingat sebuah pepatah dalam kursus bahasa Inggris yang ia ikuti sebelumnya "Better late than never".

Pada tahun 1953 ia melanjutkan ke Sekolah Guru Bawah (SGB) yang semula disebut Normaal School di So’E, Timor Tengah Selatan. [more details to come]

Baik di OVVO maupun SGB ia selalu nomor satu sehingga ia dipilih untuk melanjutkan ke Sekolah Guru Atas (SGA) Kristen yang semula disebut Kweek School di Surabaya yang ditamatkannya pada tahun 1956. Di Surabaya ia tidak peduli dengan pendidikan formalnya dan lebih suka bolos karena asyik dengan kegiatan keseniaan dan kewartawanannya. Karena minatnya yang besar terhadap kewartawanan ini, selain belajar di SGA, ia juga belajar bahasa Inggris secara otodidak dan ikut kursus stenografi.

Selama duduk di bangku SGA ia menjadi pengasuh ruang seni budaya di koran dan juga berteater. Aktifitas berteater membawanya memperoleh trophy Aktor Terbaik dalam Festival Seni Drama Surabaya. Selama di SGA ini pulalah ia memasuki sejarah sastra Indonesia dengan puisi-puisinya yang pertama kali di mulai dimuat di Mimbar Indonesia yang digawangi oleh Hans Bague Jassin.

Namun karena ia menerima beasiswa pemerintah, ia harus bekerja pada pemerintah. Ia menjadi guru tetap SMP Negeri di Ternate dan guru honorer di sebuah SMA yang menginspirasi sejumlah karyanya. 

Dari Ternate ia dipindahkan ke Bima, Nusa Tenggara Barat di mana ia menjadi guru tetap SMP di Bima dan guru honorer di SGA. Kepindahannya ke Bima tidak terjadi secara wajar. Ia melarikan diri dari Ternate saat timbul pemberontakan Permesta.

"Begitu ada kapal di pelabuhan, aku segera naik ke atas dengan pakaian di badan dan kemudian terdampar di Bali . Dengan ”mengemis”sana ”mengemis” sini aku mendapat ongkos untuk keJakarta . Di Jakarta, pembesar pendidikan menengah marah-marah lalu memindahkan aku ke Bima. Dua tahun lamanya aku tak menerima gaji. Bayangkan aku masih hidup dan mengajar terus dalam kebaikan orang-orang di Bima . Aku masih ingat pada haji Achmad seorang saudagar yang pernah membantu aku. Aku degngar saudagar yang baik itu mewariskan usahanya kepada anak-anaknya yang pernah aku didik."

Karirnya sebagai guru ia jalani dari tahun 1956 sampai 1963 dimana muncul beberapa karyanya  antara lain cerita pendek Mutiara di Tengah Sawah mendapat hadiah hiburan majalah Sastra tahun 1961. Kehidupan sebagai guru ini juga mengilhami salah satu novelnya Sang Guru. Karena novel inilah ia menerima Penghargaan Sastra ASEAN untuk novelnya Sang Guru pada tahun 1972.

Setelah bekerja sebagai guru selama tujuh tahun, pada tahun 1963 ia pindah ke Jakarta dan menjadi wartawan Harian Sinar Harapan. Setelah tujuh tahun ‘menyabung nyawa’ di atas sepeda motor berkeliling menjadi berita, ia minta berhenti pada tahun 1974. Tentang pekerjaan sebagai wartawan ini ia menulis:

“Setelah menjadi wartawan Sinar Harapan, aku mulai menjadi manusia yang suka keluar rumah [...]. Di Jakarta kebiasaan bergadang makin menjadi. Aku kuasai seluruh kota dengan sepeda motor. Bukan saja di Jakarta, tetapi karena aku mulai kenal kapal terbang maka radius bergadanganku sejauh Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara. Aku menjadi nomad modern (nomaden) dan teman-temanku yang jadi manusia sedenter (sedentary) sering aku kunjungi.”[3]

Pasca karirnya di Sinar Harapan, Gerson menjadi koresponden berbagai media dan ikut mendirikan beberapa media antara lain Harian Kami dan Majalah Bahasa Inggris Bali Courier.

Pada tahun 1970-1971 ia diundang pemerintah Amerika Serikat untuk mengikuti International Creative Writing Program di Universits Iowa. Dua puluh tahun kemudian ia diundang lagi sebagai Internasional Visitor pada program yang sama. 

Pada tahun 1982 diundang pemerintah India untuk mengikuti Konferensi Pengarang Asia-Afrika. Pada tahun 1985 dan 1986 berturut-turut ia mendapat Hadiah Adinegoro, hadiah tertinggi di bidang Jurnalistik yang diberikan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Ia juga menerima Lifetime Achievement Award dari harian Kompas. Pada tahun 2011 ia menerima Anugerah Kebudayaan dari Presiden SBY untuk jasa-jasanya di bidang sastra dan kebudayaan.

Gerson Poyk tak pernah lupa memasukan unsur daerah dalam karya-karya sastranya, terutama Sunda Kecil di mana ia banyak menghabiskan hidupnya sebagai anak-anak maupun sebagai guru. Gerson menyebut dirinya mengamati bangsa ini dari “pinggiran” di mana menjadi suara dari mereka yang terhimpit secara sosial, suara dari Flobamora yang penuh kekayaan dan kebanggaan budaya. [4]

Karya-karya sastra Gerson juga tersebar di berbagai kumpulan cerpen maupun novel. Karya dalam bentuk buku dapat disebutkan, antara lain: 
Hari-Hari Pertama (1968), 
Matias Akankari (1972), 
Sang Guru (novel, 1972), 
Oleng-Kemoleng & Surat-Surat Cinta Aleksander Rajagukguk (cerpen, Nusa Indah, Ende, 1974), Nostalgia Nusa Tenggara (cerpen, Nusa Indah, Ende, 1975), 
Jerat (cerpen, Nusa Indah, Ende, 1978), 
Cumbuan Sabana (novel, Nusa Indah, Ende, 1979), 
Petualangan Dino (novel anak-anak, Nusa Indah, Ende, 1979), 
Giring-Giring (1982), 
Di Bawah Matahari Bali (1982), 
Seutas Benang Cinta (1982), 
Requem untuk Seorang Perempuan (1983), 
La Tirka Tar (1983), 
Mutiara di Tengah Sawah (cerpen, 1985), 
Anak Karang (1985), 
Puber Kedua di Sebuah Teluk (1985), 
Doa Perkabungan (1987), 
Impian Nyoman Sulastri dan Hanibal (1988), 
Poti Wolo (1988), 
Sang Sutradara dan Wartawati Burung (2009) 
dan Keliling Indonesia, dari Era Bung Karno Sampai SBY (2011). 

Karya-karya orang lain tentang Gerson Poyk antara lain:
1. B. Trisman, Prih Suharto, Widodo Djati, Tiga Novel Penerima Hadiah Sastra SEA Write Award: Sang Guru karya Gerson Poyk, Ladang Perminus karya Ramadhan K.H., dan Bekisar Merah karya Ahmad Tohari, (Pusat Bahasa, Depdiknas, 2003).

[bersambung]


[1] Ernst Urlich Kratz, A Bibliography of Indonesian Literature in Journals, Drama, Prose, Poetry, (London: SOAS, 1988) hal. 2.
[3] Gerson Poyk, “Aku dan Surabaya” dalam Surabaya Post, 1989, Th.37, No. 211-246. (29 bagian)
[4] Gerson Poyk, “FLOBAMOR yang punya pamor budaya”, dalam Bina. Th. 19, Minggu IV, Maret 1991. Hal 11.