Saturday, December 08, 2012

River of Dream




SAYA lupa kapan saya pertama kali mendengarkan lagu ini, yang jelas saya familiar dengan iramanya. Selain itu saya menyukai refreinnya: “in the middle of the night” terutama dengan backing vocal yang mendayu. Entah mengapa saya tidak menaruh perhatian kepada lagu ini sejak dulu. Mungkin karena ketika saya pertama kali mendengarkannya, bahasa Inggris saya baru sepatah dua kata sehingga saya tidak menyimak.  

Baru beberapa minggu lagu, saya menemukan lagu ini lagi, terima kasih kepada YouTube. Saya mendengarkannya sekali, dua kali dan berkali-kali. Saya mengerti sekarang arti syairnya dan mengerti setiap kata. Saya suka pausing-nya dan kesunyian sebelum Billy Joel melanjutkan: ... in the middle of the night". Saya suka athmosfir lagunya. Sedikit hitam dan misterius tetapi sekaligus kudus.

In the middle of the night
I go walking in my sleep
From the mountains of faith
To the river so deep
I must be lookin' for something
Something sacred i lost
But the river is wide
And it's too hard to cross
even though I know the river is wide
I walk down every evening and stand on the shore
I try to cross to the opposite side
So I can finally find what I've been looking for.

In the middle of the night
I go walking in my sleep
Through the valley of fear
To a river so deep
I've been searching for something
Taken out of my soul
Something I'd never lose
Something somebody stole

I don't know why I go walking at night
But now I'm tired and I don't want to walk anymore
I hope it doesn't take the rest of my life
Until I find what it is I've been looking for
(Three beat Pause)
In the middle of the night
I go walking in my sleep
Through the jungle of doubt
To the river so deep
I know I'm searching for something
Something so undefined
That it can only be seen
By the eyes of the blind
In the middle of the night
(break)

I’m not sure about a life after this
God knows I've never been a spiritual man
Baptized by the fire, I wade into the river
That is runnin' through the promised land
(Long Five beat Pause)

In the middle of the night
I go walking in my sleep
Through the desert of truth
To the river so deep
We all end in the ocean
We all start in the streams
We're all carried along
By the river of dreams
In the middle of the night




Hidup kadang merupakan satu mistery. Existensi kita adalah sebuah tanda tanya besar. Kenapa kita di sini? Apa tujuan hidup kita? Kita lahir, hidup dalam jangka waktu tertentu di alam raya ini, lalu kita mati. Lalu orang lain lagi lahir dan memulai lingkaran kehidupan yang sama, begitu seterusnya.

Banyak yang tak peduli, tetapi banyak yang juga yang bertanya mengapa kita di sini? Banyak yang mencari jawaban ke mana-mana tapi tak menemukan apa-apa. Ada yang merasa menemukan jawaban tetapi pada saat yang sama masih ragu. Ada yang menipu diri dan merasa telah menemukan semua jawaban.
Ya, bagaikan berbicara kepada diri kita sendiri dalam moment-moment yang menentukan dalam hidup kita, siapakah sebenarnya diri kita di dunia yang tak berakhir dan berkesudahan ini.

Kadang kita merasa ada yang hilang dari diri kita dan kita tidak tahu apakah yang hilang itu. Kita mulai mencari tapi tak tahu apa yang kita cari. Seperti kata Billy Joel, kita mencari dari gunung-gunung iman yang tinggi ke sungai yang begitu dalam dan gelap. Sesuatu yang sakral yang telah hilang dari diri kita. Tapi sungai itu terlalu luas dan arusnya terlalu keras untuk disebrangi.
Walau kita tahu sungai itu dalam dan deras, kita tetap ingin mencari juga. Setiap malam kita turun ke sungai, berdiri di pinggir sungai. Mencoba mencari jalan untuk menyebrang.

Kadang di tengah malam, kita berjalan dalam tidur kita. Meliwati lembah ketakutan, ke sungai yang sangat dalam itu. Kita terus mencari sesuatu yang diambil dari jiwa kita itu. Sesuatu yang tak pernah hilang sebelumnya namun sekarang telah dicuri orang. Kita tidak tahu mengapa kita selalu berjalan di tengah malam.

Kadang kita merasa sudah terlalu lelah untuk mencari dan tak mau berjalan lagi. Kita berharap agar pencarian kita itu tidak berlangsung sepanjang sisa hidup kita. Malam-malam panjang di mana  kita berjalan dalam tidur kita kiranya segera berakhir. Agar kita tidak selalu melewati rimba keraguan, menuju sungai yang begitu dalam. Terus mencari sesuatu, sesuatu yang tak bisa didefinisikan. Sesuatu yang hanya bisa dilihat oleh mata orang buta.

***

Walaupun beberapa kali Billy Joel mengatakan dirinya atheis, latar belakang Yahudinya membuat ia mampu menggunakan symbolisme Yahudi dan Alkitab dalam lagu-lagunya, termasuk lagu ini. Misalnya ketika ia bilang bahwa ia semakin tidak yakin dengan kehidupannya, lalu ia melanjutkan dengan mengatakan bahwa Tuhan tahu ia bukan orang yang spiritual, yang dibaptis oleh api, berjalan ke dalam sungai yang mengalir meliwati tanah perjanjian.

Namun saya lebih setuju bahwa apapun konteks terciptanya sebuah lagu, kadang lagu itu mempunyai arti yang berbeda bagi setiap orang yang punya pengalaman hidup yang berbeda. Interpretasi dari sebuah lagu harus dimulai dan diakhiri pada diri setiap pendengar.

Karena itu lebih baik kita tidak menghancurkan makna lagu ini dengan cepat-cepat memberi makna religius bagi lagu ini. Sebab walupun lagu ini kaya dengan symbolisme dan mystisism Yahudi, kehebatan lagu ini justru terletak pada terbukanya kemungkinan interpretasi kepada makna universal dari pergumulan batin manusia. Seluas sungai yang dalam dan gelap, demikianlah luasnya dan dalamnya percarian, ketakutan dan pergumulan kita. Banyak orang pernah merasakan malam-malam kelam tiada berkesudahan, malam-malam dimana mata tak bisa dipejamkan. Malam-malam penuh mimpi-mimpi yang kelam dan gelap. Malam-malam itu adalah malam semua orang. Kita semua berjalan meliwati gurun-gurun kebenaran, gunung-gunung iman namun sama-sama berakhir di samudra.

We all end in the ocean, we all start in the streams
We're all carried along, by the river of dreams. In the middle of the night

Terima kasih Joey untuk lagu yang begitu indah dan penuh pergumulan. 

Friday, December 07, 2012

Pacquiao-Marquez IV



It’s absolutely true that if Joe Cortez had called the fight off after the third knock down, nobody would have criticized him and the idea that we would have the subsequent fight between these two great fighters would be far-fetched. Probably we wouldn’t have had Paquiao-Marquez two, three, and now four. But life is funny and so many things that happened in sports could go either way at a given time.

Three bouts, 36 rounds, 108 minutes of fighting have left these two men very much still in dispute. And in a cord on just one matter. Another meeting in the ring was required to settle the tale of Pacquiao and Marquez. A fourth collision is the only solution that remain.

Sunday, December 02, 2012

"Hidup pasti sangat murah di sana!": Multatuli tentang Pulau Rote

Tahukah anda bahwa Eduard Douwes Dekker alias Multatuli pernah menulis tentang Rote dalam novelnya Max Havelaar? 


Dalam novel abad 19 yang berpengaruh tentang Hindia Belanda itu, sebuah bagian yang mencurigakan muncul. Seorang tokoh dalam novel itu, Batavus Drystubble, seorang broker kopi dari Amsterdam, mendapat sebundel koleksi aneh manuscript dari seorang bernama Scraftman (lihat Max Havelaar, Bab IV ). Scraftman menggambarkan dirinya sebagai seorang pujangga dan penulis yang telah banyak berpikir, bekerja dan melihat.

Walaupun Drystubble yang aslinya seorang bisnisman dan pedagang kopi tidak tertarik dengan pemberian ini namun ia mau juga menelusuri halaman-halaman koleksi ini. Seperti disertasi dari sebuah universitas modern, koleksi itu memuat essay dari berbagai topik: Asal-usul aristokrasi, asal usul negara Russia, tentang mithologi Icelandia, tentang penemuan baju zirah, tentang arsitektur orang Moor, tentang wayang China, tentang theori populasi Malthus dalam hubungannya dengan subsistensi dst. Si Drystubble selalu memberi komentar atas list ini, antara lain misalnya dia menulis: "sudah kubilang kan bahwa daftar ini aneh".

Di antara daftar panjang itu ada satu entri yang menarik perhatian Drystubble: "tentang orang-orang yang tidak makan di pulau Rote dekat Timor." Bagi mereka yang tahu tentang Rote, judul ini tentu mengacu kepada kenyataan bahwa orang Rote meminum kebanyakan dari makanan mereka daripada memakannya. Pagi-pagi anak gembala misalnya, bawa gula aer untuk sarapan siangnya, minum tuak waktu pagi dan sore, minum susu kerbau atau kambing, makan lawar dengan minum gula, minum laru obat, atau kebiasan rebus-rebus ala pesta orang Rote.

Namun Drystubble menerjemahkannya secara berbeda. Menurutnya, orang-orang Rote adalah orang-orang yang bisa menghindari kemahalan dan masalah makan. Dengan coretan pensilnya dia menambahkan ke daftar itu: "Hidup pasti murah di sini."

Antropolog terkenal James J. Fox kemudian mengangkat thema ini sebagai pembukaan dari bukunya yang terkenal "Harvest of the Palm: Ecological Change in Eastern Indonesia." (Harvard, 1977). Fox menyebut bukunya itu sebagai semacam pengganti dari imaginasi Scrafman tentang manuscript-manuscript itu.
Kalau Scrafman cuma bisa berimajinasi, Fox datang sendiri ke Rote bersama istrinya dan tinggal di Rote tahun 1965-1966, tepatnya di rumah Mias Kiuk di Ufa Len, Termanu selama beberapa tahun. Fox diangkat anak oleh daelangak Stephanus Adulanu, dan Raja Ernst Amalo menyebutnya sebagai anak dari saudara perempuannya. Jadi Fox menganggap Raja Ernst-- yang kemudian menjadi Camat Rote Tengah-- sebagai to'o nya. (Fox, 1989).

Stephanus Adulanu, yang biasa dipanggil Meno Tua, karena dia adalah daelangak dari klan Meno, meninggal 30 Maret 1970, dan Fox kembali ke Rote pada bulan September 1972. Setelah disetujui oleh 'saudara tua'nya Ayub Adulanu, atas usulan Fox didirikanlah sebuah tutus untuk mengenang ayah angkatnya itu. Saat itu ritual pendirian tutus sudah ditinggalkan oleh orang Rote karena dianggap kafir oleh gereja tetapi Fox berhasil meyakinkan pihak keluarganya dan pihak keluarga  to'o huk-nya Ernst Amalo untuk mendirikan tutus  itu.

Ritual pendirian tutus adalah pendirian monumen yang terbuat dari kayu dengan landasan batu yang diperuntukkan untuk mengenang tokoh penting yang telah meninggal. Fox (1971) menjelaskan , bahwa:


"All Rotinese rituals of the life-cycle are explicitly phrased in a botanie idiom that draws multiple metaphoric analogies between human life and the growth of specific plants. Thus a single idiom encompasses both human and agricultural rituals."

Akhirnya setelah meliwati persiapan yang panjang, bahkan melalui perdebatan dalam sidang gereja, akhirnya tutus itu didirikan dan diberi nama Dale Sue (Hati Sayang) pada 30 Juni 1973. Pada Hari yang sama, saya dilahirkan di Metina, Baa, beberapa kilometer dari tempat tutus itu didirikan.

Kita kembali sejenak ke reaksi Fox soal imajinasi Scrafman bahwa "orang Rote yang meminum makanannya".  Bagi Fox, kenyataan bahwa orang-orang di pulau di sudut bagian timur Indonesia itu kebanyakan meminum makanannya daripada memakannya adalah fakta sosial yang tidak biasa dan menarik. Tetapi bahkan jauh lebih menarik lagi bahwa orang Rote -- dan tetangga mereka orang Sabu, harus memperoleh keunggulan ekonomi mereka dari kondisi subsisten yang tidak biasa. (Fox, 1977: 3).


Sebagai orang Rote, kita mungkin tidak melihat keunggulan ekonomi (dalam bahasa Fox "economic advantage") yang telah dicapai orang Rote itu karena kita lahir dan besar di pulau itu, lahir dengan gula aer, gula nira, makan rumput laut, makan ikan panah langsing di laut, minum laru, makan pagi kering dan padi basah, piara sapi, kambing dan domba, punya sawah dan mamar.

Tapi bagi bagi orang yang mempunyai sedikit pengetahuan yang luas tentang sejarah sosial orang Rote - dan Sabu, akan cukup terpesona bagaimana orang-orang dari dua pulau kecil dan kering itu bukan hanya survive tetapi mampu membawa diri mereka sebagai pemain utama sejarah sosial di Timor dan sekitarnya. Kalau sekarang banyak yang melihat penurunan dalam partisipasi dan peran orang Rote, itu lain cerita. Tapi kalau mau lihat sejarah secara utuh, bagi saya sungguh luar biasa peran orang Rote dan ini saya sadar bukan sekedar romantisme untuk memuji-muji orang Rote!.

Bibliography

Fox, James, Harvest of the Palm: Ecological Change in Eastern Indonesia." Harvard, 1977.
Fox, James, "The Aroma of the Name, The Celebration of A Rotinese Ritual of Rock and Tree", dalam Rituals and Socio-Cosmic Order in Eastern Indonesian Societies; Part I Nusa Tenggara Timur 145 (1989), no: 4, KITLV Leiden, hal. 520-522.
Fox, James, 'Sister's child as plant: Metaphors in an idiom of consanguinity', in: R. Needham (ed.), Rethinking kinship and marriage, pp.219-52. London, 1971: Tavistock.
Multatuli [Eduard Douwes Dekker], Max Havelaar, Rotterdam: Elsevier, 1881.