Saturday, January 26, 2013

Rumah di sebuah sudut jalan


Pagi, 26 Januari 2010 kakak tertuaku menelpon: “At, papa su sonde ada lai, kasi kuat hati ko pulang su.” Dunia seakan tidak ada lagi bagiku. Diriku pun seakan bukan aku lagi. Istriku memelukku dan aku menangis berjam-jam. Kami menangis sambil memandang  anak kami yang baru hampir berumur satu tahun. Menangis di sebuah negeri asing di mana tidak ada yang akan mengerti tangisanmu.

Di sebuah pavillon di mana anak kami Tiadea Radakaran Isaiah lahir. Tiadea Radakaran adalah sebuah nama Rote yang berarti "bersandar dan berharap pada Tuhan". Sebuah nama yang indah yang diberikan oleh kakeknya. Dan karena itu aku harus kuat. Harus kuat untuk bisa pulang. Kutenangkan diriku seakan tak terjadi apa-apa, keluar membeli apa yang perlu untuk kubawa pulang ke rumah.

Ya pulang. Pulang ke sebuah rumah tua di sebuah kampung  yang indah. Di rumah di mana seorang laki-laki berperawakan kecil biasa bersuara dengan suaranya yang tegas namun hangat: “anak-anak, siap ke sekolah”. Di sebuah rumah dimana ia mengawasi kami memberi makan ayam-ayam, babi piaraan kami. Di rumah tua di mana ada kalanya protes tidak ditoleransi. Tapi ada saatnya kasih di atas segalanya. Di rumah tua itu, laki-laki itu berpaling padaku kalau ia ingin menyetrika bajunya, menyemir sepatunya atau minta dipijatkan kakinya. Di ruang tamu rumah itulah laki-laki itu akan bergiliran membaca sebuah koran bersama anak-anaknya. 

Di sebuah rumah tua di mana bunyi gong Rote menjadi kebangggan. Di sebuah rumah tua di sudut jalan dimana disiplin tidak punya mata. Di sebuah rumah dimana kerabat datang silih berganti, namun hukum tetap sama. Di rumah itulah, perabotan di sebuah meja makan tua selalu bergemerincing karena enam orang anak laki-laki kampung duduk di sekitar meja makan tua. Bersama ibu mereka dan seorang laki-laki bersarung, membaca Alkitab, bergilir berdoa sebelum makan malam.

Ke rumah di sudut jalan itulah, aku akan selalu pulang walau sebentar saja. Di kala senja, akan kudengar suara laki-laki itu memanggil anak-anaknya duduk disebuah meja makan tua. Ia memimpin doa atau kadang ia menunjuk salah seorang di antara mereka untuk berdoa. Di meja itulah segala macam cerita muncul. Mulai dari "sayur pintar", cerita pekerjaan, sampai keputusan tentang sekolah. Ke rumah itulah aku akan selalu pulang. Rumah sebagaimana sejatinya.

Leiden, 26 Januari 2013

No comments: